Selasa, 08 Mei 2012

4 Ekor Binatang


Dalam sebuah kapal ada 4 ekor hewan yang menemani seorang nahkoda. Hewan itu ialah ayam, gajah, harimau dan tikus. Suatu hari keempat hewan itu berkumpul dan menceritakan kehebatan masing-masing.
Kata Ayam : "Aku selalu memberi telur kepada nahkoda kita. Berkat aku, dia dapat makan enak dan bergizi."
Gajahpun tak mau kalah "Aku kuat, aku selalu membantu nahkoda kita untuk mengangkat barang-barang berat."
Harimau menimbrung "Kalau aku terkenal sakti dan selalu dapat memenangkan setiap pertempuran, aku selalu melindungi nahkoda kita dari serangan bajak laut dan orang-orang jahat".
Hanya tikus yang terdiam. Ketiga hewan lainnya memandang dia katanya : "Tikus apa fungsimu di sini, hanya engkau yang tak mempunyai fungsi di sini.hahahaha". Mereka mengejek tikus itu.
Suatu hari kapal itu terantuk pada tonjolan karang dan bocor. Keempat hewan itu dan nahkodanya panik. Mereka tidak tahu apa yang akan mereka lakukan karena lokasi kebocoran berada di tempat tersembunyi sehingga tidk bisa ditemukan. Tikus berpikir sejenak kemudian berkata : "Teman-teman mungkin inilah saatnya aku dapat berguna bagi kalian." Lalu tikus itu mulai bergerak. Dengan tubuh mungil dan lonjong itu dia begitu mudah masuk ke sela-sela kayu untuk menemukan sumber kebocoran itu. Akhirnya kapal itu dapat diselamatkan.
Nahkoda itu berkata : "Untung ada kamu tikus, kalau tidak kita bisa celaka". Ketiga temannya pun tertunduk malu karena mereka telah mengejek tikus itu.
Demikianlah TUHAN memberikan kepada kita semua talenta masing masing. Tidak ada orang bodoh yang ada hanya orang yang tidak sadar akan bakat yang diberikan TUHAN kepada kita. Janganlah mengejek dan saling merendahkan tetapi hendaklah saling melengkapi untuk hidup yang lebih baik.

Bersyukur Setiap Waktu Atas Segala Hal

Begitu memasuki mobil mewahnya, seorang direktur bertanya pada supir pribadinya, "Bagaimana kira-kira cuaca hari ini?" Si supir menjawab, "Cuaca hari ini adalah cuaca yang saya sukai" Merasa penasaran dengan jawaban tersebut, direktur ini bertanya lagi, "Bagaimana kamu bisa begitu yakin?"
Supirnya menjawab, "Begini, pak, saya sudah belajar bahwa saya tak selalu mendapatkan apa yang saya sukai, karena itu saya selalu menyukai apapun yang saya dapatkan."
Jawaban singkat tadi merupakan wujud perasaan syukur. Syukur merupakan kualitas hati yang terpenting. Dengan bersyukur kita akan senantiasa diliputi rasa damai, tenteram, dan bahagia. Sebaliknya, perasaan tak bersyukur akan senantiasa membebani kita. Kita akan selalu merasa kurang dan tak bahagia.
Ada dua hal yang sering membuat kita tak bersyukur.
Pertama, kita sering memfokuskan diri pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Katakanlah Anda sudah memiliki sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik. Tapi Anda masih merasa kurang.
Pikiran Anda dipenuhi berbagai target dan keinginan. Anda begitu terobsesi oleh rumah yang besar dan indah, mobil mewah, serta pekerjaan yang mendatangkan lebih banyak uang. Kita ingin ini dan itu. Bila tak mendapatkannya kita terus memikirkannya. Tapi anehnya, walaupun sudah mendapatkannya, kita hanya menikmati kesenangan sesaat. Kita tetap tak puas, kita ingin yang lebih lagi. Jadi, betapapun banyaknya harta yang kita miliki, kita tak pernah menjadi "kaya" dalam arti yang sesungguhnya.
Mari kita luruskan pengertian kita mengenai orang "kaya". Orang yang "kaya" bukanlah orang yang memiliki banyak hal, tetapi orang yang dapat menikmati apapun yang mereka miliki.
Tentunya boleh-boleh saja kita memiliki keinginan, tapi kita perlu menyadari bahwa inilah akar perasaan tak tenteram. Kita dapat mengubah perasaan ini dengan berfokus pada apa yang sudah kita miliki. Cobalah lihat keadaan di sekeliling Anda, pikirkan yang Anda miliki, dan syukurilah. Anda akan merasakan nikmatnya hidup.
Pusatkanlah perhatian Anda pada sifat-sifat baik atasan, pasangan, dan orang-orang di sekitar Anda. Mereka akan menjadi lebih menyenangkan. Seorang pengarang pernah mengatakan, "Menikahlah dengan orang yang Anda cintai, setelah itu cintailah orang yang Anda nikahi." Ini perwujudan rasa syukur.
Ada cerita menarik mengenai seorang kakek yang mengeluh karena tak dapat membeli sepatu, padahal sepatunya sudah lama rusak. Suatu sore ia melihat seseorang yang tak mempunyai kaki, tapi tetap ceria. Saat itu juga si kakek berhenti mengeluh dan mulai bersyukur.
Kedua yang sering membuat kita tak bersyukur adalah kecenderungan membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita merasa orang lain lebih beruntung. Kemanapun kita pergi, selalu ada orang yang lebih pandai, lebih tampan, lebih cantik, lebih percaya diri, dan lebih kaya dari kita.
Saya ingat, pertama kali bekerja saya senantiasa membandingkan penghasilan saya dengan rekan-rekan semasa kuliah. Perasaan ini membuat saya resah dan gelisah. Sebagai mantan mahasiswa teladan di kampus, saya merasa gelisah setiap mengetahui ada kawan satu angkatan yang memperoleh penghasilan di atas saya. Nyatanya, selalu saja ada kawan yang penghasilannya melebihi saya.
Saya menjadi gemar berganta-ganti pekerjaan, hanya untuk mengimbangi rekan-rekan saya. Saya bahkan tak peduli dengan jenis pekerjaannya, yang penting gajinya lebih besar. Sampai akhirnya saya sadar bahwa hal ini tak akan pernah ada habisnya. Saya berubah dan mulai mensyukuri apa yang saya dapatkan. Kini saya sangat menikmati pekerjaan saya.
Rumput tetangga memang sering kelihatan lebih hijau dari rumput di pekarangan sendiri. Ada cerita menarik mengenai dua pasien rumah sakit jiwa. Pasien pertama sedang duduk termenung sambil menggumam, "Lulu, Lulu." Seorang pengunjung yang keheranan menanyakan masalah yang dihadapi orang ini. Si dokter menjawab, "Orang ini jadi gila setelah cintanya ditolak oleh Lulu." Si pengunjung manggut-manggut, tapi begitu lewat sel lain ia terkejut melihat penghuninya terus menerus memukulkan kepalanya di tembok dan berteriak, "Lulu, Lulu". "Orang ini juga punya masalah dengan Lulu?" tanyanya keheranan. Dokter kemudian menjawab, "Ya, dialah yang akhirnya menikah dengan Lulu."
Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena itu bersyukur merupakan kualitas hati yang tertinggi. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan cerita mengenai seorang ibu yang sedang terapung di laut karena kapalnya karam, namun tetap berbahagia. Ketika ditanya kenapa demikian, ia menjawab, "Saya mempunyai dua anak laki-laki. Yang pertama sudah meninggal, yang kedua hidup di tanah seberang. Kalau berhasil selamat, saya sangat bahagia karena dapat berjumpa dengan anak kedua saya. Tetapi kalaupun mati tenggelam, saya juga akan berbahagia karena saya akan berjumpa dengan anak pertama saya di surga.

Sedekah Buntut Singkong


Ada seorang penjual gorengan bernama Sutikno yang punya kebiasaan menyisakan buntut singkong goreng yang tak terjual. Sebelum pulang ke rumah, dia selalu memberikan sisa gorengan tersebut pada seorang bocah yang sering bermain di dekat tempatnya mangkal.
Tanpa terasa sudah dua puluh empat tahun Sutikno menjalani bisnis jual gorengannya tanpa ada perubahan yang berarti, masih mangkal di tempat yang sama dengan omset penjualan yang tidak berubah pula. Suatu hari datang seorang pria dengan penampilan elegan dan membawa mobil mewah berhenti di depan gerobaknya sambil bertanya,”Ada gorengan buntut singkong Bang?” “Kagak ada mas! Yang ada pisang sama singkong goreng”, balas Sutikno. “Saya kangen ama buntut singkongnya. Dulu waktu kecil dan ketika ayah saya baru meninggal tidak ada yang membiayai hidup saya. Teman-teman mengejek saya karena tidak bisa beli jajan. Saya waktu itu lalu lalang di depan gerobak abang, lalu abang memanggil saya dan memberi sepotong buntut singkong goreng,” ujar pria itu.
Sutikno terperangah, dia tidak mengira sepotong buntut singkong yang biasanya dibuang, bisa membuat pria itu mendatanginya dengan keadaan yang benar-benar berbeda. “Yang saya berikan dulu itukan cuma buntu singkong. Kenapa kamu masih ingat sama saya?” tanya penjual gorengan itu penasaran. “Abang tidak sekedar memberi saya buntut singkong, tapi juga kebahagiaan,” papar pria itu. Sesuatu yang dianggap remeh, tapi baginya hal itu membuat sangat bahagia sehingga ia berjanji suatu saat akan membalas budi baik penjual gorengan itu.
“Saya mungkin tidak bisa membalas budi baik Abang. Tapi, saya ingin memberangkatkan Abang berhaji. Semoga Abang bahagia,” ujar si pria. Penjual gorengan itu hampir-hampir tak percaya, inikah balasan dari bersedekah gorengan buntut singkong…

Cerita Gunung


Seorang anak dan ayahnya sedang berjalan diatas gunung. Tiba tiba, anaknya terjatuh, Dia terluka dan berteriak : "AAAhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!." Tetapi Ia sangat kaget mendengar ada suara pantulan dari gunung sebelah."AAhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!."
Dengan penuh rasa penasaran, diapun kembali berteriak : "Siapa kamu?" Diapun menerima kembali jawaban yang sama : Siapa kamu?" dan kemudian dia berteriak ke gunung itu: "Saya mengagumimu!" dan suara itupun kembali : "Saya mengagumimu!."
Dengan muka marah pada jawaban itu, dia berteriak : "Penakut" Dia masih menerima jawaban yang sama, "Penakut!."
Dia menatap ayahnya dan bertanya : "Apa yang sedang terjadi?" Ayahnya sembari tersenyum dan berkata : "Sayang, perhatikan." Kembali ayah akan berteriak : "Kamu Juara." Diapun menerima jawaban yang sama : "Kamu Juara."
Anak ini kembali kaget dan tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi, kemudian Ayahnya menjelaskan bahwa itulah yang disebut dengan ECHO (Gema suara), tetapi itulah sesungguhnya hidup.
Segalanya akan kembali kepada kita, apa yang kita katakan, apa yang kita lakukan. Hidup kita secara sederhana adalah gambaran dari kelakuan yang kita perbuat.
Jika kamu ingin lebih banyak cinta dalam dunia, maka ciptakanlah Cinta dalam Hatimu.
Jika Kamu ingin lebih berkemampuan dalam timmu, maka tingkatkanlah kemampuanmu.
"Hidup akan memberikan kembali kepadamu, apa yang telah kamu berikan kepadanya. Dalam segala hal."

Mencari Kebahagiaan

Ada seekor celeng yang pemurung. Ia mempunyai tetangga seekor kera yang mempunyai sifat sebaliknya. Kera itu periang, banyak memiliki sahabat, serta pintar memberi nasihat. Suatu hari, celeng bertamu ke rumah kera.
Kata celeng, “Kera, kudengar kau binatang paling bijaksana di rimba belantara. Benarkah itu?”
Sahut kera, “Kata warga rimba, memang demikian.”
“Kalau begitu, boleh aku meminta nasihat padamu?” kata celeng lebih lanjut.
“Oh, silahkan.”
"Begini, Kera. Aku tidak pernah merasa bahagia dalam hidup ini. Apa gerangan sebabnya?”
Kera berpikir sejenak, kemudian jawabnya, “Oho, Celeng, pergilah cari pohon zonga. Buahnya berwarna ungu. Petiklah buahnya, lalu makanlah. Dengan memakan sebuah zonga saja kau akan merasakan bahagia seumur hidupmu.”
“Buah zonga? Aku baru mendengar sekarang. Di mana terdapat buah itu?”
Esoknya celeng berkelana. Untuk mencari buah kebahagiaan itu.
Setahun kemudian tiba di rimba tempat ia lahir. Kera menyambut kedatangan celeng, yang kini wajahnya segar dan ceria.
Tanya kera, “sudahkah kautemukan buah zonga?”
Celeng menjawab, “Belum, Kera. Tetapi, aku sudah menemukan kebahagiaan itu. Kini aku sangsi, benarkah ada pohon zonga itu? Seluruh pelosok dunia telah kujelajahi. Tidak seorangpun tahun tentang buah ajaib itu.”
Sambil menyungging senyum, menjawablah kera, “Benar dugaanmu, Celeng. Buah zonga hanya karanganku belaka. Tentu saja kau tidak bisa menemukannya. Tetapi ngomong ngomong, bagaimana cara kau memperoleh kebahagiaan itu?”
Celeng menjawab, “Aku menikmati perjalanan itu. Di mana mana aku menjalin persahabatan. Setiap hari ada hal hal baru yang kulihat. Nah, ternyata dengan banyak bersahabat dan melihat luasnya dunia, hati kita menjadi bahagia.”
Kera mengangguk angguk mengiyakan

Pencuri yang Bijaksana


Dahulu kala ada seorang raja yang kaya raya. Sang Raja begitu yakin akan keadilan aturan dan keputusan yang dibuatnya. "Aturan adalah Aturan "katanya kepada penasihat penasihat kerajaan. Ia tak pernah mengijinkan adanya perkecualian dalam setiap pelaksanaan keputusan yang dibuatnya.
Suatu hari seorang pengawal kerajaan memergoki seorang pengemis yang sedang mengendap endap bermaksud mencuri roti dari dapur kerajaan. Sang raja murka dan memerintahkan supaya pencuri itu dihukum gantung karena begitulah hukuman bagi seorang pencuri.
"Tapi saya toh sangat miskin dan lapar, sementara Sang Baginda Raja memiliki segala galanya. Tentunya tidak salah jika sedikit keju dan roti aku minta. Ya…., saya tidak meminta ijin karena saya sesungguhnya bukan pencuri. Di sana tak ada seorang pun. Kepada siapa saya harus meminta ijin ?"kata pencuri itu menjelaskan.
"Maaf….., tidak ada perkecualian Pengawal, Bawa pencuri ini ke tiang gantungan "perintah raja.
"Ah.., sayang sekali."keluh pencuri itu ketika dalam perjalanan di hadapan pengawal kerajaan. "Mulai sekarang sebuah rahasia besar dari ayahku akan mati bersamaku. Tapi saya senang bahwa saya tidak membocorkannya di hadapan Sang Baginda Raja."
"Apa katamu ? Rahasia besar apa itu ? Ayo, katakan rahasia itu ."sergah pengawal ingin tahu.
"Jika Sang Baginda Raja menanam biji buah delima, maka biji delima itu akan tumbuh dan berbuah hanya dalam semalam. Kalau tidak ada saya, dapatkah itu terjadi ? Itulah rahasia yang telah diajarkan ayahku kepadaku dan aku harus terus merahasiakannya."katanya dengan pandangan sayu.
Pengawal kerajaan itu berhenti dan berpikir sejenak, "Mungkin….Sang Baginda Raja ingin mengalaminya sebelum kamu mati. Kita kembali menghadap Sang Baginda Raja."ajaknya. Ia bergegas membawa pencuri itu menghadap Sang Baginda dengan maksud supaya si pencuri menjelaskan rahasia besar yang disimpannya.
Sang Raja pun ternyata ingin tahu. "Tentang rahasia itu kamu harus menunjukkan kepadaku"kata Sang Raja tidak percaya lalu memerintahkan pengawalnya memetik buah delima dari kebun kerajaan.
Bersama dengan Pegawai Kerajaan, Pengawal Kerajaan dan Sang Raja pergilah Si Pencuri malang itu ke kebun kerajaan. Si Pencuri mulai menggali tanah dan membuat kubangan kecil untuk biji buah delima di tangannya. Namun ia tidak segera meletakkan biji apel tersebut ke kubangan kecil yang telah di buatnya. Selanjutnya ia berdiri dan berkata, "Saya bisa membuat sebuah mukjizat, jika orang lain yang meletakkan biji delima ini ke kubangan kecil itu.. Saya sendiri tidak boleh meletakkan biji apel ini ke kubangan kecil itu. Hanya seorang yang belum pernah mencuri atau mengambil sesuatu dari orang lain, apa yang bukan menjadi haknya boleh meletakkan biji delima ini. Karena saya seorang pencuri maka harus salah satu dari kalian yang melakukannya."
Pegawai Kerajaan, Pengawal Kerajaan dan Sang Raja terdiam. Situasi menjadi hening. Yang terdengar hanyalah suara burung berkicau dan lebah yang mendengung.
Si Pencuri menoleh ke Pengawal Kerajaan dan memohon, "Sudikah Tuan meletakkan biji delima ini ?"
Pengawal Kerajaan itu mulai gemetar dan berkata lirih, "Biji delima itu tidak akan tumbuh, jika aku yang meletakkannya. Dulu ketika saya masih muda, saya pernah mencuri pisau dari tetangga saya."Setelah selesai berbicara, Pengawal Kerajaan itu tidak berani menatap langsung mata Si Pencuri dan memalingkan pandangannya.
Lalu Si pencuri itu berpaling ke Pegawai Kerajaan dan berkata, "Sudikah Tuanku melakukannya?"
Pegawai Kerajaan itu tampak pucat lalu menundukkan kepalanya, "Saya juga tidak bisa melakukannya,"katanya lirih, "Saya setiap hari bekerja dengan jumlah uang yang banyak. Dan sampai saat ini saya telah banyak mengambil uang dari kas untuk kepentinganku sendiri."
Kini Tinggal Sang Baginda Raja. Kata si Pencuri itu, "Tuanku Baginda Raja, Tuankulah satu satunya orang yang belum pernah mengambil barang milik orang lain yang bukan menjadi hak, Baginda. Jadi, sudikah Tuanku Raja meletakkan biji buah delima ini ?"
Tiba tiba saja wajah Sang Raja menjadi pucat pasi. Ia terdiam membisu lalu menggoyangkan pundaknya.
"Setiap benda yang gemerlap selalu disukai anak anak kecil, "kata Sang Raja memulai ceritanya, "Anak kecil selalu saja ingin tahu. Saya teringat ketika saya masih kecil. Saya waktu itu di hukum berat karena saya mengambil kalung permata kerajaan milik ayahanda dan menyembunyikannya di kamarku. Saya waktu itu tidak tahu bahwa kalung itu sangat berharga dan bernilai tinggi bagi kerajaan ini. Saya hanya melihat permata itu seperti bintang bintang yang bercahaya dan warna warni pelanginya akan terpancar di dinding, bila cahaya matahari menyinarinya."Setelah Sang Raja mengakhiri ceritanya, suasana menjadi hening kembali.
Lalu Si pencuri memecah keheningan dengan berkata,"Sang Baginda Raja, Tuanku adalah seorang yang berkuasa dan kaya raya. Tak satu pun berkekurangan. Dan sekarang tak satu pun di antara kalian mampu menumbuhkan biji buah delima ini. Oh… malang sekali nasibku. Aku yang baru akan mengambil roti, supaya rasa laparku hilang akan digantung."keluhnya.
"Kamu sungguh bijaksana "sahut Sang Raja tiba tiba sambil menatap Si Pencuri yang kelihatan sangat sedih. "Kamu telah menunjukkan kepada kami bahwa tak seorang pun sempurna. Jika aturan tidak ditegakkan dengan keras seperti saat ini, maka kami tak akan ada di sini bersamamu. Saya membatalkan keputusan hukum gantungmu. Kamu bebas. Dan sebagai tanda terima kasihku atas kebijaksanaan yang telah kamu bagikan kepada kami, saya menghadiahi kamu kalung permata kerajaan milik ayahandaku. Pergilah sekarang Kamu telah membuka mataku. Dan di masa yang akan datang aturan akan disertai belaskasih. Keadilan harus tetap dijalankan."

Sebutir Pasir


Aku adalah sebutir pasir yang menetap di sebuah pantai yang sepi tak berpenghuni, tiada satu pun orang yang datang untuk bermain, memancing di tepian laut atau bersenda gurau dengan ombak yang bergulung–gulung tanpa henti dan belas kasih menerpa, menyeret teman teman serta sanak familiku yang sedang bermain di tepiannya, yang kemudian dihempaskannya mereka ke dasar biru.
Tenggelam. Tak mudah kembali ketepian untuk melaksanakan kewajiban, tugas tugas apalagi untuk mengambil hak hak mereka yang telah hilang bersama mereka. Terseret. Masuk kedalam dunia penuh keindahan dalam kerajaan laut yang abadi sampai lautan itu berubah menjadi api.
Kalian semua dapat mencari aku dengan mudah karena aku adalah sebutir pasir yang berwarna abu abu yang ada diantara pasir putih yang menghampar luas di pinggiran laut yang biru. Tetapi kadang kau bisa jumpai aku di antara pasir hitam.
Sibakkanlah pasir itu maka kau akan menemukanku sedang bercumbu mesra diantara kerang kerang yang terbenam dalam gundukan pasir hitam. Kelam. Seakan melukiskan warna dalam jiwaku, walaupun aku hanya sebutir pasir.
Gemerisik tubuh kami yang saling bersinggungan karena sang angin yang berhembus pelan menyisir pantai. Membelai kematian. Berpuluh, beratus, beribu, berpuluh ribu, beratus ribu, berjuta, bermilyar, bertriliun dan tak terhitung lagi berapa butir pasir hitam itu yang terhempas, terbawa angin. Dan saat terjadi gelombang yang sedang bergelora, maka pasir pasir putih akan terseret ke dalam laut.
Sungguh aku adalah pasir yang takkan pernah menemui hal hal semacam itu. Karena saat sang angin mulai berdesir aku langsung merubah warnaku menjadi putih dan bergabung dengan pasir putih lainnya, dan saat gelombang besar menghujam aku langsung bergegas menjadikan tubuhku hitam kelam dan langsung bersembunyi di balik kerang. Hidupku mungkin akan abadi jika aku terus menjadi pasir kelabu, setidaknya akan seperti itu. Tapi aku akan mengerti apa itu hidup diantara yang putih dan yang hitam. Hingga tua menjadi putih, tubuhku, rambutku, kumisku, jenggotku menjadi memutih kemudian rontok, jatuh berderai hingga akhirnya jiwa lepas dari raga.
Pernah aku mencoba untuk tetapkan diriku menjadi putih walau tak akan seputih kapas yang telah berfaedah untuk kehidupan. Tetapi, aku tak sanggup aku telah terbujuk oleh awan hitam yang telah menurunkan tinta hitam yang membuat tubuhku menjadi hitam. Kelam. Walau tubuhku telah menjadi hitam, tetapi tidak sampai jiwa dan hatiku ikut menjadi hitam seperti halnya dengan tubuhku.
Hatiku takkan seputih hatimu, dan hanya aku yang memiliki hati yang kelabu seperti abu. Terkadang aku ikut kursus pelatihan ilmu memutihkan diri tetapi aku juga ikut bermain di arena silam.
"aku bangga menjadi pasir kelabu" teriakku dalam kesunyian, walau tak akan ada yang mendengar.
Temanku Si Pasir Hitam, yang sudah sangat hitamnya ia berkata, "ayolah gabung bersama kami kau akan dapatkan kesenangan. "
"kesenangan apa?" tanyaku.
"semua kesenangan yang ada di dunia ini?"
"hanya di dunia?"
"ya, hanya di dunia" tegasnya.
Temanku Si Pasir Putih yang tadi diam saja menyimak aku dan Si Pasir Hitam mengoceh, kemudian angkat bicara.
"kau ikut kami saja."
"kemana?" tanyaku.
"kau ikut kami menuju jalan yang benar." Katanya dengan nada menasehati.
"jalan yang bagaimana?"
"jalan yang akan membuat hidup kita di akhirat nanti menjadi bahagia." Si Pasir Putih menjelaskan.
"bagaimana dengan hidupku di dunia?" tanyaku.
"jika kau ingin berikhtiar dan berdoa kepada Nya hidupmu akan bahagia." Jawabnya.
Benakku berkeliling mencari sebuah keputusan yang pantas untuk hidupku yang sudah sampai di mana aku bisa memilih. Jika aku memilih untuk mengikuti Pasir Hitam, maka aku akan bahagia di dunia. Dan jika aku mengikuti Pasir Putih, maka aku akan bahagia di akhirat.
Dan aku berkata untuk sebuah keputusan kepada kedua temanku yang sama sama kucintai
"Biarkanlah sang waktu yang akan menjawab semua itu"