Tersebutlah
seorang ayah yang mempunyai anak. Ayah ini sangat menyayangi anaknya.
Di suatu weekend, si ayah mengajak anaknya untuk pergi ke pasar malam.
Mereka pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seat
beltnya karena merasa tidak nyaman. Si ayah sudah menyuruhnya memasang
kembali, namun si anak tidak menurut.
Benar saja, di sebuah tikungan, sebuah mobil lain melaju kencang tak
terkendali. Ternyata pengemudinya mabuk. Tabrakan tak terhindarkan. Si
ayah selamat, namun si anak terpental keluar. Kepalanya membentur aspal,
dan menderita gegar otak yang cukup parah. Setelah berapa lama mendekam
di rumah sakit, akhirnya si anak siuman. Namun ia tidak dapat melihat
dan mendengar apapun. Buta tuli. Si ayah dengan sedih, hanya bisa
memeluk erat anaknya, karena ia tahu hanya sentuhan dan pelukan yang
bisa anaknya rasakan.
Begitulah kehidupan sang ayah dan anaknya yang buta-tuli ini. Dia
senantiasa menjaga anaknya. Suatu saat si anak kepanasan dan minta es,
si ayah diam saja. Sebab ia melihat anaknya sedang demam, dan es akan
memperparah demam anaknya. Di suatu musim dingin, si anak memaksa
berjalan ke tempat yang hangat, namun si ayah menarik keras sampai
melukai tangan si anak, karena ternyata tempat ‘hangat’ tersebut tidak
jauh dari sebuah gedung yang terbakar hebat. Suatu kali anaknya kesal
karena ayahnya membuang liontin kesukaannya. Si anak sangat marah, namun
sang ayah hanya bisa menghela nafas. Komunikasinya terbatas. Ingin
rasanya ia menjelaskan bahwa liontin yang tajam itu sudah berkarat.,
namun apa daya si anak tidak dapat mendengar, hanya dapat merasakan. Ia
hanya bisa berharap anaknya sepenuhnya percaya kalau papanya hanya
melakukan yang terbaik untuk anaknya.
Saat-saat paling bahagia si ayah adalah saat dia mendengar anaknya
mengutarakan perasaannya, isi hatinya. Saat anaknya mendiamkan dia, dia
merasa tersiksa, namun ia senantiasa berada disamping anaknya, setia
menjaganya. Dia hanya bisa berdoa dan berharap, kalau suatu saat Tuhan
boleh memberi mujizat. Setiap hari jam 4 pagi, dia bangun untuk
mendoakan kesembuhan anaknya. Setiap hari.
Beberapa tahun berlalu. Di suatu pagi yang cerah, sayup-sayup bunyi
kicauan burung membangunkan si anak. Ternyata pendengarannya pulih! Anak
itu berteriak kegirangan, sampai mengejutkan si ayah yg tertidur di
sampingnya. Kemudian disusul oleh pengelihatannya. Ternyata Tuhan telah
mengabulkan doa sang ayah. Melihat rambut ayahnya yang telah memutih dan
tangan sang ayah yg telah mengeras penuh luka, si anak memeluk erat
sang ayah, sambil berkata. “Ayah, terima kasih ya, selama ini engkau
telah setia menjagaku.”
Bertahun-tahun
yang lalu ketika aku masih berusia dua puluhan, aku bekerja sebagai
seorang salesman untuk perusahaan piano St. Louis. Kami menjual piano ke
seluruh negara bagian dengan cara mengiklankan di koran-koran setempat.
Jika kami sudah mendapatkan banyak pesanan, maka kami akan mengirimkan
piano-piano dengan truk.
Setiap kali kami memasang iklan di daerah perkebunan kapas di
Missouri tenggara, maka kami akan menerima tanggapan di atas kartu pos
dari seorang wanita tua yang menulis, “Tolong kirimkan sebuah piano baru
untuk cucu perempuanku. Warnanya harus merah mahoni. Aku sanggup
membayar sepuluh dollar per bulan dari hasil penjualan telur.”
Tentu saja kami tidak dapat menjual sebuah piano baru dengan cicilan
sepuluh dollar setiap bulan. Tidak ada bank yang mau menangani
pembayaran cicilan sekecil itu, jadi kami abaikan saja kartu pos itu.
Pada suatu hari aku kebetulan berada di daerah itu untuk memenuhi
permintaan beberapa pembeli, dan karena keingin-tahuanku, maka aku
memutuskan untuk mengunjungi wanita tua penulis kartu pos itu. Aku sudah
membayangkan apa yang akan aku temui. Wanita tua itu tinggal di sebuah
gubug kecil sebagaimana lazimnya petani yang berbagi hasil di tengah
perkebunan kapas.
Gubugnya berlantai tanah dan banyak ayam berkeliaran di dalam gubuk
itu. Tentu saja ia tidak memiliki mobil, telpon, atau pekerjaan tetap.
Ia tidak memiliki apa-apa kecuali atap di atas kepalanya. Atapnyapun
tidak begitu baik karena aku dapat melihat langit biru dari dalam. Cucu
perempuannya kira-kira berusia sepuluh tahun, bertelanjang kaki dan
memakai baju dari bekas karung terigu.
Aku menerangkan kepada wanita tua ini bahwa perusahaan kami tidak
dapat menjual piano dengan cicilan sepuluh dollar sebulan dan aku mohon
kepadanya untuk tidak mengirimkan kartu pos sebagai tanggapan atas iklan
kami. Aku meninggalkan gubuk mereka dengan hati yang hancur.
Keteranganku tidak ada gunanya karena ia tetap saja menulis kartu pos
permintaannya. Kartu pos dengan permintaan yang sama datang setiap enam
minggu. Permintaannyapun sama, sebuah permohonan memelas untuk sebuah
piano merah mahoni disertai janji dan sumpah bahwa ia tidak akan
membayar terlambat cicilannya. Memang amat menyedihkan.
Beberapa tahun kemudian aku akhirnya memiliki perusahaan piano
sendiri dan ketika aku memasang iklan di daerah itu, kartu pos dengan
isi yang sama mulai berdatangan. Berbulan-bulan lamanya aku abaikan. Apa
yang dapat aku lakukan?
Tetapi pada suatu hari ketika aku berada di daerah itu, ada sesuatu
yang menggerakkan hatiku. Aku membawa sebuah piano merah mahoni di atas
truk. Meskipun tahu bahwa aku akan membuat keputusan bisnis yang keliru,
aku mengantar piano tersebut ke gubuk wanita tua itu. Aku tidak
mengikut-sertakan bank. Aku sendiri yang menanda-tangani kontrak senilai
sepuluh dollar sebulan tanpa bunga dan itu berarti lima puluh dua kali
pembayaran.
Aku menurunkan piano dan memasukkannya ke dalam gubuk dan memilih
tempat yang kelihatannya tidak akan kebocoran. Aku mengingatkan nenek
serta cucunya agar tidak membiarkan ayam bermain dekat piano. Ketika
beranjak pergi, aku merasa yakin telah membuang sebuah piano baru.
Tetapi memang pembayaran datang tepat waktu, lima puluh dua bulan,
tepat seperti yang ia janjikan. Kadang-kadang ia membayar dengan uang
logam yang ditempel pada sebuah karton tebal di dalam amplop.
Menakjubkan memang. Aku telah melupakan hal itu selama dua puluh tahun.
Pada suatu hari aku berada di Memphis dalam rangka bisnis dan sesudah
makan malam di sebuah hotel mewah, aku duduk di sofa sambil minum. Di
kejauhan aku mendengar alunan suara piano yang amat indah. Aku
mencari-cari dan terlihat seorang wanita muda yang cantik sedang bermain
di sebuah grand piano.
Karena aku juga seorang pemain piano, aku dapat mengenali permainan
seseorang yang amat mahir. Aku pindah mendekati si pemain piano agar
bisa mendengar dan melihat. Ia tersenyum kepadaku dan bertanya adakah
lagu yang aku ingin ia mainkan?
Ketika beristirahat ia menghampiriku dan duduk di mejaku.
“Apakah anda pria yang menjual piano kepada nenekku bertahun-tahun yang lalu?”
Aku tidak menyadari kata-katanya, jadi aku memintanya menerangkan apa
yang ia maksudkan. Ia mulai bercerita dan aku tiba-tiba ingat. Oh! Ia
adalah gadis yang tidak beralas kaki serta memakai baju dari bekas
karung terigu itu.
Ia mengatakan bahwa namanya Elise dan karena dulu neneknya tidak
mampu membayar seorang guru piano, maka ia belajar bermain piano dengan
cara mendengarkan radio. Ia juga mengatakan bahwa mula-mula ia bermain
di tempat kebaktian yang harus mereka capai dengan berjalan kaki sejauh
tiga kilometer.
kemudian ia bermain di sekolah dan memenangkan banyak perlombaan
bermain piano, dan kemudian menerima beasiswa. Ia juga bercerita bahwa
ia sudah menikah dengan seorang pengacara yang telah membelikannya
sebuah grand piano yang sangat indah.
Kemudian aku bertanya,
“Elise, apa warna piano itu?”
“Merah mahoni,” jawabnya.
Apakah ia tahu pentingnya warna merah mahoni itu? Keberanian dan
ketekunan dari neneknya untuk mengharapkan sebuah piano berwarna merah
mahoni ketika tidak ada orang yang mau menjual piano kepadanya. Juga
keberhasilan yang bukan main dari gadis kecil yang tidak beralas kaki
dan hanya memakai baju dari bekas karung terigu.
Mungkin Elise tidak tahu semuanya ini, namun aku amat tahu. Ini semua
hanya dapat terjadi karena kasih seorang nenek terhadap cucunya…
Pada
tahun 1971 surat kabar New York Post menulis kisah nyata tentang
seorang pria yang hidup di sebuah kota kecil di White Oak, Georgia,
Amerika. Pria ini menikahi seorang wanita yang cantik dan baik,
sayangnya dia tidak pernah menghargai istrinya. Dia tidak menjadi
seorang suami dan ayah yang baik. Dia sering pulang malam- malam dalam
keadaan mabuk, lalu memukuli anak dan isterinya.
Satu malam dia memutuskan untuk mengadu nasib ke kota besar, New
York. Dia mencuri uang tabungan isterinya, lalu dia naik bis menuju ke
utara, ke kota besar, ke kehidupan yang baru. Bersama-sama beberapa
temannya dia memulai bisnis baru. Untuk beberapa saat dia menikmati
hidupnya. Sex, gambling, drug. Dia menikmati semuanya.
Bulan berlalu. Tahun berlalu. Bisnisnya gagal, dan ia mulai
kekurangan uang. Lalu dia mulai terlibat dalam perbuatan kriminal. Ia
menulis cek palsu dan menggunakannya untuk menipu uang orang. Akhirnya
pada suatu saat naas, dia tertangkap. Polisi menjebloskannya ke dalam
penjara, dan pengadilan menghukum dia tiga tahun penjara.
Menjelang akhir masa penjaranya, dia mulai merindukan rumahnya. Dia
merindukan istrinya. Dia rindu keluarganya. Akhirnya dia memutuskan
untuk menulis surat kepada istrinya, untuk menceritakan betapa
menyesalnya dia. Bahwa dia masih mencintai isteri dan anak-anaknya. Dia
berharap dia masih boleh kembali. Namun dia juga mengerti bahwa mungkin
sekarang sudah terlambat, oleh karena itu ia mengakhiri suratnya dengan
menulis, "Sayang, engkau tidak perlu menunggu aku. Namun jika engkau
masih ada perasaan padaku, maukah kau nyatakan? Jika kau masih mau aku
kembali padamu, ikatkanlah sehelai pita kuning bagiku, pada satu-satunya
pohon beringin yang berada di pusat kota. Apabila aku lewat dan tidak
menemukan sehelai pita kuning, tidak apa-apa. Aku akan tahu dan
mengerti. Aku tidak akan turun dari bis, dan akan terus menuju Miami.
Dan aku berjanji aku tidak akan pernah lagi menganggu engkau dan
anak-anak seumur hidupku."
Akhirnya hari pelepasannya tiba. Dia sangat gelisah. Dia tidak
menerima surat balasan dari isterinya. Dia tidak tahu apakah isterinya
menerima suratnya atau sekalipun dia membaca suratnya, apakah dia mau
mengampuninya? Dia naik bis menuju Miami, Florida, yang melewati kampung
halamannya, White Oak. Dia sangat sangat gugup. Seisi bis mendengar
ceritanya, dan mereka meminta kepada sopir bus itu, "Tolong, pas lewat
White Oak, jalan pelan- pelan...kita mesti lihat apa yang akan
terjadi..."
Hatinya berdebar-debar saat bis mendekati pusat kota White Oak. Dia
tidak berani mengangkat kepalanya. Keringat dingin mengucur deras.
Akhirnya dia melihat pohon itu. Air mata menetas di matanya...
Dia tidak melihat sehelai pita kuning...
Tidak ada sehelai pita kuning....
Tidak ada sehelai......
Melainkan ada seratus helai pita-pita kuning....bergantungan di pohon
beringin itu...Ooh...seluruh pohon itu dipenuhi pita kuning...!!!
Kisah nyata ini menjadi lagu hits nomor satu pada tahun 1973 di
Amerika. Sang sopir langsung menelpon surat kabar dan menceritakan kisah
ini. Seorang penulis lagu menuliskan kisah ini menjadi lagu, "Tie a
Yellow Ribbon Around the Old Oak Tree", dan ketika album ini di-rilis
pada bulan Februari 1973, langsung menjadi hits pada bulan April
1973.Sebuah lagu yang manis, namun mungkin masih lebih manis jika kita
melakukan apa yang disiratkan oleh liriknya.
Yellow Ribbon
ON ROUND THE OLD OAK TREE ON ROUND THE OLD OAK TREE
I'm coming' home, I've done my time
Now I've got to know what is and isn't mine
If you received my letter telling you I'd soon be free
Then you'll know just what to do
If you still want me
If you still want me
Whoa, tie a yellow ribbon 'round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Bus driver, please look for me
'cause I couldn't bear to see what I might see
I'm really still in prison
And my love, she holds the key
A simple yellow ribbons what I need to set me free
I wrote and told her please
Whoa, tie a yellow ribbon round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Now the whole damned bus is cheering
And I can't believe I see
A hundred yellow ribbons round the old oak tree
I'm coming home
I'm coming' home, I've done my time
Now I've got to know what is and isn't mine
If you received my letter telling you I'd soon be free
Then you'll know just what to do
If you still want me
If you still want me
Whoa, tie a yellow ribbon 'round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Bus driver, please look for me
'cause I couldn't bear to see what I might see
I'm really still in prison
And my love, she holds the key
A simple yellow ribbons what I need to set me free
I wrote and told her please
Whoa, tie a yellow ribbon round the old oak tree
It's been three long years
Do ya still want me?
If I don't see a ribbon round the old oak tree
I'll stay on the bus
Forget about us
Put the blame on me
If I don't see a yellow ribbon round the old oak tree
Now the whole damned bus is cheering
And I can't believe I see
A hundred yellow ribbons round the old oak tree
I'm coming home
"Bisa
saya melihat bayi saya?" pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh
kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka
selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu
menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang
kearah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah
telinga.
Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh
menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya
saja yang tampak aneh dan buruk. Suatu hari anak lelaki itu bergegas
pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu yang
menangis. Ia tahu hidup anak lelakinya penuh dengan kekecewaan dan
tragedi. Anak lelaki itu terisak-isak sambil berkata, "Seorang anak
laki-laki besar mengejekku. Katanya, aku ini makhluk aneh."
Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Iapun
disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di
bidang musik dan menulis. Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya
mengingatkan,"Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja
lain?" Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya.
Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang
bisa mencangkokkan telinga untuknya. "Saya percaya saya bisa memindahkan
sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia
mendonorkan telinganya," kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu
mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkannya
pada mereka.
Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil
anak lelakinya, "Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia
mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah
sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia." kata
sang ayah.
Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahirlah.
Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun
menerima banyak penghargaan dari sekolahnya. Beberapa waktu kemudian ia
pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya,
"Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia
mengorbankan ini semua padaku, ia telah berbuat sesuatu yang besar
namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya." Ayahnya menjawab,
"Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah
memberikan telinga itu." Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan,
"Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua
rahasia ini."
Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan
rahasia. Hingga suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga
itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah
ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah
membelai rambut jenazah ibu yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya
sehingga tampaklah... bahwa sang ibu tidak memiliki telinga.
"Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan
rambutnya," bisik sang ayah. "Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia
telah kehilangan sedikit kecantikannya bukan?" Kecantikan yang sejati
tidak terletak pada penampilan tubuh namun di dalam hati.
Cheng Beng, Hari Penghormatan Leluhur
Setiap tanggal 4 atau 5 April, menurut tradisi Tionghoa, adalah hari
Cheng Beng (Mandarin: Qingming). Di mana menurut tradisi Tionghoa, orang
akan beramai-ramai pergi ke tempat pemakaman orang tua atau para
leluhurnya untuk melakukan upacara penghormatan. Biasanya upacara
penghormatan ini dilakukan dengan berbagai jenis, misalnya saja
membersihkan kuburan, menebarkan kertas sampai dengan membakar kertas
yang sering dikenal dengan Gincua (mandarin: Yinzhi=kertas perak).
Cheng beng adalah salah satu dari 24 Jieqi yang ditentukan
berdasarkan posisi bumi terhadap matahari. Pada Kalender Gregorian AWAL
(bukan akhir!) Cheng beng jatuh pada tanggal 5 April atau 4 April. Bila
kita artikan kata Cheng beng, maka Cheng berarti cerah dan Beng artinya
terang sehingga bila digabungkan maka Chengbeng berarti terang dan
cerah.
Saat Chengbeng ideal untuk berziarah dan membersihkan makam karena
cuaca yang bagus (cuaca cerah, langit terang). Apalagi pada jaman dahulu
lokasi pemakaman cukup jauh dari tempat pemukiman. Bahkan bila ada
orang yang tinggal jauh dari kampung halamannya, mereka akan berusaha
untuk pulang ke kampung halamannya, khusus untuk melakukan upacara
penghormatan para luluhur.
Sejarah Cheng Beng
Sejarah Cheng beng dimulai sejak dulu kala dan sulit dilacak kapan dimulainya.
Pada dinasti Zhou, awalnya tradisi ini merupakan suatu upacara yang
berhubungan dengan musim dan pertanian serta pertanda berakhirnya hawa
dingin (bukan cuaca) dan dimulainya hawa panas. Ada sebuah syair yang
menggambarkan bagaimana cheng beng itu yaitu: "Sehari sebelum cheng beng
tidak ada api" atau yang sering disebut Hanshijie (han: dingin, shi:
makanan, jie: perayaan/festival).
Hanshijie adalah hari untuk memperingati Jie Zitui yang tewas
terbakar di gunung Mianshan. Jin Wengong (raja muda negara Jin pada
periode Chunqiu akhir dinasti Zhou) memerintahkan rakyat untuk tidak
menyalakan api pada hari tewasnya Jie Zitui. Semua makanan dimakan dalam
kondisi dingin, sehingga disebut perayaan makanan dingin.
Chengbeng lebih tepat jika dikatakan terjadi pada tengah musim semi.
Pertengahan musim semi (Chunfen) sendiri jatuh pada tanggal 21 Maret,
sedangkan awal musim panas (Lixia) jatuh pada tanggal 6 Mei. Sejak
jaman dahulu hari cheng beng ini adalah hari untuk menghormati leluhur.
Pada dinasti Tang, hari cheng beng ditetapkan sebagai hari wajib untuk
para pejabat untuk menghormati para leluhur yang telah meninggal, dengan
mengimplementasikannya berupa membersihkan kuburan para leluhur,
sembahyang dan lain-lain.
Di dinasti Tang ini, implementasi hari cheng beng hampir sama dengan
kegiatan sekarang, misalnya seperti membakar uang-uangan, menggantung
lembaran kertas pada pohon Liu, sembayang dan membersihkan kuburan. Yang
hilang adalah menggantung lembaran kertas, yang sebagai gantinya
lembaran kertas itu ditaruh di atas kuburan. Kebiasaan lainnya adalah
bermain layang-layang, makan telur, melukis telur dan mengukir kulit
telur.
Permainan layang-layang dilakukan pada saat Chengbeng karena selain
cuaca yang cerah dan langit yang terang, kondisi angin sangat ideal
untuk bermain layang-layang. Sedangkan pohon Liu dihubungkan dengan Jie
Zitui, karena Jie Zitui tewas terbakar di bawah pohon liu. Pada dinasti
Song (960-1279) dimulai kebiasaan menggantungkan gambar burung walet
yang terbuat tepung dan buah pohon liu di depan pintu. Gambar ini
disebut burung walet Zitui.
Kebiasaan orang-orang Tionghoa yang menaruh untaian kertas panjang di
kuburan dan menaruh kertas di atas batu nisan itu dimulai sejak dinasti
Ming. Menurut cerita rakyat yang beredar, kebiasaan seperti itu atas
suruhan Zhu Yuanzhang, kaisar pendiri dinasti Ming, untuk mencari
kuburan ayahnya. Dikarenakan tidak tahu letaknya, ia menyuruh seluruh
rakyat untuk menaruh kertas di batu nisan leluhurnya. Rakyatpun mematuhi
perintah tersebut, lalu ia mencari kuburan ayahnya yang batu nisannya
tidak ada kertas dan ia menemukannya.
Kenapa pada hari cheng beng itu harus membersihkan kuburan?
Itu berkaitan dengan tumbuhnya semak belukar yang dikawatirkan
akar-akarnya akan merusak tanah kuburan tersebut. Juga binatang-binatang
akan bersarang di semak tersebut sehingga dapat merusak kuburan itu
juga. Dikarenakan saat itu cuaca mulai menghangat, maka hari itu
dianggap hari yang cocok untuk membersihkan kuburan. Selain cerita di
atas, ada pula tradisi dimana jika orang yang merantau itu ketika pulang
pada saat cheng beng, orang itu akan mengambil tanah tempat lahirnya
dan menaruh di kantong merah. Ketika orang tersebut tiba lagi di tanah
tempat ia merantau, ia akan menorehkan tanah tersebut ke alas kakinya
sebagai perlambang bahwa ia tetap menginjak tanah leluhurnya
Versi Lain Asal Usul Hari Ceng Beng:
Pada masa musim semi dan gugur, demi menghindari penindasan Pangeran
Pu Conger terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri. Dalam pelariannya
di sebuah tempat yang tidak berpenghuni, karena penat dan lapar
menderanya, sehingga tidak mampu lagi berdiri. Para pengawalnya berusaha
mencari makanan, namun, meski telah cukup lama berusaha tidak menemukan
makanan sedikit pun.
Tepat di saat semuanya dalam kecemasan, pengawal Jie Zitui menuju ke
tempat yang sepi, dan dari pahanya sendiri memotong sepotong daging,
memasak semangkok sup daging. Makanan ini secara berangsur-angsur telah
memulihkan tenaga Conger, ketika pangeran mengetahui daging itu adalah
daging sayatan Jie Zitui sendiri, ia menitikkan air mata, sangat
terharu.
Sembilan belas tahun kemudian, Conger menjadi raja, yakni raja Pu
Wengong di masa lampau. Setelah naik tahta Wengong memberi hadiah kepada
pejabat yang ikut mengasingkan diri bersamanya waktu itu, hanya Jie
Zitui satu-satunya yang dilupakan olehnya. Banyak yang mengeluhkan
perlakuan yang tidak adil bagi Jie Zitui, banyak yang menasihatinya agar
menghadap raja meminta hadiah.
Sebaliknya Jie Zitui paling memandang rendah orang-orang yang meminta
jasa dan hadiah. Ia berkemas-kemas, dan secara diam-diam pergi ke Mian
Shan (gunung Mian) dan menetap di sana.
Mengetahui hal itu, kemudian Pu Wengong merasa malu bukan main, lalu
ia membawa orang mengundang Jie Zitui. Namun, Jie Zitui bersama ibunya
telah meninggalkan rumahnya pergi ke gunung Mian. Gunung Mian cukup
tinggi dan perjalanan ke sana sulit di tempuh, dipenuhi dengan
pepohonan. Untuk mencari dua orang di gunung tidaklah semudah bicara,
ada yang menyarankan untuk membakar gunung Mian dari tiga sisi, supaya
bisa memaksa Jie zitui ke luar dari gunung. Saran ini pun dianggap
paling memungkinkan dilakukan.
Kobaran api membakar segenap gunung Mian, namun, tidak ditemukan juga
bayangan Jie Zitui. Setelah api padam, orang-orang baru mendapati,
ternyata Jie Zitui yang menggendong ibunya sudah meninggal dalam posisi
duduk di bawah sebuah pohon willow tua. Melihat keadaan itu, Pu Wengong
menangis tersedu-sedu menyesali tindakannya. Ketika mengenakan pakaian
pada jenazah dan dimaksukkan ke dalam peti mati, dari dalam lubang pohon
ditemukan secarik surat terakhir yang ditulis dengan darah yang
bertuliskan: "Menyayat daging untuk dipersembahkan kepada raja dengan
segenap kesetiaan, semoga paduka selalu sentosa." Demi memperingati Jie
Zitui, Raja Pu Wengong memerintahkan menetapkan hari itu sebagai hari
berpuasa.
Pada tahun kedua, ketika Pu Wengong memimpin serombongan menteri
mendaki gunung untuk mengadakan upacara peringatan pada Jie Zitui, ia
mendapati pohon Willow tua yang telah mati itu hidup kembali. Lalu,
pohon Willow tua itu diberi nama "Willow Sentosa", sekaligus memberi
petunjuk di seluruh negeri, dan menjadikan hari terakhir berpuasa
sebagai hari Ceng Beng atau hari ziarah ke makam, yang kemudian
diperingati oleh warga Tiongkok dan orang-orang etnis Tionghoa di
seluruh negeri.
Di
kalangan rakyat Tionghoa banyak terdapat kebiasaan atau tradisi dalam
menyambut datangnya tahun baru (Imlek), dan diwariskan secara
turun-temurun, salah satunya adalah angpao. Saat tahun baru Imlek,
anak-anak akan bersujud dan menyampaikan ucapan selamat tahun baru
kepada yang lebih tua, saat itulah orang tua akan membagikan angpao yang
telah disiapkan sebelumnya kepada anak-anak.
Atau pada malam tahun baru saat anak-anak akan tidur, orang tua akan
meletakkan angpao itu secara diam-diam di bawah bantal mereka.
Menurut cerita, pada zaman dahulu ada seekor binatang yang tinggi
besar, setiap tahun di malam tahun baru binatang itu keluar
mengelus-elus dahi anak-anak yang sedang tidur, anak-anak yang pernah
dibelainya akan menjadi gila. Demi keselamatan anak-anak, orang tua
menjaga anak-anaknya sepanjang malam, dinamakan "Sou Cong".
Berdasarkan legenda di Provinsi Zhejiang, ada sebuah keluarga
pasangan suami istri yang baik dan jujur. Mereka baru memperoleh seorang
anak diusia senja, sehingga sangat menyayangi anaknya bagaikan benda
pusaka. Pada suatu malam tahun baru, agar sang anak tidak diganggu oleh
"Cong" (Makhluk besar) itu, kedua orang tuanya menemani anaknya bermain
dengan kertas merah berisi uang, setelah sepanjang malam bermain, karena
lelahnya orang tua anak itu tertidur, koin uang yang telah dibungkus
dengan kertas merah itu jatuh di samping bantal si anak.
Tidak lama kemudian makhluk itu datang, lalu menjulurkan tangannya
menjamah kepala anak itu. Kedua orang tua anak itu terbangun kaget,
namun, ingin mencegah juga sudah terlambat, saat itulah tampak bungkusan
merah di sisi bantal anak itu memancarkan seberkas cahaya terang dan
langsung menyinari "Cong", makhluk itu berteriak histeris lalu kabur.
Dalam waktu singkat, orang-orang di seluruh pelosok desa mengetahui
peristiwa tersebut, dan menganggap bahwa malam hari terakhir ke-30
setiap tahun, dengan kertas merah yang diisi uang dan diletakkan di sisi
bantal anak-anak dapat menghalau makhluk itu. Semua orang lalu mengisi
uang dengan kertas merah, dan menamakan uang itu sebagai angpao,
anak-anak bisa melewati setahun usianya dengan selamat setelah
mendapatkan angpao.
Sejarah angpao sudah sangat lama, sudah ada sejak zaman dinasti Han,
uang pada waktu itu sebagian besar berbentuk bundar berlubang bulat dan
persegi. Sisi depan angpao diukiri dengan tulisan "Qu Yang Chu Xiung"
(menghalau bala dan bencana), "Fu Shan Sou Hai"(sehat sejahtera), "Chang
Ming Bai Sui" (panjang umur) dan tulisan atau huruf yang membawa
berkah. Ada juga di balik angpao itu diukiri dengan gambar naga dan
phoenix, kura-kura, ikan kembar dan gambar-gambar hoki lainnya. Kemudian
kebiasaan membagi-bagi uang pada musim semi berubah menjadi tradisi
orang tua memberi angpao pada anak yang lebih muda.
Angpao ada dua macam, pertama adalah merajut gambar naga dengan
benang berwarna, dan diletakkan di kaki ranjang. Kedua adalah angpao
yang telah dibungkus uang oleh orang tua, dan dibagikan kepada anak-anak
setelah bersujud mengucapkan selamat tahun baru kepada orang tua.
Intinya, tradisi memberi angpao sudah bersejarah lama, ia (Angpao)
itu menandakan penambahan usia, menghalau penyakit, menolak bala,
keselamatan dan sebaginya, adalah do'a restu yang baik orang tua untuk
anak-anak dan generasi yang lebih muda.
Los
Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika
Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah
kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang.
Itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang
gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa
orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di
situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.
Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota
terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu,
mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa
mereka tidak tahu di mana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun
uang ada di kantong.
Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun.
Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke
jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi di mana
puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk
berteduh.
Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang
dingin. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami
berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus
mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur
di sini.”
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.
Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa
orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu
kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.
Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang
yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis
di sana selama 6 bulan berikutnya.
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan
yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.
Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah
hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan
lain kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib
tidak memperburuk keadaan mereka.
Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak ke
mana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan
gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan
siapapun selama ibunya tidak di tempat.
“Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa
kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di
rambut kita”.
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang
ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar
tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di
sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu
itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong
sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di
daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang
miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.
Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat
rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300
kilometer ke pusat kota.
Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki
wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah di
pusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan
suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri
walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.
Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka
memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana
itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan
orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain
piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai
Mercedes Benz ke manapun ia pergi.
Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.
Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis
Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di
gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur
gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh
seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.
Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona
beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate
sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling
megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu
terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang
membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai
lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang
anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai
untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak
terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap
kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup
kencang.
Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada
telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan
mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran
indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari
kalung-kalung berlian hingga surat-sura pribadi. Tapi di antara
benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk
anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas
murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak
kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di
mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona
menaruh anting-anting itu di dekat foto.
Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan
perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi
bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang
menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama
sekali.
Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama
ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk
wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak
menuruni golongan darah ayahnya.
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam,
berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan
mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa
dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih
sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah
merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih
baik mereka mati bersama.
Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya
yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis,
dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”
Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu
Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu
lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri.
Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di
kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan,
kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk
yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang
jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang
seorang wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari
usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di
negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona
tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh
pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini,
tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar
untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya
sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya
selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang
menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali,
dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu
permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”.
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa
ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya.
Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh
di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka
tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat,
adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu
mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi
jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.
Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota
dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan
kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga
wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota di
mana Serrafonna diculik.
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang
mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa
tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin
bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap
tidak tahu jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja,
mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha
kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah
menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak
lagi.”
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang
kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan
kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari
jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil,
kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi.
Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan
kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan
itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai berdoa,
“Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa
saja”.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa
membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan
saja”.
Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh
derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.
Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan,
kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling
memanjakan.”
Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat
sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi
ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan
puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong
plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan
pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil
polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil
rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera
memenuhi tempat itu.
“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang. Pandangan Serrafona
gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
“Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan
hatimu.”
Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia
menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat
ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi
mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika
ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring
itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
“Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari,
Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya
bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak
menyia-nyiakan saya”.
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu
perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan
orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang
mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya
sendiri ketika ia masih muda.
“Mama….”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang
ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara
sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan
seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.
Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk
anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa
perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan
kepalanya di dada mamanya.
“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan
pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama
ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan.
Mama jangan pergi dulu… Mama…”
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa
lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam
saja…. …satu jam saja…..”
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan
orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya
selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia