Kamis, 10 Mei 2012

Pasir dan Batu


Dua orang sahabat sedang berjalan di padang pasir. Selama dalam perjalanan mereka berdebat tentang sesuatu. Salah seorang dari kedua sahabat itu menampar temannya, dan yang ditampar itu merasa sakit tetapi dia tak berkata apa apa, hanya menulis diatas tanah : "HARI INI TEMAN BAIKKU MENAMPARKU"
Mereka tetap berjalan sampai mereka menemukan sebuah oasis (sumber air), mereka sepakat untuk mandi, teman yang telah ditampar tergelincir dan hampir saja tenggelam di oasis tersebut, tetapi temannya datang dan menolongnya, dan setelah diselamatkan oleh temannya dari bahaya, dia menulis di Batu "HARI INI TEMAN BAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU"
Teman yang telah menampar dan yang telah menyelamatkan nyawa teman baiknya itu bertanya kepadanya, "Setelah saya menyakitimu, kamu menulisnya di tanah dan sekarang, kamu menulisnya diatas batu, mengapa?
Temannyapun menjawab : "Ketika seseorang menyakiti kita, kita harus menulisnya diatas tanah, agar angin dapat menerbangkannya dan dapat menghapusnya sehingga dapat termaafkan. Tetapi ketika seseorang melakukan sesuatu yang baik kepada kita, kita harus mengukirnya diatas batu dimana tak ada angin yang dapat menghapusnya"
"Tulislah sakit hatimu di atas tanah, dan Ukirlah kebaikan dia atas batu"

Selasa, 08 Mei 2012

Oey Tambah Sia - Sang PlayBoy Jakarta Dihukum Gantung Belanda


Mengaet pesinden
Pesta meriah di kabupaten Pekalongan semakin semarak karena kehadiran seorang pesinden tenar bernama Mas Ajeng Gundjing. M.A. Gundjing itu sebenarnya putri seorang mamtancamat. Kenapa ia menjadi pesinden? konom semasa kecil ia pernah sakit parah,sehingga hampir tidak tertolong. Dalam keadaan sulit itu, orang tua untuk bernadar. Kalau anak ini sembuh,kelak ia akan belajar menjadi pesinden.
Gundjing sembuh dan tumbuh menjadi gadis cantik yang pandai menari dan melagukan tembang denganmerdu, sampai tidak ada tandingannya di Pekalongan. OeyTambahsia si matakeranjang segera jatuh hati pada biduan jelita itu.berbagai cara ditempuhnya untuk mendekati dan memikat pesinden itu. Ternyata Tambahsia berhasil. Gundjing menerima uluran tangannya.sebelum pestadi kabupaten resmi usai dan Tambahsia pulang, pesinden itu sudah diboyong ke cirebon lalu dibawa ke Betawi oleh kaki-tangan Tambahsia. Di Betawi Gundjing ditempatkan di pasangrahan Ancol, yang membuat penghuni lama merasa kurang senang.
Baru seminggu di Bintang Mas, Gundjing jatuh sakit. Entah karena Ancol yang kurang sehat atau karena tidak tahan menhadapi sikap para penghuni lama. Melihat Gundjingsakit, buru-buru Tambahsia memindahkannya ke Tangerang, ke tanah Psar Baru milknya. Tambahsia pribadi mengawasi perawatannya sampai pesinden itu sembuh, sehingga praktis Tambahsia lebih banyak berada di Tangerang ketimbang di tempat lain.
Betapapun cintanyaTambahsia kepada Gundjing, ia tetap tidak bisa meninggalkan kebiasaan buruknya untuk berburu gadis, janda maupun istri orang lain. Pemuka masyarakat Cina dan anggota Dewan Cina tidak mampu menertibkannya. Diam-diam mereka memendam dendam dan yakin suatu ketika Oey Tambahsia akan ketemu Batunya. Sementara itu Tambahsia sendiri semakintakabur, sebab merasa tidak ada kekuatan yang mampu mengekangnya.
Mata gelap
Ketika berkunjung ke pekalongan itu, Tambahsia berkenalan dengan anak letnan Cina di kota itu. Pemuda bernama Liem Soe king itu pindah ke Betawi untuk membangun kehidupannya. Agaknya ayahnya tidak meninggalkan warisanbesar, sehingga ia tidak bisa hidup tanpa bekerja. Ia pandai dan rajin, sehingga dipungut mantu oleh Mayor Tan Eng Goan, yaitu dinikahkan dengan salah seorang putrinya dari selir.
Berkat koneksi mertua, ia diangkat menjadi pengelola gabungan pemborong (pachter) madat, yangmerupakan usaha gabungan lima orang Pemuka Cina, termasuk Tan Eng Goan. Pada masa itu pemerintah Hindia Belanda memonopoli semua pembuatan dan perdagangan madat (apium) dan penjualannya kepada konsumen diserahkan kepada para pachter.
Sekalipun pernah berkenalan di Pekalongan, Liem Soe King tidak bergaul dengan Oey Tambahsia, sebab Liem lebih dekat dengan para pemuka Cina yang bermusuhan dengan Tambahsia, di samping kedudukannya sebagai menantu Tan Eng Goan. Pada suatu ketika, Tambahsia mendengar dari kaki-tangannya bahwa seorang perempuan kerabatnya jatuh hati kepada Liem. Pendekatan entardengan cara apa, ternyata tidak ditanggapi oleh Liem. Oey Tambahsia menganggap hal ini sebagai penghinaan dan aib besar bagi keluarganya. Mungkin juga Oey sudah lama tidak suka kepada Liem yang dianggap antek para pemuka Cina dan Oey merasa tidak di pandang, karena Liem tidak datang kepadanya untuk melanjutkan perkenalan mereka di Pekalongan. Boleh jadi juga dendamnya dikobarkan oleh para antek dan penjilat yang selalu mengelilinginya.
Maka Oey Tambahsia bertekad untuk menyingkirkan Liem Soe King.
Ternyata hal itu tidak mudah ia menyingkirkan korban-korbannya yang lain. Liem Soe King selalu di kawal ke mana pun ia pergi. Lagi pula ia sudah mendengar ancaman Tambahsia sehingga selalu waspada. Tambahsia bertambah geram karena anak nuahnya tidak berdaya melenyapkan orang yang dibencinya. Maka timbullah muslihat kej di benaknya.
Rencana keji
Oey Tambahsia menggodok rencananya masak-masak. Ia menyuruh kokinyamenbuat kue yang harus diisi dengan roomvla (seperti isi kue sus, rasanya manis).Kue itu disuruhnya hidangkan di atas piring dan ditaruh di kamar Tambahsia.Roomvla-nya tidak diisikan dulu. Lalu Tanbahsia mengambil racun dan dicampurnya dengan roomvla. Ia memerintah seseorang memanggil seorang begundalnya yang bernama Oey Tjoen Kie (Tjeng Kie). Antek yang biasa disuruh mencarikan perempuan itu bergegas ke rumah majikannya. Didapatkan Tambahsia sedang tidur-tiduran sambil menghisap madat. Tambahsia mempersilakan Tjoen Kie iktu mengisap. Tawaran itu diterima dengan senang hati.Setelah bersama-sama meneguk teh panas, Tjoen Kie merasa lapar dan makan kue-kue di piring tanap dipersilakan lagi. Dengan mata setengah terpejam Tambahsia melihat Tjoen Kie melahap dau buah kue.
“Kamu makan kue itu, Kie?”tanya Tambahsia.
“ya, Sia. Maaf, habis saya lapar…”jawab Tjoen kie takut kena marah.
“wah,celaka!”seru Tambahsia pura-pura terkejut.”Kamu bakal mati, sebab kue iu beracun!”
Tjoen Kie lega karena tidak dimarahi. ia tenang-tenang saja sebab mengira majikannya bergurau.
“Jangan main-main ah, Sia.”katanya
“Betul!”kata Tambahsia sambil bangkit.”Sungguh kamu bakal mati. tapi jangan khawatir. aku akan mengurus segalanya dan akan menjamin hidup keluargamu kalau kamu mau menuruti kehendakku.”
Tjoen Kie masih mengira majikannya bercanda. Mustahil Tambahsia sekeji itu?Namun kemudian ia merasa perutnya sakit. Ia terus menerus mereguk teh dengan harapan sakitnya berkurang, tetapi ternyata bertambah. Ketika sakitnya sudah tidak tertahankan lagi ia berteriak-teriak dan melupakan hubungannya denganmajikannya.Ia memaki-maki Tambahsia sebagai orang kejam dan jahat. Ia menanyakan apa alasannya sampai ia disingkirkan dengan cara sekejam itu.
OeyTambahsia menghiburnya seraya berkata, mati pun Tjoen Kie tidak sia-sia,sebab ada tujuannya, Lalu ia menbujuk begundalnya itu agar mau memberikan keterangan tertulis bahwa yang memberi racun itu … Liem Soe King.
keadaan Tjoen Kie makin lama makin parah sampai akhinya rupanya ia tidak berdaya lagi melawan kehendak majikannya. Atau mungkinkan iamanusia berjiwa budak yang tidak bisa berpikir lain, sehingga setuju saja dibuatkan keterangan tertulis di muka notaris yang dipanggil oleh Tambahsia dan disaksikan oleh polisi dan pejabat lain?Menurut pengakuan yang didiktekan oleh Tambah itu, Tjoen Kie disurh menagih utang kepada Liem, tetapi tidak dibayar. Sebaliknya ia persilakan duduk dan diberi minuman. Ketika perutnya mulai sakit, ia melapor kepada Tambahsia.
Tidak lama setelah menandatangani pernyataan itu Tjoen Kie meninggal. Mayatnya dibawa ke Stadsverband (rumah sakit) di Glodok untuk diperiksa. Sementara itu Tambahsia mengirimkan peti jenazah dan pelengkapan lain ke rumah keluarga mendiang di jembatan Lima. Polisi membuat prose verbal lalu mencari Liem Soe King yang dituduh membunuh Oey Tjoen Kie.
Dirumah Liem Soe King, polisi mendapat keterangan bahwa Liem sudah empat hari tidak pulang. Diduga ia sedang sibuk main judi di rumah prkumpulannya.
Tamu dari Pekalongan
Sementara itu di tempat lain berlangsung sebuah lakon lain. Seorang laki-laki muda berpakaian seperti priyayi Jawa, suatu hari berkunjung ke rumah Oey Tambahsia. Ia mengaku bernama Mas Sutedjo, datang dari Pekalongan untuk mencari adiknya, M.Am Gundjing. Seingat Tambahsia, Gundjing tidak pernah menyebut-nyebut mempunyai kakau laki-laki. Meskipun agak kurang senang dan bercuriga terhadap lelaki tampan itu, ia menyuruh tamunya itu diantarkan ke kampung Pasar Baru di Tangerang.
Mas Sutedjo disambut hangat oleh M.A.Gundjing, sebagia layaknya saudara yang lama tidak bertemu dan datang dari jauh. Masa itu perjalanan Pekalongan – Jakarta harus ditempuh selama beberapa hari dengan kereta pos yang diterik kuda. Karena itu wajar saja kalau Gundjing menawari kakaknya tinggal lebih lama di Tangerang, sebelum kembali ke Pekalongan. Mas Sutedjo tampaknya cukup betah tinggal di rumah besar yang di keliling oleh kebun yang luas, dengan staf pelayan yang siap melayani segala keperluannya. Ia tinggal lebih lama dari rencana semula karena mingkin belum cukup melepaskan rindunya kepada adiknya tercinta.
Selain menyanyi dan menari, Gundjing juga pandai membatik, yang dilakukannya pada waktu laungnya. Sutedjo dihadiahnya sehelai kain batik halusnya sebagai kenang-kenangan. Pakaian itu langsung dikenakanoleh Sutedjo.
Sementara itu, mat-mata di kalangan staf pelayan di kampung Pasar Baru melaporkan hal-hal yang bukan didasarkan pada fakta, tetapi semata-mata pada prasangka. Kecurigaan Tambahsia semakin memperkuat rasa cemburunya. Apalagi melihat hubungan akrab pria ganteng dengan perempuan cantik yang umurnya tidak berjauhan itu.
Mas sutedjo
Trebakar oleh api cemburu buta, Tambahsia menyuruh tukang pukulnya, Piun dan Sura, untuk menyingkirkan lelaki tampan dari Pekalongan itu. Kedua jawara bayaran yang sudah berpengalaman itu melaksanakan perintah dengan cepat dan rapi. Malam itu juga Mas Sutedjo tidak pulang ke wisma Pasar Baru dan tidak seorang pun memberitahukan kepada adiknya ke mana perginya laki-laki malang itu. Ia menjadi korban kesekian dari Tambahsia yang kejam.
Cuma saja si Piun membuat kesalahan besar. Melihat kain batik tulis yang dikenakan korbannya, terbit sifat tamaknya. Ia mengambilnya, padahal Sura mengingatkan agar kain itu dibuang saja.
Sementara itu Liem Soe King berhasil ditemukan di salah sebuah rumah judi di Meester Cornelis (jatinegara) oleh orang-orang suruhan mertuanya. Liem sangat terkejut oleh tuduhan yang ditimpakan kepadanya Ia segera menghadap mertua, memberitahukan bahwa ia tahu-menahu perkara pembunuhan itu. setelah itu ia langsung melapor ke polisi.
Karena menurut bukti-bukti tertulis Liem terlibat peracunan, polisi terpaksa menahannya, sementera mereka mengumpulkan bukti-bukti dan saksi-saksi lain untuk menyusun berkas perkara. Mayor Tan Eng Goan tentu saja tidak tinggal diam. ia berusaha menyelamatkan menantunya. ia mendapat keterangan bahwa Liem tidak berada di tempat kejadian saat peristiwa peracunan itu. Liem memiliki alibi kuat yang didukung empat saksi. Ternyata kegemarannya berjudi menyelamatkannya dari perangkap Oey Tambahsia.
Empat orang kawan mainnya di rumah judi, salah seorang diantaranya jaksa dari bekasi, membuat pernyataan di bawah sumpah . karena itu , polisi yang tidak yakin dengan kesalahan Liem, mengeluarkannya dari tahanan.
Rahasia kue beracun
Dirumahnya, secara kebetulan Liem mendengar salah seorang pembantu rumah tangganya, Jiran, bercerita, Kata Jiran, Kakak perempuannya bekerja sebagai juru masak di rumah Oey Tambahsia. memergoki majikannya sedang memasukkan bubuk ke dalam kue yang disimpan di kamar tidur. Liem sangat tertarik pada cerita itu dan menyuruh Jiran agar memanggil kakaknya.
Dari juru Masak itu, Liem mendengar Tambahsia menyuruh membuat kue yang memakai roomvla, tetapi roomvla itu tidak langsung dimasukkan ke kue. Sang juru masakan melihat majikannya di dalam kamar tidur.
Liem bergegas melaporkan keterangan ini kepada Asisten Residen Keuchenius yan bertugas menangani perkara-perkara kepolisian. Keuchenius tentu saja tidak mau menelan begitu saja keterangan ini, tetapi meninta bukti. Liem menyarankan agar rumah Oey Tambahsia digeledah. Siapa tahu roomvla beracun masih bisa ditemukan.
pegrebekan dilakukan keesokan hairnya saat masih pagi sekali. Pasukaan polisi dipimpin oleh asisten residen sendiri. Ternyata Oey tambahsia sedang tidak berada di rumah, tetapi sisa kue masih ada, juga semangkuk roomvla di kolong ranjang. mungkin Tambahsia begitu yajin tidak akan pernah dituduh melakukan peracunan, sehingga lalai menyingkirkan barang bukti ini. Menurut pemeriksaan polisi, racun dalam roomvla itu sama dengan yang ditemukan dalam jenazah eoy Tjoen kie.
Di arena adu jago
Liem terus berusah mengumpulkan bukti kejahatan Tambahsia. dengan bergegas ia pergi ke Tangerang. Di sana ia berhasil membujuk M.A. Gundjing untuk bersedia menjadi saksi dalam perkara hilangnya kakak kandungnya. Di depan Asisten residen, Gundjing mengungkapkan kecurigaannya terhadap Piun yang secara sembrono mengenakan kain batik tulis milik kakaknya yang hilang.
Polisi menginterogasi Piun dan jawaraitu terpaksa mengaku bahwa atas perintah majikannya, bersama Sura ia membunuh Mas Sutedjo dan menguburkan jenazah korbannya di kebun tebu, dalam lingkungan tanah milik Oey Tambahsia.
Polisi mencari Oey Tambahsia yang tidak ada di rumahnya. Di Bintang Mas, Ancol, pria kaya itu pun tidak kelihatan bayangannya. Ternyata sejak pagi ia sudah berangkat ke Pasar Asem(daerah pecenongan?). Polisi menemukannya di arena penyabungan ayam. Para petaruh gempar, karena mengira polisi menggrebek tempat taruhan gelap itu.
Petugas menghampiri Oey Tambahsia. Ia sangat terperanjat, tetapi yaki uangnya akan menyelamatkannya. ia menyadari bahwa ia dikenakan tuduhkan berat, bukan sekadar bersengketa dengan Tan Eng Goan.
Tongkat bertombol emas
Tempat tahanan Oey Tambahsia dijaga ketat, langsung di bawah pengawasan schout(sekaut,kepala polisi). Oey mencoba menyuap seorang polisi agar menyampai pesan kepada adik kandungnya. Opas itu disuruhnya membawa tongkatnya yang tombol emas kepada adiknya di rumah, tetapi ditangkap ketika akan memasuki rumah Oey Makau di Patekoan.
Polisi memeriksa tongkat itu. Ternyata didalam tombolnya terdapat kertas yang memuat pesan agar Makaumenyuruh Piun dan Sura kabur secepatnya. Kesaksian mereka bisa memberatkan perkaranya. Surat itu kelak malah menjadi buktiyang memberatkan di sidang pengadilan.
Di sidang pengadilan, Tambahsia terus menyangkal semua tudahan, walaupun tuduhan jaksa di dukung oleh saksi-saksi dan bukti-bukti yang meyakinkan. keluarga Oey meminta jasa seorang pengacara terkenal masa itu, yaitu Mr.B. Bakker yang mendapat honor tinggi di samping hadiah seratus gulden kalau ia berhasil menyelamatkan Oey Tambahsia.
Betapa pandainya pun Mr. bakker, ia tidak bisa membantah bukti yang diajukan penuntut umum. akhirnya, hakim ketua mejatuhkan hukum mati di tiang gantungan kepada Oey Tambahsia. Mr. Bakker mengajukan naik banding. Mahkamah Agung meneliti lagi perkara itu dan membenarkan serta memperkuat keputusan pengadilan sebelumnya. Harapan satu-satunya hanyalah meminta grasi kepada gubernur jenderal. setelah lama menunggu. tibalah surat ketetapan yang menyatakan pejabat tinggi itu menolak permohonan pengampunan Oey Tambah.
pada hari yang ditentukan untuk pelaksanaan hukuman matinya,Oey Tambahsia menaiki mimbar tempat tiang gantungan dengan sikap tenang. Dandanannya rapi. Ia mengenakan baju Cina dan celana putih. Wajah berseri. bersamanya digantung pula Puin dan Sura.
Maka berakhirlah riwayat Oey Tambah yang menggemparkan seluruh lapisan masyarakat Betawi dan menjadi buah bibirsampai lama. Kasihnya ditulis menjadi buku atau syair. Waktu menemui ajal di taing gantungan itu tambah baru berumur 31 tahun.

Kisah Yue-Yue yang Tragis dan Diabaikan 18 Orang


Yue Yue bocah yang berusia 2 tahun menjadi korban tabrak lari di pasar grosir di China selatan kemungkinan akan tetap dalam keadaan koma, menurut dokter senior di rumah sakit yang merawatnya.
Qu fei fei, ibu Yue Yue, dalam penderitaan emosional berbicara tentang anaknya yang telah dinyatakan mati otak. Dia mengatakan kepada anak perempuannya: “Jangan menyerah , ibu tidak menyerah untuk menyembuhkanmu, biarkan ibu memiliki satu kesempatan lagi untuk mencintai dan memanjakan Anda ”
Kejadian ini membangkitkan kemarahan orang-orang di China dan di seluruh dunia pada hari Selasa (18/10), menimbulkan tanda tanya besar apakah keajaiban ekonomi China telah membuat hilangnya moral dalam kebangkitannya.
Yue Yue dibiarkan tergeletak di jalan oleh 18 orang yang lewat setelah akhirnya ditolong dan diselamatkan oleh orang ke-19 kini tetap dalam kondisi kritis di unit perawatan intensif rumah sakit militer Guangzhou jantung industri Guangdong China.
Kepala bedah saraf rumah sakit, dikutip oleh surat kabar harian lokal Guangzhou, mengatakan bahwa Yue Yue menderita cedera parah di kepala dan sedang koma, hanya mampu bernapas dengan bantuan ventilator.
Wang Weiming, kepala departemen bedah saraf di rumah sakit militer Guangzhou, mengatakan Yue Yue menunjukkan tidak ada gejala perbaikan dan sangat tidak mungkin untuk memulihkan kemampuan mentalnya.
“Pasien in masuk kriteria kematian otak,” tambahnya, “tapi tubuhnya relatif masih memiliki refleks nyeri, sehingga dia tidak dapat dinyatakan sebagai mati otak.”
Orang tua gadis itu, yang memiliki sebuah kios kecil di pasar grosir dekat Foshan, di mana insiden itu terjadi, berjaga bergantian di samping tempat tidur putri mereka, dengan harapan bahwa ia bisa sembuh.
Ibu gadis itu, bernama Nyonya Qu, mengatakan ia pindah ke Foshan pada tahun 2003 untuk memulai usaha dan menyewa apartemen disana.
Pasangan kelas menengah ini mengatakan mereka telah dibanjiri panggilan dukungan dan menawarkan sumbangan untuk perawatan medis putri mereka, tetapi ia menolak tawaran, mengatakan mereka “sangat menghargai” tapi tidak diperlukan.
Orang tua Yue Yue menghindar menyuarakan perasaan mereka atas insiden itu, mengatakan mereka hanya ingin fokus pada pemulihan Yue Yue, tetapi kakeknya,Tuan Wang mengaku dalam surat kabar setempat bahwa dia “membenci orang berdarah dingin yang lewat.”
Ia menambahkan bahwa ia mengenal setidaknya satu orang yang lewat tersebut. “Saya ingin memukulnya, tapi akhirnya saya menahan diri,” katanya seperti dikutip di harian Southern Metropolis.
Kisah Yue Yue menyentuh kemarahan jutaan orang di China dan di seluruh dunia.
Di China, laporan video insiden itu tonton lebih dari 2 juta orang di internet dalam waktu 24 jam dan pada Sina Weibo (versi Twitter China) menarik 4,4 juta komentar pada periode yang sama, diselenggarakan di bawah slogan “akhiri sikap berdarah dingin.”
Dengan cerita tadi malam tampaknya telah memicu kampanye nasional pada Sina Weibo dibawah spanduk “Tolong Hentikan Apatisme” yang merupakan topik panas nomor satu, dengan ribuan posting menyerukan untuk kembali ke kesadaran moral di China.
“Tragedi Yue Yue tidak boleh terulang, moralitas seharusnya tidak hilang, kita harus memiliki hati nurani. Mulai hari ini, tawarkan bantuan untuk mereka yang membutuhkan anda, karena merawat orang lain adalah membantu diri sendiri,” kata panggilan untuk perubahan itu.
Diskusi publik bahkan mencapai halaman Harian Rakyat, corong Partai Komunis China yang biasanya tetap menjaga jarak dari perdebatan massal yang mencuat di papan diskusi internet China.
“Meskipun menyelamatkan orang selalu membawa ‘masalah,’ namun, mengabaikan orang sekarat atau bahkan membantu tindakan jahat dengan kelalaian adalah merobek dasar etika masyarakat dan melunturkan rasa belas kasih yang mendalam dalam jiwa masyarakat,” tulis kolumnis senior, Li Hongbing.
Orang yang mendapat pujian dunia karena menyelamatkan Yue Yue adalah Chen Xianmei (58) yang dikatakan bekerja sebagai pembantu di siang hari dan menambah penghasilan dengan mengumpulkan sampah untuk daur ulang pada malam hari.
Orang tua Yue Yue yang difoto bertemu wanita itu, membungkuk ‘hormat’ – sebuah ekspresi publik untuk berterima kasih bahwa dia telah berhenti untuk membantu putri mereka ketika begitu banyak orang berjalan mengabaikannya.
Wanita itu berkata dia tidak berpikir tentang risiko penuntutan berbahaya ketika dia turun tangan untuk membantu Yue Yue – alasan yang beredar secara luas di China mengapa 18 orang lainnya tidak berhenti untuk menolong.
Dia mengatakan kepada wartawan ia telah menemukan Yue Yue dengan satu mata tertutup dan satu mata lainnya terbuka menatapnya dan bergegas mencari ibunya. “Saya tidak berpikir saya mendapatkan masalah apapun saya tidak berpikir begitu banyak. Saya hanya ingin menolongnya,” katanya, sebelum kembali bekerja.
Tersangka yang melindas Yue Yue telah ditangkap, namun mengaku tidak melihat gadis kecil di jalan ‘gelap’. Dan menawarkan sejumlah uang sebelum di tangkap. Namum ditolak oleh Ayah Yue-Yue.

Kisah Tragis Oei Hui Lan, Putri Orang Terkaya di Indonesia


KISAH INI ADALAH KISAH NYATA PUTRI SANG RAJA GULA YANG IA TULIS DALAM BUKUNYA” TAK ADA PESTA YANG TAK BERAKHIR” . CUKUP MENARIK UNTUK DISIMAK DAN SEMOGA MEMBERIKAN ANDA ILHAM DALAM KEHIDUPAN..
OEI TIONG HAM ORANG TERKAYA DI ASIA TENGGARA
Oei Tiong Ham, yang dijuluki Raja Gula dari Semarang pernah jadi orang terkaya di Asia Tenggara. Ia juga berdagang candu. Berlainan dengan Tjong A Fie, ia tidak dikenal sebagai dermawan. Sekitar tiga dasawarsa yang lalu, putrinya Oei Hui Lan, bersama Isabella Taves, menulis memoar yang diterbitkan di Amerika Serikat. Dari buku berjudul No Feast Last Forever itu kita bisa tahu perihal kehidupan mereka, yang bisa membeli apa saja dengan uang mereka yang berlimpah. Namun apakah mereka berbahagia ?
Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei Hui Lan, putri Oei Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan oran terkaya di Asia Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya mempunyai dua orang anak, kedua duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan, sepuluh tahun lebih tua dari saya. Ayah masih mempunyai 42 anak dari 18 gundik. Bagi orang Cina, anak gundik pun dianggap sebagai anak sah.
Saya duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak laki laki yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya. Kelingking bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking bengkong. Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai anaknya, sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.
Wajah Kakek dianggap membawa Rezeki
Kakek saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina. Pada masa mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan seperti Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan gemuk.
Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa uang sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di tempat asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa menawarkan tenaga mudanya.
Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur menggeletak di lantai papan. Pada suatu malam, pemilik gubuk bambu itu melihat pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie sien mau saja. Calon istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut.
Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu bekerja keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang seorang meninggal saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie Sien keluar masuk kampung memikul barang kelontong. Kadangkadang dari kampung ia membawa beras untuk dijual di kota.
Lama kelamaan , ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke Cina untuk membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina, sekalian memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang tuanya. Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia lahir 19 November 1866.
Potong Kuncir Lalu ke Eropa
Kakek berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan makamnya pun ada di pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina dan disebut singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan Hokkian saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma bisa mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina. Karyawannya semua orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.
Nenek saya tidak pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara pembersihan makam keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang kadang mengisap pipa air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan dengan nenek saya dari pihak ibu.
Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun Oei Tjie Sein. Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut Kian gwan kongsi. Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi kalau menyuruh pelayan umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu berbicara dengan ayah umpamanya, ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah juga kemudian memilih anam Tai gawan.
Menjelang lanjut usia, kakek lebih banyak berada di rumah peristirahatannya di luar kota, ketimbang di rumah lamanya di pecinan, walaupun kantornya tetap disana. Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang ditempatkan di rumah peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah seorang perempuan cina yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti porselin dan rambutnya hitam lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya terurai mencapai mata kaki. Kakek lekas bosan kepadanya. Perempuan itu ditempatkannya di sebuah rumah kecil di lahan kakek yang luas itu. Makanan dan pakaiannya dicukupi. Keluarganya boleh menjenguk sekali sekali. Namun apalah artinya kalau kakek tidak pernah mengunjunginya. Saya heran perempuan muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi gila.
Di rumah utama, kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling dikasihinya. Perempuan itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia bertelanjang kaki, mengenakan sarung dan tidak bisa berbahasa Cina. Mereka memiliki dua orang anak yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak pernah melihatnya, sebab ketika kakek meninggal ayah memberikan uang dan menyuruhnya pergi bersama anak anaknya, yang tidak diakui ayah sebagai saudaranya. Gundik kakek yang cantik dinikahkan dengan seorang karyawan ayah.
Nenek tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya. Walaupun nenek ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan mausoleum untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal lebih dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10 juta gulden atau kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu, jumlah itu besar sekali.
Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta kakek menyerahkan rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih suka menjadi seniman daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan mendapat warisan juga. Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong orang orang bermarga Oei yang memerlukan bantuan.
Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami dan kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang pertama dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa Belanda untuk memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa untuk perama kalinya. Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35 hari. Bagi kakek, dunia ini cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.
Janda Yang Baik Hati
Sebelum ayah mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu kakek. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu hari, setelah berhasil menggantungi 10,000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Uang bawaannya amblas.
Keluar dari rumah perjudian, baru ia insaf apa akibat kekalahannya di meja jugi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan hanya tidak suka pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah merasa dirinya hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun ia ingin mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang Janda. Janda itu mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000 gulden. Akhirnya, ayah mau juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah dilupakan ayah. Ia bukan cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu.
Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi ayah karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima puluh kali lebih kaya daripada ayah.“Hal itu memang terlaksana.
Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali seorang Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu.
Saya akan memberi Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan sekehendak hati,“usul orang Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya tidak akan mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup.
Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik berada ditangannya. Karena itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang kepandaiannya sedang sedang saja tetapi rezekinya besar daripada memperkerjakan orang yang pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain mengandalkan hoki, tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan memanfaatkannya.
Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000. Ayah segera setuju, tetapi tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir ayahnya menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga terbukti cocok ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan luas untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa, tetapi ayah sudah mendengarnya,. Ia mendatangkan ahli ahli dari Jerman untuk memberi nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin mesin dan lewat mantan konsul ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke Eropa untuk belajar menjalankan mesin mesin itu dan membetulkannya.
Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti hentinya menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal hal yang baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat aliran lsitrik lebih dulu daripada kediamannya.
Ayah berkata kepada saya,”Jangan mau jadi orang biasa biasa saja. Kita mesti menjadi orang nomor satu.” Kemudian ayah melebarkan sayapnya ke luar negeri dan ke bidang bidang lainnya seperti kopra. Sekali ia menunjukkan kepada saya perkebunan kopranya di luar kota Singapura. Saya berseru kagum ketika melihat tanaman indah itu. Ayah berkata,”Orang lain melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak perawatan, tetapi mendatangkan banyak uang.”
Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi terutama oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang ia geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga memiliki kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.
Membuka Perwakilan di Wallstreet
Pada kunjungan kami yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor perjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah memperkerjakan seorang Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil Pietro. Ayah mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra, dan tepung kanji. Ayah yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris, maupun Perancis itu kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.
Asal Muasal ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika seorang pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi terus. Ayah menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya dan dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual 1,5 juta ton tapioka ke Asia Timur laut.
Ketika kakek meninggal, ayah menerima warisan rumah mantan konsul jerman itu. Sebetulnya ayah bisa membayar kembali uang pinjamannya beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya.
Bandul intan 80 karat
Ketika ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan Majoor der Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan perjalanan perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para sekretarisnya.,”Belikan dia semua yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa untuk diistimewakan, untuk menyimpang dari peraturan yang berlaku dan untuk mengharapkan semua orang tahu bahwa saya anak ayah yang berkuasa.
Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.
Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa, beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa hadiah untuk saya spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau apasaja.
Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80 karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di London.
Jago Menyogok, tapi pantang disogok.
8711_smallKetika masih kecil, saya pernah ikut ayah ke Penang. Kakak saya Tjong Lan tidak dekat dengan ayah. Ia bahkan takut. Di Penang,s aya tinggal di kapal saat ayah turun ke darat. Kemudian datanglah seorang lanjut usia ke kapal, menyerahkan sekotak uang emas kepada saya, sambil membungkukkan badannya dalam dalam. Saya tidak tahu benda itu uang emas inggris, yg nilainya 200,000 poundsterling. Saya kira cuma mainan. Waktu ayah datang saya sedang bermain main dengan uang itu. Ayah bertanya darimana saya mendapatkannya. Ia segera menyuruh orang mengembalikan uang itu.
Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu bermaksud menyogok ayah dengan memberi hadiah berharga kepada anak kesayangan ayah. Ayah pantang disogok, padahal ia sering menyogok pejabat pejabat Belanda supaya usahanya lancar.
Ayah juga tidak percaya kegunaaan pengawal pribadi. Ia lebih yakin pada caranya sendiri. Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada kelompok bandit yang paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling dan pembunuh. Usahanya berhasil.
Keluarga kami merupakan satu satunya keluarga Cina yang tinggal di luar pecinan. Masa itu kadang kadang orang Cina diolok olok anakanak belanda yang bubar dari sekolah. Ayah mempunyai cara untuk menanggulanginya. Ia turun dari kereta, lalu mendekati anak yang paling besar. Kelihatannya kami pemimpin mereka,”katanya seraya mengangsurkan sekeping uang emas.”Tolong urus mereka.”
Uangnya dikoporkan
Ayah selalu berpakaian rapi, di luar maupun di dalam rumah. Kalau keluar, ia selalu mengenakan setelan jas putih. Sepatunya pun putih. Di dalam rumah ia memakai celana dari bahan batik dan jas tutup cina.
Kejantanan dihargai tinggi di kalangan orang Cina. Seorang pria Cina boleh memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang kadang istri pertama mencarikan gundik bagi suaminya, tetapi ibu saya tidak sudi melakukan hal semua itu. Ibu saya bernama Bing Nio, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris sama dengan Victoria. Ia berasal dari keluarga Goei. Dalam keluarga itu, kaum prianya bertubuh besar, tetapi kaum perempuannya bertubuh kecil. Nenek moyangnya berasal dari Shantung, tetapi sudah bergenerasi generasi mereka tinggal di Jawa. Nenek saya melahirkan 5 putri dan empat putra. Kelima putrinya cantik-cantik. Yang paling cantik ibu saya. Kakek saya bekerja di bank dengan penghasilan tidak seberapa.
Nenek saya dari pihak ayah mencarikan gadis paling cantik di pecinan untuk dijadikan isteri ayah. Dari para comblang ia mendengar perihal kecantikan ibu saya. Jadi ketika ibu berumur 15 tahun, Nenek Oei mengirimkan tandu keemasan untuk menjemputnya. Tandu itu berarti orang tua phak laki laki menginginkan ia menjadi menantunya. Pengantin perempuan tiba di rumah mertuanya dengan ditandu oleh empat orang. Ia melakukan kowtow, yaitu berlutut dan menundukkan kepala sampai dahi menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai saat itu pengantin wanita belum pernah melihat calon suaminya, tetapi sejak itu hanya maut yang bisa melepaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu perceraian tidak pernah tejadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah satu dari tujuh dosa tidak berampun.
Ayah menerima saja tradisi ini. Tidak terpikir olehnya untuk menceraikan ibu yang tidak memberikan anak laki laki. Cuma saja ia terus menerus menambah gundik dan banyak di antara gundiknya itu yang memberinya anak laki laki. Ia juga tidak pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya itu, sampai muncul seorang gundik bernama Lucy Ho, dalam hidupnya.
Karena tidak mempunyai anak laki laki, ibu terus menerus merasa dirinya memiliki kekurangan dan frustasi. Ayah tidak pernah menolak permintaaannya akan kebendaan, bahkan juga setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London. Ibu sering mengirim kawat untuk meminta uang.”Kirim empat,”artinya ia meminta 4,000 poundsterling yang masa itu setara dengan AS$ 25,000. Tanpa banyak cingcong, ayah akan mengirimkan uang sebanyak yang diminta.
Pernah ketika masih tinggal di Semarang, ketika saya berumur kira kira 12 tahun, saya terbangun oleh bunyi petir. Saya berlari masuk ke kamar ibu. Ia sedang duduk di ranjang, menghitung setumpuk tinggi uang di bawah kelap kelip lampu minyak. Saya begitu terpesona sampai melupakan ketakutan saya. Ibu tersenyum dan berbisik,”Ayahmu pulang membawa sekoper uang. Aku mengambilnya sebagian. Ia tidak pernah menyadarinya.
Saya heran mengapa ibu tidak meminta saja: Saya yakin ayah akan memberikannya. Mungkin ibu tidak mau ayah tahu untuk apa uang itu. Pada masa itu kami tidak pernah membawa bawa uang. Kalau kami menginginkan sesuatu, kami tinggal mengambilnya saja di toko dan pemilik toko akan menagihnya kepada ayah. Saya rasa ibu memberikan uang itu kepada keluarganya sendiri. Perempuan cina yang tidak mempunyai anak laki laki memang memerlukan segala cara untuk membangun egonya, kalau perlu dengan membeli. Kalau cuma untuk mencukupi kebutuhan keluarga secara wajar saja, saya yakin ia tidak perlu melakukan perbuatan itu. Namun kakek saya dari pihak ibu pecandu, sedangkan suami dari beberapa saudara perempuannya sering berurusan dengan pihak berwajib.
Ayah saya lahir pada tahun harimau, sedangkan ibu pada tahun naga. Mereka sama sama tidak mau tunduk. Namun ibu menyukai status sebagai isteri ayah. Ia mencintai perhiasannya. Di luar rumah ia dianggap tokoh penting. Kalau ia pergi menonton sandiwara, para pemain berlutut di hadapannya seusai pertunjukan. Lantas ibu akan memberikan tip yang besar sekali.
Kalau pulang bertamu dari rumah nyonya belanda, sering bajunya cuma disemat dengan peniti biasa, karena penitinya yang bertaburkan permata ia hadiahkan kepada nyonya rumah yang mengagumi perhiasannya itu. Ayah akan membelikannya yang baru. Yang perlu ia lakukan hanya meminta.
Bersaudara 42 orang
Saya tidak begitu kenal saudara ibu. Seorang saudara perempuannya, menikah dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak dikaruniai anak. Jadi, bibi saya itu mengangkat dua anak perempuan, yaitu anak saudara suaminya. Bertahun tahun kemudian, ternyata kedua anak angkatnya itu menjadi gundik ayah. Yang seorang Cuma bertahan sebentar, karena ia minggat dengan sopirnya, seorang pribumi. Adiknya tidak begitu cantik, tetapi tubuhnya indah dan ia pandai, namanya Lucy Ho.
Setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London, ayah dan Lucy Ho pindah ke Singapura. Ayah keluar dari Jawa untuk menghindari pajak. Lucy gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi keuangan dengan cermat dan ia memberi anak kepada ayah setiap tahun. Anak laki lakinya banyak. Setelah tinggal dengan dia, ayah berubah. Walaupun uangnya tetap banyak, ia tidak hidup mewah seperti yang disukainya semasa di Jawa.
Ironisnya dari keluarga semacam kami ialah Putri Lucy yang sudah dewasa suatu hari ketika bertemu dengan putri Tjong Swan (Saudara saya berlainan ibu) di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak diperkenankan menikah oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek si gadis. Mereka akhirnya menikah juga di Belanda. Mungkin hal itu bisa terlaksana berkat pengaruh Tjong Hauw., adik saya berlainan ibu juga.
Di antara 42 saudara saya tidak seibu, hanya Tjong Swan dan Tjong Hauw yang cukup dekat dengan saya. Keduanya diserahi mengurus usaha ayah di Jawa, ketika ayah sudah pindah ke Singapura. Tjong Hauw diperoleh ayah dari seorang perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari udik. Ia tidak mau dijadikan gundik. Ia ingin dijadikan istri. Ayah setuju, perempuan itu dijemput dengan tandu. Namun di rumah tempat ia dibawa dilihatnya tidak ada pesta, tidak ada mertua. Walaupun demikian ia tidak bisa kembali ke orangtuanya sebab akan memberi aib. Hampir saja ia gila. Walaupun ia memberi ayah empat putra, ayah memperlakukannya dengan kejam. Sebelum ia disingkirkan, ayah menyuruhnya menjahitkan kelambu untuk gundik berikutnya.
Bandot
Sebelumnya ayah saya sudah menjadikan seorang janda sebagai gundiknya. Ny Kiam membawa serta adik perempuannya yang berumur kira kira sepuluh tahun dan seorang anak perempuannya yang berumur dua atau tiga tahun. Ny Kiam sangat mencintai ayah, tetapi ia tidak memberi ayah keturunan. Ketika adiknya berumur 15 atau 16 tahun, ayah menjadikannya gundiknya. Perempuan itu melahirkan lima anak laki laki dan empat anak perempuan.
Karyawan ayah menyebutnya isteri nomor dua. Di rumah kami tidak ada yang berani mempergunakan sebutan itu, karena ibu tidak menyukainya. Kenyataannya ia memberi ayah banyak anak laki laki. Ayah tidak menyukai putranya yang pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ayah memilih putranya yang kedua Tjong Swan untuk menjadi andalannya di samping Tjong Hauw.
Lama setelah itu,, ketika saya sudah menikah dengan Wellington Koo dan singgah di Penang dalam perjalanan dari London menuju Beijing, dua orang perempuan wajahnya menyenangkan menemui saya,”Kami adik adikmu,”kata salah seorang diantaranya sambil tersenyum. Ternyata mereka itu putri putri ayah dari cucu Ny. Kiam. Rupanya ketika ayah sudah bosan pada istri nomor dua (adik Ny. Kiam), ayah menyingkirkannya untuk digantikan oleh anak Ny. Kiam, yang ketika ibunya menjadi gundik ayah masih berumur 2 atau 3 tahun. Putri Ny. Kiam itu mempunyai dua anak perempuan dan kedua duanya berkelingking bengkok. Kedua duanya menikah dengan orang berada. Kata mereka, nenek mereka masih tinggal di rumah pemberian ayah di Jawa.
Tahun 1927, Ketika saya kembali ke Jawa untuk menghadiri pemakaman ayah, Ny. Kiam mendekati saya dengan kemalu-maluan. Ia memanggil saya Nona dan menyerahkan gigi palsu ayah yang rupanya ia simpan bertahun tahun untuk dimasukkan ke liang kuburnya. Saya turuti kemauannya, sebab saya pikir ayah akan menganggapnya lucu.
Berlainan dengan Ny. Kiam, gundik yang dulu ditipu ayah itu, yang melahirkan Tjong Hauw, tidak datang ke pemakaman. Saya mengunjunginya di rumahnya. Saya lihat ia masih memakai pending bertatahkan intan pemberian ayah: Rupanya walaupun ia diperlakukan dengan buruk oleh ayah, ayah tidak membiarkannya telantar.
Saya ingat, semasa kecil, saya keras dibawa ayah ke rumah gundik gundiknya. Mereka tentu berusaha mengambil hati saya, supaya ayah senang. Namun, ketika ibu tahu, ayah dimaki makinya. Ibu kemudian minggat dari rumah dengan membawa saya. Saya sakit keras dan dokter yang merawat saya memberitahu ayah. Ketika itu ibu tetap tidak mau kembali. Ia baru pulang 2 bulan kemudian ke rumah kami yang seperti istana.
Menjamu Raja Siam
Rumah kami terletak di atas lahan yang luasnya lebih dari 93 ha. Rumah model cina ini mempunyai taman yang dirancang khusus dengan kolam kolam dan jembatan jembatan. Tukang kebun kami memiliki lima puluh anak buah. Dapur kami ada tiga. Ibu mempunyai juru masak sendiri, yang keahliannya memasak makanan Indonesia, sebab Ibu menyukai masakan indonesia. Ayah menyukai masakan Cina dan Eropa. Dapur untuk memasak makanan Eropa dikuasai oleh mantan koki kepala gubernur jenderal. Di situ tergantung daging impor dari Australia. Tidak seorangpun diperkenankan masuk ke sana oleh mantan koki gubjen itu. Saya pernah iseng memasukkan anjing besar ke sana yang lantas menggondol daging impor. Dapur ketiga diurus oleh dua orang koki Cina.
Jauh di belakang ada perumahan para pelayan. Masih ada lagi rumah untuk guru pribadi kami (nona Jones), koki kami, tukang pijit ibu, dan tukang cuci pakaian ibu. Untuk para tamu tersedia dua pavilyun.
Ayah sering menjamu dan perjamuannya tidak tanggung tanggung. Kami pernah menjamu raja Siam berikut haremnya. Kami pun pernah diundang makan di kediaman gubernur jenderal Hindia Belanda.
Tjong Lan dan saya tidak bersekolah di sekolah umum, padahal sebenarnya saya ingin memiliki teman teman sebaya. Paling paling saya bisa bermain ke rumah keluarga Belanda yang tinggal di lahan kami, Ibu pun tidak pernah mengundang anak saudara saudaranya ke rumah kami.
Banyak yang diundang, tidak ada yang datang
Ketika saya berumur 15 tahun, saya katakan kepada ayah, saya ingin mengadakan pesta dansa bergaya inggris, seperti yang saya baca di The Tatler. Ayah memperbolehkan. Memang saya diistimewakan, karena dianggap membawa rezeki, bintangnya naik terus setelah kelahiran saya.
Ayah menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan raja Siam. Kamar makan kami dan pavilyunpanjang disiapkan untuk berdansa. Ayah secara santai juga menyampaikan kepada para rekanan dagangnya agar mendatangkan anak anak mereka ke pesta saya.
Hari besar itu pun tiba. Para pemain musik datang dan menunjukkan kebolehannya, tetapi tidak ada seorang tamu pun yang datang. Saya menangis dan ayah marah sekali kepada para rekanannya. Kalau saya ingat lagi peristiwa itu. Saya pikir, kami juga yang salah. Mestinya kami mengirimkan kartu undangan resmi, sehingga mereka akan memberi tahu kalau tidak datang.
Untuk meredakan kemarahan ayah, pengacaranya Baron van Heeckeren mengusahakan agar putri putrinya mengadakan pesta dansa untuk menghormati saya, dengan mengundang teman teman Belanda. Saya yakin maksud mereka baik, tetapi saya terlalu angkuh untuk hadir.
Dicekoki Bahasa Inggris
Waktu kami pergi ke Belanda saya puasa juga karena ternyata Bahasa Belanda saya lumayan. Kemudian ketika sudah menjadi isteri Wellington Koo dan suama saya dijadikan duta Cina di AS, bahasa Belanda itu masih ada gunanya. Pernah kami mengundang pemain film termasyhur waktu itu Tyrone Power dan isterinya Linda Christian. Linda yang pemalu itu berasal dari Belanda. Ia begitu tercengang mendapatkan isteri duta Cina bisa berbahasa Belanda.
Di Rumah , ayah biasa berbahasa Hokkian, tetapi dengan saya ia berbahasa Indonesia. Bahasa pertama yang saya pelajari lewat pengasuh saya. Kemudian kakak saya mendapat pengasuh yang diimpor dari Prancis dan kami belajar bahasa Perancis. Ayah meminta Pietro mendatangkan guru pribadi buat kami dari Eropa dan datanglah seorang Inggris, Nona Elizabeth Jones yang mencekokkan bahasa Inggris kepada kami. Akhirnya saya lancar berbahasa Inggris dan tetap menjadi anak didiknya sampai saya meninggalkan jawa untuk tinggal di Inggris pada umur 15 atau 16 tahun.
Lewat tengah hari, kalau Tjong Lan dan saya sudah selesai belajar dari Nona Jones, datanglah pelbagai guru pribadi. Ada yang mengajarkan kaligrafi, seni berbicara, tarian cina klasik dan juga musik. Ibu ngin anak anaknya tidak pemalu dan pandai bergaul, supaya bisa memperoleh suami yang hebat. Saya pun disuruh belajar menunggang kuda di Singapura.
Tjong Lan lebih tertutup daripada saya. Ketika masih berumur belasan tahun, ia jatuh cinta dntgan seorang dokter muda. Ibu melakukan penjajakan lewat comblang. Ternyata keluarga pria itu ingin ayah membiayai praktek putranya. Ayah marah, ia tidak mau membli menantu. Kalau saja Ibu mau menolong Tjong Lan, mungkin ayah bisa dibujuk, tetapi ibu sependapat dengan ayah.
Mula mula Norak
Ibu tidak suka ikut dengan ayah meninjau perkebunan, tetapi saya sering dibawa serta. Ibu baru ikut kalau ayah pergi ke luar negeri. Waktu kami sekeluarga pergi ke Eropa untuk pertama kalinya, kami membawa serta beberapa pelayan. Pietro menjadi juru bahasa ayah dalam mengadakan pelbagai transaksi, sedangkan isterinya yang bisa berbahasa Indonesia sedikit, mengantar ibu dan Tjonglan berbelanja.
Ibu menyingkirkan pakaian Cinanya untuk diganti dengan pakaian Eropa. Masa itu kami jauh dari anggun. Kemana mana kami beriring iringan dengan beberapa mobil atau kereta. Selera Pietro pun tidak halus, padahal kami mengandalkan petunjuknya. Kami tinggal di hotel hotel kelas dua seperti Charing Cross di London dan Grand di Paris, meskipun seluruh lantai diborong. Ketika kami ke AS , ayah sudah berpengalaman. Kami tinggal di Waldorf Astoria.
Setahun lamanya kami tinggal di Luar negeri. Ayah dan Pietro bekerja sedangkan ibu dan Tjong Lan keluar masuk toko. Ibu tidak mau membeli barang sembarangan. Ia selalu ingin paling top. Kalau sudah bosan berbelanja, mereka masuk ke salon kecantikan. Malamnya, ibu, ayah, Tjong Lan dan Pietro makan di restoran dan pergi ke kelab malam. Sementara itu saya kesepian di hotel. Kadang kadang saya ditemani oleh Ny. Pietro. Sementara itu para pelayan makan makanan Indonesia yang mereka masak sendiri. Bahan bahannya dibelikan oleh Pietro.
Lama kemudian, ketika saya sudah menjadi isteri Wellington Koo, saya sering geli mengingat betapa naif dan tidak anggunnya kami masa itu. Saya membayangkan betapa tercengangnya orang orang Eropa melihat ibu dan Tjong lan keluyuran memakai perhiasan Intan, mirah dan Zamrud serta seenaknya memesan barang mahal tanpa menanyakan dulu harganya.
Mobil Ditarik Sapi.
Ketika kami masih tinggal di Semarang, Tjong Lan yang waktu itu berumur 18 tahun dijodohkan dengan putra teman ibu. Teman ibu di Jakarta itu mempunyai putra yang baru pulang dari Belanda. Ia lancar berbahasa Belanda, Inggris dan Perancis. Namanya Ting Liang dari keluarga Kan yang kaya dan terkemuka. Mereka menikah di rumah kami. Keluarga ibu tidak diundang, sebab ayah marah kepada mereka.
Setelah Tjong Lan menikah, ibu bercerita kepada saya bahwa ia menguatkan hatinya untuk tetap tinggal di rumah kami, supaya Tjong Lan bisa menikah di rumah itu. Tjong Lan dan suaminya pergi ke Eropa selama setahun dan ketika kembali mereka membawa mobil kecil buatan perancis. Masa itu belum ada mobil di tempat kami. Suatu hari saya mencuri curi mengendarainya dan menabrak pohon.
Begitu melihat mobil Tjong Lan, ayah segera memesan mobil Lancia yang besar dari Inggris, untuk mengemudikannya, ayah mendatangkan sopir dari Jakarta, yang berpengalaman mengemudi di Singapura. Bila dipakai di jalan rata, Lancia itu tidak merongrong, tetapi begitu mendaki bukit ia tidak kuat menanjak, sehingga sopir harus pergi meminjam 4 ekor sapi untuk menghelanya ke rumah kakek atau ke pesangrahan ibu.
Kemudian ayah mengimpor sopir dari Inggris, namanya Powell. Anehnya, sejak dikemudikan Powell, mobil itu bisa menanjak tanpa bantuan ternak. Jangan jangan sopir lama tidak tahu kalau mobil perlu ganti gigi supaya bisa menanjak.
Tjong Lan tinggal dalam sebuah rumah dalam lingkunganhalaman kami juga. Para pelayannya semua dari rumah kami, makanan untuknya dan untuk suaminya dibawakan dari tempat kami. Sya bisa mengerti kalau suaminya tidak betah dan tidak mau bekerja di perusahaan ayah. Ia ingin menjadi dokter dan ayah mengirimkannya ke Eropa. Waktu itu mereka sudah mempunyai bayi, Bob Kan. Seingat saya ipar saya kemudian tidak pernah membuka praktik. Anak mereka kemudian belajar di Eropa di Eton (sekolah menengah mahal dan berprestise di Inggris) dan kuliah di Cambridge Inggris.
Ketika ayah sakit, doktenya mengusulkan agar ayah beristirahat di Eropa. Sekali lagi ibu dan saya ikut. Pietro sudah pensiun tetapi ayah mempekerjakannya lagi setahun. Ia menyewakan rumah bagi kami di Paris. Sekali ini bahasa Prancis saya sudah bisa diandalkan untuk menjadi penerjemah ibu. Ibu lebih mempercayai selera kakak ipar saya daripada selera Pietro. Ia begitu jatuh hati kepada menantunya, sehingga kakak saya dibelikannya sebuah rumah besar yang dilengkapi beberapa pelayan di Wimbledon Inggris.
Ketika ayah, ibu dan saya pulang ke Jawa, saya merasa kehidupan saya tidak kembali seperti semula. Ibu sudah tidak tahan tinggal di Semarang, sebab gundik gundik ayah mempunyai sejumlah anak laki laki yang meningkat dewasa dan merekalah yang akan mewarisi perusahaan ayah. Apalagi kemudian ayah menyingkirkan semua gundiknya demi Lucy Ho. Namun tentu saja tidak terlindak dalam pikiran ibu untuk bercerai.
” Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit
tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa
menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan
dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya
menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus
puas dengan yang kita miliki.”
Ayah pindah ke Singapura.
Saya sedih untuk berpisah dengan ayah, tetapi saya ikut dengan ibu ke London. Kemudian ayah juga meninggalkan istana marmer kami untuk pindah ke Singapura bersama Lucy Ho. Soalnya pemerintah Hindia Belanda menekannya untuk menjual perkebunan perkebunan tebunya dengan harga AS$ 70 juta. Ayah mempercayakan perusahaannya di Jawa kepada putra putranya yang terpilih. Tjong Swan dan Tjong Hauw. Mereka bertugas melaksanakan saran saran bisnis ayah dan melapor kepadanya.
Di London, ibu dan saya tinggal di Brooke Street, dekat hotel hotel besar. Kami mempunyai rumah lain di Wimbledon yang luas lahannya hampir 2,8 ha. Ibu mempunyai mobil Roll Royce, lengkap dengan sopir dan footman (pelayan yang tugasnya antara lain membukakan pintu mobil) Ipar saya mempunyai mobil Daimler dan Fiat. Di Wimbledon kami mempunyai seorang butler (kepala Pelayan) Cina, tiga gadis pembantu rumahtangga Inggris dan seorang sopir Inggris. Selain itu, kakak saya memiliki seorang koki inggris dan ibu membawa kokinya yang sudah lama bekerja padanya dari Jawa. Para pelayan itu selalu saja bertengkar. Ibu saya yang biasa berbahasa jawa, mengalami kesulitan bahasa dalam berkomunikasi dengan para pembantu. Jadi, segalanya harus diurus oleh ipar saya, sebab kakak saya pun tidak becus mengurus rumah. Dewasa ini, kalau saya pikir-pikir, ipar saya sepatutnya mendapatkan gaji untuk jasanya sebagai majordomo (pengurus rumah tangga)
Ipar sayalah yang pergi berbelanja dan membayar rekening. Karena koki indonesia bawaan ibu tidak bisa berbahasa Inggris, ipar saya pula yang ketiban tugas berbelanja ke pasar. Ipar saya harus menyerahkan rekening rekening dan catatan pengeluaran rumah tangga kami ke kantor ayah di Mincing Lane. Kalau saya pikirkan kembali, kami bersalah menyia nyiakan bakatnya, dengan hanya menjadikannya Majordomo. Mungkin ia bisa menjadi orang yang jauh lebih penting, kalau diberi kesempatan lain.
Saya diberi ayah 400 poundsterling atau AS$ 2,000 setahun untuk membeli pakaian. (Pada masa itu nilai poundsterling dan dollar jauh lebih tinggi daripada sekarang). Tentu saja tidak cukup. Saya sodorkan rekening rekening tagihan kepada Ting Liang. Ia sering marah, padahal ayah selalu mau melunasi semua pengeluaran saya. Suatu hari setelah bertengkar hebat dengan ipar saya, saya minta pindah. Saya tinggal alam sebuah villa kecil di Curzon street, diurus seorang pembantu rumah tangga prancis dan koki Prancis. Ting Liang tidak mau membayar sewa ruamh saya dan gaji pelayan serta koki saya. Jadi saya langsung mengirim telegram kepada ayah dan tanpa banyak cincong ayah menaikkan jumlah uang belanja saya.
Di masa remaja itu saya sangat menikmati dansa. Malam hari, saya pinjam mobil ibu lengkap dengan sopirnya untuk pergi bersama dua sepupu saya ke pesta pesta dansa. Sepupu sepupu saya itu adalah putra adik ibu yang di Singapura. Keduanya mendapat beasiswa untuk belajar di London dari dermawan Singapura, Lim Boo Keng. Teman teman saya masa itu diantaranya Guy Brook yang kemudian menjadi Lord Brook dan pemuda pemuda yang kelak menjadi Earl of Callodan, Sir Oliver duncan, dan Sir Hugo Cuncliffe Owen.
Saya belajar menyetir mobil dan mendapat mobil Daimler kecil. Saat itu umur saya belum genap 18 tahun dan London tahun 1918 masih sepi. Saya menganjurkan Tjong Lan untuk belajar menyetir juga. Hubungan kami tidak selalu mulus. Ia sering iri kepada saya. Pergaulannya terbatas pada orang orang sekantor ayah ata para relasi bisnis. Ia dibesarkan di Jawa sehingga tidak mengalami kebebasan seperti saya semasa mudanya. Padahal ia cantik dan jauh lebih pandai daripada saya.
Bertemu Wellington Koo
Walaupun bahasa Inggris Ibu saya sangat terbatas, berhasil juga ia mendapat teman teman. Banyak teman temannya itu diperoleh lewat roti. Entah dari mana ia belajar membuat roti. Seminggu sekali ia membuat roti dan rotinya itu empuk serta lembut. Suatu hari, tetangga kami, Marquess of Duferin dan isterinya datang, katanya karena tertarik bau roti yang datang dari rumahkami. Sang Marquess kemudian belajar bahasa Cina dari Ibu. Ia tidak berhasil memasukkan pelajaran itu ke otaknya, tetapi setiap pulang selalu mengepit roti buatan ibu.
Putri Alice dari Monaco (Saya rasa ia nenek Pangeran Rainer) juga bertandang karena roti. Ia menjadi teman baik ibu. Ketika kami bepergian kemana mana, kami selalu mendapat sambutan yang baik dari para bangsawan Eropa berkat saran dari Putri Alice.
Kemudian Tjong Lan tinggal di Paris. Suatu hari ia mengirim telegram kepada ibu, menganjurkan ibu dan saya cepat cepat datang. Ternyata, salah seorang anggota delegasi pemerintah Cina yang sedang mengadakan pembicaraan perihal perdamaian setelah PD I, ingin berkenalan dengan saya setelah melihat foto saya di rumah Tjong Lan. Nama anggota delegasi itu Wellington Koo. Walaupun umurnya baru 32 tahun, ia sudah duda karena isterinya meninggal muda. Almarhumah isterinya adalah putri jenderal Tang yang terkenal.
Wellington Koo adalah wakil Cina di AS dan ia lulusan Columbia University. Tjong lan menganggap, ini kesempatan baik buat saya mendapat jodoh. Padahal saya sama sekali tidak tertarik. Bayangkan duda berusia 32 tahun! Namun ibu begitu bersemangat. Dengan ogah ogahan saya pun ikut ke Paris. Benar saja dugaan saya. Gaya Wellington Koo kalah dibandingkan dengan gaya pemuda pemuda teman saya. Rambutnya dicukur pendek model cepak yang kuno itu. Pakaiannya bukan buatan penjahit Inggris terkemuka, tetapi dibeli di sembarang toko biasa di AS. (Setelah menjadi suami saya, mau juga ia memanjangkan rambutnya dan mengganti pakaiannya dengan yang lebih anggun). Ia tidak bisa berdansa, tidak tahu soal menunggang kuda, dan bahkan tidak bisa menyetir mobil.
Saat itu saya juga buta soal politik. Saya tidak tahu mengapa Jenderal Tang memperlakukan Wellington Koo dengan begitu hormat ketika mereka dijamu Tjong Lan. Saat itu Wellington Koo ditempatkan di sebelah saya. Ternyata ia tidak berusaha bercakap cakap tentang dunianya dengan saya. Ia menyesuaikan pembicaraan dengan dunia saya dan sebelum perjamuan berakhir saya sudah agak tertarik kepadanya.
Kami bercakap cakap dalam bahasa Inggris dan menjelang akhir perjamuan ia berkata akan menjemput saya keesokan ahrinya. Sebagai orang nomor dua dalam delegasi, ia mendapat fasilitas mobil dan sopir dari pemerintah Perancis. Saya terkesan. Kami mempunyai banyak mobil dan sopir, tetapi semuanya kami bayar sendiri. Wellington Koo begitu penting rupanya, sehingga pemerintah negara asing menyediakan mobil berpelat diplomatik baginya.
Saya lebih terkesan lagi ketika di opera dan di teater kami mendapat tempat khusus yang disediakan oleh pemerintah. Ayah tidak mungkin mendapat keistimewaan seperti itu, walaupun ia bersedia membayar berapa saja.
Saya pun berdandan serapi mungkin dan mengenakan pakaian saya yang paling indah. Permen dan bunga bunga yang indah mengalir untuk saya dari Wellington Koo, dari beberapa kali sehari ia menelepon saya. Kalau kebetulan saya sedang tidak ada di rumah, ia pun mencari saya sampai dapat. Suatu hari ketika sedang merawat tangan saya di Salon Elizabeth Arden, ia muncul. Saya merasa tersanjung, sebab pria yang mempunyai kedudukan seperti dia mau berbuat demikian demi saya.
Sekali, dalam percakapan saya katakan bahwa saya tidak mungkin diundang ke istana Buckingham, istana Elysee dan Gedung Putih.
Istri saya ikut diundang, kalau saya menghadiri perjamuan resmi di tempat tempat itu,”katanya.
“Tentu isterimu kan sudah meninggal,”kata saya.
Ya, dan saya mempunyai 2 orang anak yang masih kecil, yang memerlukan ibu,“ ketika itu umur saya baru 19 tahun dan saya biasa berbicara tanpa tedeng aling aling seperti ayah saya.
Jadi, kamu ingin menikah dengan saya,“tanya saya.
Ya, dan saya harap kamu mau. Ia tidak berkata bahwa ia mencintai saya, tidak juga bertanya apakah saya mencintai dia. Saya tercengang dan berkata saya akan berpikir pikir dulu.
Menantu Impian
Saya tahu apa yang akan dikatakan ibu. Wellington Koo merupakan menantu impiannya. Kekagumannya kepada Wellington Koo tidak pernah padam. Ibu tidak ragu ragu untuk memujinya secara terbuka. Ia sangat bangga menjadi mertua Wellington Koo. Mungkin ibu lebih cocok buat Wellington Koo daripada saya. (Wellington lahir di tahun babi sedangkan saya di tahun Harimau!)
Tjong Lan memberi saran,”Hui Lan, kamu harus menikah dengan Wellington Koo, jangan seperti saya yang bersuamikan orang yang tidak berarti. Ingat, kamu akan menjadi Madame Wellington Koo dan orang orang akan menyapamu Your Excellency.”
Ketika saya masih ragu-ragu, ibu tidak sabar. Saya katakan bahwa saya tidak siap menjadi ibu tiri. Menurut ibu, saya tidak perlu mengasuh sendiri anak anak tiri saya. Mereka sudah mempunyai pengasuh. Kalau belum, ibu yang akan mencarikan.
Ingat,“kata ibu kepada saya,“sekarang masih ada aku yang akan melindungimu, tetapi aku ini berpenyakit diabetes. Kalau aku sudah tidak ada, kamu kann tidak bisa hidup serumah dengan Tjong Lan, karena kamu tidak akur dengan Ting Liang. Kamu tidak akan diperbolehkan hidup sendiri oleh ayahmu. Kamu harus pulang ke ayahmu, padahal Lucy Ho membencimu. Kamu bisa diracuni.“
Saya pun setuju menikah dengan Wellington Koo. Dengan kegirangan ibu mengirim telegram kepada ayah. Mata-mata ayah menemukan satu titik hitam dalam sejarah hidup Wellington Koo. Ia pernah menikah dan bercerai di Shanghai, sebelum menikah dengan putri jenderal Tang. Ayah balas menelegram ibu,“kalian tolol. Kalau Hui Lan dinikahkan dengan Wellington Koo, ia tidak bisa menjadi istrinya, karena Wellington Koo mempunyai istri yang masih hidup di Cina. Mengapa kalian tega berbuat demikian kepada Hui Lan?”
Ibu tidak akan mundur. Ibu sudah diberitahu oleh Wellington bahwa semasa kanak kanak ia sudah dijodohkan dengan putri tabib yang menyembuhkannya dari penyakit berat. Waktu pulang liburan dari Amerika Serikat (ia mahasiswa yang cemerlang di Columbus University) tahu 1908, ibu dan kakak laki lakinya mengirimkan tandu merah kepada putri tabib itu. Wellington yang lahir 1887 dengan taat membawa gadis desa yang tidak terpelajar ke New York. Istrinya kemudian meminta dipulangkan karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana. Diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan mereka bercerai. Masa itu perceraian diakui kalau direstui orang tua.
Kemudian Wellington menikah dengan gadis berpendidikan barat, putri Tang Shao Yi, tangan kanan Presiden Yuan Shih Kai. Setelah mendapat gelar master dari Columbus dan lulus dari sekolah hukum di Yale, Wellington Koo kembali ke Cina untuk menjadi sekretaris dan penerjemah bagi Yuan di Beijing.
Wellington Koo berasal dari keluarga yang tidak kaya tidak pula miskin. Mereka termasuk kuno. Kaki ibunya masih diikat dan ibunya itu hanya bisa berbahasa Cina dialek Shanghai, serta tidak pernah pergi jauh dari rumah. Ketika bersekolah di Amerika Serikat, Wellington hanya bisa tinggal di asrama murah dan hidup sederhana sekali. Istrinya, putri Jenderal yang berpendidikan barat itu penurut, berbeda dengan saya.
Pertunangan kami diumumkan di Hotel Ritz di Paris, sedangkan pernikahan kami dilangsungkan di kedutaan Cina di Brussels, Belgia. Hari itu Tjong Lan sakit, sehingga hanya ibu yang hadir. Ayah dan keluarga Wellington tidak bisa datang karena jarak yang jauh. Pernikahan harus dilangsungkan sebelum Wellington menggantikan Alfred Tse sebagai Minister (Jabatan yang lebih rendah dari duta) Cina di London. Saya mendapat hadiah Rolls-Royce dari ibu. Seragam sopirnya dibuat di Dunhill. Ibu juga menghadiahkan peralatan makan dari perak, yang waktu itu harganya 10,000 poundsterling. Benda itu masih saya miliki sampai sekarang, walaupun sudah lama sekali disimpan di bank dengan ongkos US$200 dollar setahun.
Sarung bantal bagi kami diberi kancing yang berhiaskan intan. Semua itu tentu saja ayah yang membayar, meskipun ibu yang membelinya. Hadiah perhiasan dari Wellington termasuk sederhana bila dibandingkan dengan yang saya dapat dari ibu.
Cintanya hanya untuk Cina.
Ketika kami sudah berada di hotel, saya menanggalkan pakaian pengantin saya yang dibuat dari Callot untuk berganti dengan negligee yang seksi untuk menyenangkan suami saya. Ternyata ia tidak memperhatikan saya ketika saya memasuki ruang duduk suite kami. Ia sedng sibuk bekerja dikelilingi empat sekretarisnya. Jadi saya duduk saja menunggunya.
Malam itu juga kami harus berangkat dengan kereta api ke Jenewa. Karena keesokan harinya Liga Bangsa-Bangsa dibuka dan Wellington Koo merupakan ketua delegasi Cina. Perhatian Wellington Koo hanya untuk Cina. Ia memang orang yang diperlukan oleh Cina, tetapi bukan suami yang tepat untuk saya. Otaknya cemerlang, tetapi ia tidak mampu bersikap mesra dan menunjukkan kelembutan.
Sore itu, sebelum berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan yang diadakan bagi kami oleh wakil cina untuk Spanyol yang khusus datang dengan istrinya. Pesta resmi itu dihadiri pejabat2 Prancis, Belgia, dsb. Ibu ikut dengan kami ke Jenewa. Pagi pagi saya dibangunkan oleh Wellington yang ternyata sudah berdandan rapi dan sudah sarapan. Katanya, di stasiun kami akan disambut seluruh delegasi cina. Cepat2 saya berdandan. Saya mendapat karangan bunga mawar yang besar sekali dari penyambut. Ibu saya juga, sehingga ia senang sekali.
Kami mendapat suite yang mengesankan di hotel Beau Rivage yang menghadap ke danau. Suami saya segera diambil para sekretaris untuk rapat. Wellington mengingatkan saya bahwa ibu saya berada di hotel itu juga dan mungkin menunggu saya. Jadi, saya pergi menemui ibu. Kami makan siang bersama lalu pergi berbelanja. Rasanya seperti belum menikah saja.
Saya sangat tercengang dan juga tersinggung ketika Wellington dan Wang mengatur tempat duduk tamu di perjamuan yang kami adakan tanpa meminta pendapat saya sama sekali. Saya bergidik melihat kartu bertuliskan nam orang yang akan duduk di kiri kanan saya, karena mereka orang orang yang sangat membosankan. Jadi, saya atur kembali letak kartu2 di meja perjamuan. Tahu-tahu, ketika saya sedang berdandan, Wellington masuk,“Hui Lan, ini bukan pesta pribadimu,“katanya. Kamu menjamu mewakili Cina, sehingga para tamu harus didudukkan sesuai dengan tingkatan mereka, agar tidak ada seorangpun yang merasa terhina atau hilang muka.“ Itulah pelajaran pertama yang saya dapat mengenai protokol. Kemudian saya sangat ahli dalam mengatur tempat duduk para tamu, sehingga tugas itu diserahkan kepada saya, bukan kepada pejabat kedutaan besar, yaitu setelah hubungan kami dengan negara negara meningkat menjadi kedutaan besar.
Suami lebih suka memakai mobil bekas.
Sejak semula Wellington gigih memperjuangkan pemulangan Shantung dari Jepang kepada Cina. Sebelum menikah dengannya saya tidak tahu menahu perihal itu, namun saya belajar dan mulai menginsafi posisi dan tanggungjawabnya yang besar.
Kami sering harus menghadiri resepsi resmi, Ia terlalu sibuk untuk memperhatikan pakaian saya, padahal saya mendapat banyak pujian. Suatu malam, sepulang resepsi, saya tanyakan kepadanya apakah sikap saya selama ini cukup memuaskan dan tidak dipergunjingkan orang? Ia mendekati saya. Saya kira ia akan memeluk saya, ternyata ia hanya mau mencopot anting anting intan saya. “Saya sudah memberi kamu perhiasan satu satunya yang bisa saya belikan,”katanya.”Saya ingin kamu memakainya, bukan perhiasan dari orang lain, walaupun banyak dikagumi dan dibicarakan orang.”
Saya tertegun. Perhiasan yang saya kenakan, sebagian besar pilihan ibu dan dibayar oleh ayah. Saya tersinggung karena suami saya menghendaki perhiasan itu disingkirkan. Ia memang menikah dengan saya bukan karena uang saya, terapi ia tahu perhiasan itu merupakan bagian dari saya.
Ia juga menyarankan agar pesanan Rolls Royce dibatalkan saja, sebab ia tidak sanggup membeli Rolls Royce. “Ayah bisa dan dia memberinya kepada kita,”jawab saya. Kata Wellington, ia akan membeli mobil bekas Alfred Sze. Mobil bekas dengan seragam sopir yang juga bekas? Jangan harap saya mau,”jawab saya. Akhirnya Wellington berkata, saya boleh naik Rolls Royce saya, tetapi ia sendiri akan naik mobil bekas Sze.
Roll Royce pesanan ibu menjadi bahan percakapan di London. Tampaknya Wellington tidak perduli. Ia juga tidak perduli saya terus menerima kiriman uang dari ayah. Pikir saya, goblok sekali kalau saya tidak memanfaatkan pemberian itu. Sementara itu saya juga mulai menikmati menjadi istri seseorang yang banyak perhatian dan penting.
Saya mendesak Wellington untuk memugar dan mengganti perabot kami di Portland Place yang suram itu. Ia mengingatkan bahwa Cina tidak kuat membayarnya. Ayah memiliki banyak uang. Keluar beberapa ribu dollar tidak berarti apa apa baginya,”desak saya. Ia mengingatkan bahwa semua yang saya bayar akan menjadi milik Cina. Saya tidak perduli. Ketika itu tidak pernah terpikir oleh saya bahwa uang ayah bisa habis. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya bahwa,”Tiada Pesta yang tidak berakhir.” Pepatah itu, menurut teman lama saya, E.T. Cheng yang kemudian menjadi dutabesar di London, adalah pepatah Cina yang paling menyedihkan.
Tampak serasi padahal tidak sejalan.
Masa itu banyak hal yang tidak saya pahami. Namun saya tahu dari ayah bahwa uang bisa berbuat banyak. Bagi saya, hidup lebih mewah daripada yang dimungkinkan oleh gaji Wellington bukanlah masalah. Hal itu tidak merugikan Cina, malah menguntungkan, sebab biayanya saya dapat dari ayah saya.
Saya masih ingat, ketika dengan pertama kali ke Istana Buckingham yaitu saat Wellinton menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Raja George V dan Permaisuri Mary. Putri Alice sebelumnya sudah mengajari saya curtsy, yaitu cara wanita memberi hormat kepada keluarga raja2. Ia juga berpesan agar saya jangan berbicara kalau tidak ditanya. Keluar dari istana, Wellinton berkomentar,”Kita ini memang pasangan yang hebat,” Ya, makin lama saya bertambah matang. Saya pandai mengatur seperti ayah dan memiliki selera seperti ibu. Saya pasangan yang sepdan bagi Wellington. Begitulah tampangnya dari luar, padahal pernikahan kami tidak berjalan dengan mulus.
Orang orang mengagumi otak suami saya, tetapi kami cuma negara kelas dua, sebab masa itu Cina bukan negara yang kuat. Kekuatan2 besar cuma mengirimkan wakil setingkat minister ke Beijing, bukan duta besar. Kami ditempatkan jauh di bawah para dubes. Suatu kali, ketika pulang dari suatu upacara, dengan bergurau saya katakan kepada Wellington,”Saya tidak ingin seumur hidup menjadi istri Minister, Kapan kamu menjadi dubes?” Bisa dipahami kalau Wellinton jengkel.“Kalau kamu tidak puas dengan keadaanmu sekarang, kapan pun kamu tidak akan puas. Saya tidak bisa mendapat kedudukan lebih tinggi lagi dari ini, minister untuk Istana Saint James!”
Putra sulung saya lahir di Washington, 30 Januari 1922, ketika suami saya menghadiri konferensi pembatasan Persenjataan, yang juga membicarakan nasib Shantung. Wellington memilih nama Kai Yuen yang berarti “zaman baru”. Namun nama resmi putra kami itu Yu Chang yang diberi oleh abang sulung suami saya. Namun sejak semula orang orang lain memanggil putra kami Wellington junior, sehingga seterusnya kami sebut ia junior.
Ayah berubah
Tahun 1916 keadaan cina kacau. Presiden Yuan Shih Kai meninggal tidak lama setelah berusaha menjadikan dirinya kaisar. Penggantinya lemah, Wellington yang sudah tujuh tahun meninggalkan cina dipanggil pulang. Dalam perjalanan ke Cina dengan S.S. Khyber kami singgah di Singapura. Tahu tahu pintu kabin kami diketuk pelayan. “Seorang pria berpakaian putih ingin bertemu dengan Anda, Madame. Katanya, beliau ayah saya.”
Dengan kegembiraan meluap luap saya membuka pintu. Saya perkenalkan ayah kepada Wellington. Mereka bersalaman secara formal seperti orang Eropa. Keesokan harinya saya dijemput ayah dengan perahunya sendiri. Di Pelabuhan sudah menunggu mobil bersopir. Namun, ketika tiba di kediaman ayah merasa ibu. Tidak ada istal, tidak ada bermacam macam dapur. Pelayan pun tidak banyak. Ayah bahkan tidak memiliki pelayan pribadi. Di lahan tmepat tinggalnya berdiri beberapa rumah. Rumah tempat tinggal denganLucy Ho mirip rumah pengusaha kecil Bahkan air leding dan WC dudukpun tidak ada.
Berulang ulang saya bertanya mengapa ia hidup seperti itu. Kemana ciri2 kemegahannya ? Ia tidak menjawab pertanyaan pertanyaan itu. Katanya, bisnisnya berjalan seperti biasa, Hauw maupun Swan bisa diandalkan. Kantor ayah di Singapura pun berjalan dengan baik, tetapi ia jarang ke sana.
Saya begitu sedih menyaksikan perubahan cara hidupnya dan melihat semangatnya merosot dalam mengurusi bisnis. Akhirnya ia berjanji kepada saya akan membeli mobil baru dan akan melengkapi salah sebuah rumah di lahannya dengan segala kemewahan,termasuk air leding dan WC.
Ayah berkata, saya tidak perlu khawatir. Neraca pribadinya bahkan lebih beres, karena ditangani sendiri oleh Lucy Ho. Berlainan dengan gundiknya yang lain . Lucy Ho terpelajar. Saya tetap khawatir. Saya tahu, tidak semua istri setia. Mengapa Lucy Ho membiarkan dirinya terikat pada pria yang menghamilinya setiap tahun ? Saya memperingatkan ayah agar jangan mencampuradukkan seks dengan bisnis. Ayah tertawa,”kamu dan ibumu akan jauh lebih kaya, kalau pemasukan dan pengeluaran uang kalian seperti Lucy Ho.”Saya pun tertawa dan menjawab,”Buat apa saya repot2 mengurusi neraca dan menelusuri kemana uang saya kalau saya mempunyai ayah seperti ini?”
Sama seperti saya, Lucy Ho rupanya lebih suka kalau kami tidak bertemu muka. Ia hanya muncul kalau makan siang. Ia mengenakan saraung dan berkebaya putih. Ia bertelanjang kaki dan rambutnya disanggul. Sanggulnya itu disemat dengan tusuk sanggul Kami bersikap resmi dan ia memasang wajah tidak ramah. Siangnya, waktu saya tanyakan kepada ayah apakah ia tidak rindu istananya di Semarang dan kemegahan hidupnya di masa lalu, ayah menggeleng. Saya merasa sedih. Lucy Ho sudah berhasil menghapuskan kenangan lama ayah dan saya tidak berhasil membujuknya untuk hidup menurut caranya yang lama. Kata ayah, Lucy Ho berlainan dengan saya dan ibu. Ia tidak terbiasa hidup dikelilingi banyak pelayan. Kehadiran banyak pelayan membuatnya risih.
Dibelikan istana
Tampaknya ayah dan Wellington tidak saling menyukai. Mereka memang berbeda. Wellington memberi saya posisi yang penting di mata dunia. Ayah memberi saya uang untuk menaikkan gengsi jabatan Wellinton, membelikan Rolls Royce yang kini berada di dalam kapal, dan menjadikan saya perempuan yang ingin dinikahi oleh Wellington
“Kamu perlu uang saku?” tanya ayah dengan lembut ketika sopir mengantarkan saya ke kapal.”Selalu,”jawab saya. Ayah menjejalkan uang kertas ke tas saya yang jumlahnya ternyata lebih dari US$ 50,000. Saya tidak tahu apakah Lucy Ho tahu ayah memberi saya uang sebanyak itu. Yang jelas, saya tidak memberitahu Wellington.
Di Shanghai kami disambut dengan meriah. Kakak sulung Wellington sudah menyewakan kami rumah yang dianggapnya hebat sekali, tetapi menurut ukuran saya sangat mengecewakan karena tidak memiliki air leding dan WC duduk. Tempat tidurnya keras, karena berupa ranjang kayu tradisional. Jadi, saya membawa anak anak dan para pelayan inggris kami ke hotel. Wellington sebenarnya tidak setuju karena tidak mau menyinggung perasaan abangnya.
Dengan uang ayah , kami berhasil mendapat istana di Beijing. Istana itu memiliki 200 ruangan dan terletak di tanah seluas kira2 4,6 ha. Istana itu dijual murah oleh pemiliknya, US$100,000, karena ia takut disita oleh pemerintah. Saya menghabiskan US$ 150,000 lagi untuk mendandaninya. Uangnya tentu saja saya daat dari ayah. Istana itu dibangun Kaiser pada abad XVII untuk seorang gundik yang paling dicintainya. Di istana ini kemudian Dr. SunYat Sen presiden pertama Cina, meninggal 1925.
Di sini kami mempunyai 40 pelayan. Saya tidak usah pusing mengurusinya, karena Wang yang setia bertindak sebagai majordomo. Putra kedua, saya lahir diistana ini 24 Juli 1923 malam. Wang membangunkan Wellington untuk memberi tahu.
Tuan, Anda mendapat putra Ketiga.”
Bagus,”jawab Wellington yang segera mengatupkan matanya kembali.
Saya terlalu naif untuk mengharapkan suami saya, memberi penghargaan atau menunjukkan kepuasan. Lama kelamaan saya insaf bahwa bayi dan anak anak tidak begitu menarik baginya. (Ketika Wellington sudah menjadi dubes di Paris, pernah ia berpapasan dengan Junior di jalan, yang sedang berjalan jalan dengan pengasuhnya. Namun Wellington tidak menegurnya sepatah kata pun. Setiba di rumah, Junior berkata kepada saya,”Ibu saya rasa ia tidak mengenal saya.”)
Putra saya yang kedua diberi nama Fu Chang oleh abang sulung Wellington, tetapi ia sering dipanggil Freeman. Bekas raja Muda India, Marquess of Wellingdon yang nama aslinya Freeman Freeman Thomas, memberinya nama demikian. Nama Cina sulit diucapkan olehlidah barat. Karena itulah suami saya mendapat nama Barat dari guru atau teman, yang mendekati bunyi nama aslinya. Hui Lan tidak sulit diucapkan , sehingga saya tidak perlu ganti nama.
Ayah Merasa Lelah
Pada masa itu, kalau sya pulang dari bepergian, saya sering menemukan jepit rambut perempuan atau bedak di ruang duduk saya. Wellington pun sering pergi berakhir minggu entah kemana. Di Pihak saya sendiri, tidak pernah terpikir oleh saya untuk menyeleweng, walaupun saya digoda. Menurut orang tua tua, tidak pantas saya pergi berbulan bulan ke tempat ayah, meninggalkan suami. Kalau saja Wellington keberatan, saya tidak akan pergi berlama lama. Namun ia selalu sibuk dan tidak pernah kelihatan gembira kalau saya pulang dari mana nana.
Kalau saya kaji kembali sejarah hidup saya, saya hanya pernah sekali jatuh cinta, yaitu ketika saya masih berumur belasan tahun di Singapura. Orang tua saya sama sekali tidak setuju pada pilihan saya. Mungkin mereka benar. Ketika berpuluh tahun kemudian saya bertemu kembali dengan Siao Kuan, saya juga kecewa.
Ketika saya menemui ayah kembali di Singapura, rumah yang dijanjikannya belum selesai. Ayah menyewakan serangkaian kamar di Raffles Hotel. Hampir setiap malam kami makan bersama. Setiap kali saya hanya berniat untuk tinggal beberapa minggu, tetapi akhirnya menjadi berbulan bulan. Pada kunjungan ke singapura sekali ini, di luar dugaan, saya diundang gubernur jenderal ke perjamuan di rumahnya. Saya pikir, ini kesempatan bagi saya untuk mengajak ayah. Ia senang sekali, sebab kesempatan seperti ini, tidak bisa dibeli dengan uang. Karena tidak mempunyai rencana untuk menghadiri perjamuan di rumah gubernur jenderal, saya tidak membawa perhiasan mahal ke Singapura. Ketika ayah melihat saya memakai perhiasan biasa, ia masuk ke rumahnya dan ketika kembali ia melemparkan ke pangkuan saya perhiasan intan yang besanya berpuluh puluh karat.
Orang Cina yang dundang cuma kami berdua dan Sir Robert Ho tung dari Hong Kong. Selebihnya orang Inggris. Padahal ayah tidak paham bahasa Inggris dan ingin duduk di sebelah saya. Saya jelaskan masalahnya pada ajudan gubernur jenderal, yang lantas menempatkan ayah di sebelah saya. Malam itu semua berjalan lancar, cuma saja nyonya rumah yaitu Lady Guillemard mungkin heran melihat pengaturan tempat duduk berubah.
Pulangnya saya mentraktir ayah makan di pecinan. Di sini ia merasa bebas, sebab tidak ada pengalang bahasa. Ketika kembali ke Cina, saya bawa perhiasan yang malam itu saya pakai ke Perjamuan. Soalnya, ayah tidak memintanya kembali. Saya tidak tahu apakah perhiasan itu milik Lucy Ho atau bukan.
Saya masih bertemu ayah sekali lagi. Suatu ketika ia menulis surat, memberi tahu villa saya sudah hampir selesai dan saya diminta memberi saran penyelesaiannya. Saya datang ke Singapura. Pada kesempatan ini ayah diramal oleh seorang India. Kata orang itu semua orang hanya mencintai ayah karena uangnya. Cuma ada satu orang yang benar benar mencintainya. Ia memperingatkan bahwa ada musuh yang akan meracuni ayah. Saya khawatir dan mengajak ayah meninggalkan Singapura, tetapi ayah tidak mau. Ia tenang saja. Dengan was was saya meninggalkan ayah. Kata katanya yang terakhir ketika mengantarkan saya ke kapal adalah,“Hui Lan, aku lelah.“
Oei Tiong Ham meninggal
Tiga bulan kemudian, saya menerima kawat dari Tjong Swan, yang memberitahu ayah meninggal tiba tiba akibat serangan jantung pada 6 Juni 1924. Inilah awal masa suram bagi saya. Selama ia hidup, saya tahu saya aman. Bukan hanya dalam hal keuangan, tetapi lebih dari itu. Selama ada ayah, tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap saya.
Saya memberitahu ibu di London dan mengajaknya menghadiri pemakaman. Ibu menolak, saya takut pergi sendiri. Jadi, Wellington menyarankan saya membawa Wang, majordomo kami yang setia dan seorang pelayan perempuan ke Singapura. Peti Jenazah sudah ditutup, dikelilingi orang orang yang benar benar asing buat saya, yaitu teman teman Lucy Ho. Saya insaf, sekarang saya orang luar.
Mengingat ramalan orang india beberapa waktu lalu, saya meminta jenazah ayah diautopsi, sebab saya curiga Lucy Ho meracuninya. Namun menurut penasihat hukum di Singapura, sebagai anak perempuan almarhum saya tidak berhak meminta autopsi terhadap jenazah ayah. Kalau ibu hadir, dia lah yang berhak memintanya.
Tjong Wan dan Tjong Hauw mengatur pemakaman yang akan dilakukan di Semarang. Jenazah ayah diangkut dengan kapal. Tjong hauw mengosongkan rumahnya supaya bisa saya tempati. Ia sendiri mengungsi ke rumah lain. Sebagai anak istri sah, saya duduk di kerta pertama yang mengiringi jenazah ke pemakaman. Swan, Hauw , dan para putra ayah dari gundik gundiknya berjalan di belakang kami. Pemakaman dilaksanakan tanpa biksu. Saya merupakan orang pertama yang diminta melemparkan tanah ke liang lahat. Untuk mencegah pertemuan dengan Lucy Ho dan anak anaknya, saya segera meninggalkan tempat itu.
Saya diberitahu bahwa Lucy Ho dan anak anaknya berani pindah ke istana kami, tetapi hal itu sudah tidak berarti apa apa lagi buat saya. Saya bahkan tidak sampai hati melihat rumah itu lagi. Saya tinggal beberapa hari di Semarang untuk menjenguk keluarga ibu. Mereka menjamu saya di sebuah hotel, yang paling baik di Semarang sehingga saya merasa terharu.
Ayah memberi saya warisan yang dijanjikannya. Ibu mendapat beberapa juta dollar dan Tjong Lan mendapat satu juta dollar. Namun perusahaan ayah dibagi antara Tjong Hauw, Tjong Swan dan Lucy Ho. Saya yakin kalau ibu datang, ia bisa membatalkan surat wasiat ayah. Swan setelah upacara berkabung selesai, segera menjual bagiannya kepada Hauw dan Lucy Ho. Kemudian Swan pindah ke Belanda.
Hauw memang sudah dekat dengan Lucy Ho dan lebih dekat lagi sejak Lucy Ho pindah ke Jawa. Mereka sudah meninggal sekarang. Saya dengar Lucy Ho meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi yang ditelantarkan dan pada 1951 Hauw pun meninggal di Jakarta karena serangan Jantung.
Bisnis ayah di Indonesia diam diam diambil oleh Jepan dan sisanya kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno. Belum lama ini saya dengar, warisan yang saya terima dari ayah masih berada atas nama saya. Suatu ketika mungkin saya bisa menjualnya.
Tahun 1936;Wellington menjadi dubes cina pertama untuk Prancis. Saya pergi ke Paris, meninggalkan banyak harta benda saya di Cina. Saya juga meninggalkan perhiasan almarhumah isteri Wellington di sebuah bank di Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka, Pat, kalau Pat sudah dewasa. Tidak terpikir oleh kami kalau semuanya akan amblas, karena Cina kemudian dikuasai oleh Komunis.
Diundang Ibusuri
Musim dingin 1943 Wellington dijadikan dubes di London. Kami berteman baik dengan Menteri Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM Churchill, kemudian juga oleh PM Attlee. Suatu hari saya mendapat undangan dari Ibu Suri Mary. Kemudian saya balas mengundangnya untuk makan malam di kedubes kami.
Tinggal di rumah bekas penemu telepon
Kami bisa mengadakan perjamuan megah dsb, berkat uang warisan dari ayah, sebab apara duta besar waktu itu cuma US$ 600 sebulan, ditambah tunjangan perjamuan, rumah , supir dan pelayan kami peroleh dengan gratis.
Pakaian saya selalu saya usahakan dari kain sulaman cina kuno yang saya jdikan pakaian modern,tetapi dengan sentuhan cina. Baru setelah kain kain cina itu usang di masa perang dan saya tidak lagi mendapatkannya lagi, saya berganti berpakaian eropa.
Teman baik saya semasa di London adalah Joseph Kennedy, Jr. Sayang, ia gugur dalam perang. Kalau tidak , pasti ia menjadi menjadi presiden AS.
Saya ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina Mountbatten di masa perang itu. Saya menjalankan tugas2 saya dengan tertib. Perkara ketertiban saya bsia diandalkan, sebab ibu dan ayah sangat menetapi waktu. Berbeda dengan Wellington yang terlambat melulu.
Tahun 1945, putra saya Freeman ingin menjadi tentara nasionalis cina. Saya meminta Wellington mempergunakan pengaruhnya. Freeman pun menjadi ajudan seorang jenderal. Hal ini bisa tejadi antara lain karena kefasihan Freeman berbahasa Inggris.
Tahun 1946 Wellington menjadi dubes cina untuk AS. Kedubes cina di washington tadinya rumah penemu telepon Alexander Graham Bell. Tetangga di sebelah rumah saya adalah Marjorie Merriweather Post yang kaya raya itu. Kalau mengundang saya ke pestanya ia selalu berpesan,”Jangan ajak Wellington.”Hubungannya dengan suaminya pun tidak baik, ketika itu, ia bersuamikan Davies.
Pada masa Wellington menjadi dubes AS ini, Madame Chiang Kai Shek (isteri presiden Cina Nasionalis) pernah menjadi tamu kami. Ia boleh dikatakan tidak mengenakan perhiasan dan makanan permintaannya sederhana sekali. Karena suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, madame Chiang yang mendapat pendidikan di AS itulah yang diutus ke AS untuk berpidato di hadapan kongres. Menurut saya, Chiang pun orang yang sederhana dan makannya sedikit sekali. Lingkungannyalah yang brengsek.
Kami juga berhubungan baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan isterinya yang bijaksana itu. Kami sempat menghadiri upacara pelantikan presiden Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.
Ibu pernah tinggal bersama saya, tetapi kemudian menderita kanker sehingga harus dirawat di sebuah rumah sakit di New York. Ketika ibu meninggal tidak lama kemudian, Wellington mengusahakan pemakaman yang paling megah, yang dihadiri oleh para pejabat cina dan para dubes. Sembahyangan dilakukan dengan pimpinan biksu, saya merasa sangat kehilangan sampai lama sekali.
Hari Mendung tiba.
Berkat intrik dari orang yang sebenarnya dekat dengan kami, Wellington ditarik pulang. Ketika itu pemerintah Cina Nasionalis sudah pindah ke Taiwan. Saya membawa beberapa pakaian dan mobil saya meninggalkan Wellington dan kedubes. Ketika itu tahun 1956. Sudah sepuluh tahun kami tinggal di Washington. Saya menyewa apartemen di Sutton Palace, New York, tempat saya hidup ditemani dua anjing peking saya. Waktu itu saya belum tahu bagaimana caranya menyalakan oven ataupun merebus telur, jangankan lagi memasak. Wang ikut dengan Wellington, sedangkan kedua pelayan saya memilih bekerja di tempat lain sementara koki kami membuka restoran.
Kemudian saya belajar memasak dari Pat, putri tiri saya yang dulu rajin memperhatikan koki kami memasak. Kini saya bisa memasak ayam dengan paprika, tim ikan dengan tausi dan pelbagai macam makanan dar bahan laut. Saya pun mencari perabotan praktis saja. Saya masih memiliki beberapa perabot yang dulu saya beli dan juga pemberian ibu. Perhiasan saya, saya taruh di bank, tetapi sebagian saya simpan di rumah.
Suatu hari sepulang mengajak anjing saya berjalan jalan, saya disergap perampok. Dua orang bule itu mengikat kaki dan tangan saya dan membuntal saya dengan selimut seperti lumpia saja. Mereka tampaknya tahu betul dimana saya menyimpan perhiasan saya. Perhiasan senilai seperempat juta dollar itu amblas mereka gondol.
Setelah perang usai, sulit sekali mengurus rumah rumah kami di pelbagai tempat di eropa. Dengan susah payah berhasil juga saya menjualnya, walaupun dengan harga murah. Saya mengagumi Ny. Kung, seorang Methodist yang tabah. Ia menghibur saya,“Apa pun milik kita yang hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda tidak akan terpengaruh.“
Pesta sudah berakhir
Kini saya jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan. Kalaupun sekali2 saya hadir, saya tidak sakit ditempatkan di bagian meja mana pun, asal jangan di kolongnya.
Saya merasa masih beruntung sebab Pat, anak anak saya, dan cucu cucu saya semua tetap hormat dan mendengarkan kata kata saya. Putra Sulung Wellington masuk AU Nasionalis dan berada di Taiwan. Ketika salah seorang putra saya sakit dan gundiknya menjenguk ke rumah sakit, saya memukul kepala perempuan itu dengan payung. Putra saya mungkin tidak senang, tetapi ia tidak berani berbuat apa apa, sebab saya ibunya. Menantu saya, Edith, sangat berbakti terhadap saya. Kalau ayah mertuanya mengundang ia makan, ia selalu permisi dulu kepada saya sebelum menghadirinya. Wellington tinggal di Mount Vernon bersama seorang perempuan yang diperkenalkannya kepada semua orang sebagai isterinya, tetapi saya tetap menganggapnya sebagai gundiknya, sebab saya tetap Ny. Wellington Koo yang sah.
Saya merasa mempunya pertalian emosional dengan Indonesia tempat saya dilahirkan. Ayah tidak pernah mengajari saya berbisnis. Pada tahun 1968 saya pernah mencoba melaksanakan bisnis di Indonesia bersama dua rekanan perempuan Timur. Kami ingin mengusahakan perkapalan, tembakau dan sepeda tetapi gagal.
Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus puas dengan yang kita miliki.
Tjong Lan sudah meninggal di New York tahun 1970. Suaminya meninggal setahun sebelumnya. Banyak teman baik saya pun sudah meninggal, tetapi saya banyak mendapat teman baru yang masih muda. Saya sering mengenang anjing anjing saya yang sudah mati, yang memberi saya cinta kasih dan kebahagiaan pada tahun tahun terakhir. Saya harap suatu waktu kelak mereka akan dilahirkan lagi. Kalau demikan halnya, saya yakin kami akan saling mengenali.
Catatan Redaksi: Oei Hui Lan masih bisa memberi kata pendahuluan untuk buku Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, Maret 1978. Ketika itu Hui Lan masih menjadi Chief Executive Amerabia Corporation.
Inilah akhir dari sebuah pelajaran hidup yang lantas menjadi sebuah sejarah yang patut kita simpan dan jadikan bagian dari kehidupan yang mempunyai arti jika harta bukanlah nyawa dalam sebuah kehidupan yang bahagia.

Tong A Fie - Orang Terkaya Asal Medan


Bila di Jawa kita mengenal Oei tiong ham. maka di sumatra juga punya kisah tragis yang lebih menyentuh bak telenovela namun ini
adalah kisah nyata. Tahun 2010 ini, rencananya kisan tjong a fie akan menjadi buku seri biografi sejarah saya yang ke dua setelah oei hui lan. sebelum membaca kisahnya lebih lengkap, ada baiknya anda membaca sedikit kisah ini. Sebuah pelajaran penting memaknai arti sebuah kekayaan yang bernilai tentang berbagi namun takdir bisa mengubah segalanya.
Tahun 1981, Queeny Chang, Putri Tjong A Fie, menerbitkan buku riwayat hidupnya. Tentu saja ia banyak bercerita perihal ayahnya, seorang hartawan yang masih diingat masyarakat luas di Sumatera Utara dan Semenanjung Tanah Melayu sampai kini. Menurut H. Yunus Jahja, semasa kanak-kanak di Medan ustad kenamaan K.H. Yunan Helmy Nasution belajar mengaji di salah satu mesjid sumbangan Tjong A Fie yang juga mendirikan berbagai kuil, gereja dan sekolah.
Pada tahun baru Imlek 1902, ayah mengadakan resepsi tahun baru di rumah kami. Saat itu saya berumur 6 tahun. Ibu memakaikan saya sarung kebaya. Rambut saya yang botak di beberapa tempat akibat baru sembuh dari tifus, disanggul dan diberi beberapa tusuk sanggul berhiaskan intan. Berlainan dengan ibu, saya tidak cantik. Wajah saya pucat dan persegi. Mata saya sayu, bulu mata saya jarang dan alis mata saya tipis berantakan.
Ibu saya mengenakan kebaya dan songket. Rambut ibu yang hitam berkilat dihiasi sederet tusuk sanggul intan dan sekuntum bunga dari intan pula. Pada kebayanya disematkan kerongsang, yaitu bros yang terdiri atas tiga bagian. Yang paling atas berbentuk merak sedang mengembangkan ekornya. Dua yang lebih kecil bentuknya bulat. Perhiasan bertatah intan itu sedang mode di kalangan perempuan di Penang dan Medan.
Dalam resepsi itu, ibu berdiri di sampin ayah. Sikapnya sangat anggun di antara tamu-tamunya yang terdiri atas orang orang terkemuka pelbagai bangsa. Ia sadar akan kedudukan ayah sebagai pemuka golongan cina dan bertekad tidak akan memalukannya. Kalau bercakap-cakap dengan orang asing, ibu berbahasa Melayu dengan fasihnya.
Ayah memegang sebelah tangan saya saat mengucapkan terima kasih kepada para tamu yang memberi selamat. Residen Belanda yang mengangkat saya tinggi-tinggi dan mencium kedua belah pipi saya. Permaisuri Sultan menggendong saya. Mereka tahu ayah sangat mencintai saya dan akan membatalkan resepsi ini kalau saya belum sembuh.
Walaupun ayah memangku jabatan sebagai Luitenant der Chinezen, tetapi sebenarnya ia tidak pernah mendapat pendidikan formal. Begitu juga paman saya, Tjong Yong Hian, yang menjadi kapitein der Chinezen.
Kulit Coklat Membawa Rezeki
Ayah saya meninggalkan toko kelontong ayahnya di daratan Cina, ketika ia berusia 18 tahun. Ia menyusul kakaknya, Yong Hian, ke Sumatra. Bekalnya Cuma 10 dolar perak uang Manchu yang dijahitkan ke ikat pinggangnya. Tahun 1880 setelah berlayar berbulan bulan dengan Jung, ia tiba di Labuhan, kota kecil di pantai timur Sumatra. Didapatinya kakaknya sudah menjadi pemuka golongan cina dengan pangkat Luitenant.
Paman mencarikan pekerjaan bagi ayah. Ayah bekerja di toko kelontong Tjong Sui Fo. Pemilik toko itu tertarik pada ayah memberi kesan jujur dan berani. Apalagi karena ia percaya bahwa orang yang kulitnya kecoklatan seperti ayah saya memiliki rezeki besar.
Ayah bekerja serabutan mengurusi pembukuan, melayani para pelanggan di toko, menagih rekening dan melakukan tugas tugas lain. Majikannya puas, karena uangnya tidak tekor sesen pun. Lagipula para pelanggan yang biasanya sulit membayar, bisa dibujuk ayah untuk melunasi utang-utangnya.
Ayah saya pandai bergaul, dengan orang Melayu, Arab, India maupun dengan orang Belanda yang menjajah negeri ini. Ia belajar berbahasa Melayu, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan masyarakat pelbagai bangsa di kawasan ini.
Tjong Sui Fo merupakan pemasok barang untuk penjara setempat. Ayah sering mengantarkan barang ke sana dan sempat mendengarkan keluhan para tahanan. Banyak orang Cina ditahan bukan karena melakukan kejahatan, tetapi karena bergabung dalam Serikat Rahasia (Triad). Ayah bersimpati kepada mereka, tetapi ia mencoba menjelaskan bahwa keanggotaan dalam perserikatan itu dilarang oleh hukum.
Lama kelamaan ia mendapat kepercayaan dari berbagai pihak dan disegani di Labuhan. Masyarakat Cina meminta kepada penguasa Belanda agar mengangkat ayah menjadi Wijkmeester (bek, kepala distrik) bagi orang orang Cina. Permintaan ini dikabulkan. Ayah pun berhenti dari Tjong Sui Fo, tetapi tidak pernah melupakan budi mantan majikannya.
Ayah berkantor di Medan. Kantornya ini sebuah bangunan kayu beratap rumbia. Masa itu ayah sudah menikah dengan putri keluarga Chew, suatu keluarga yang terkemuka di Penang dan merupakan pionir pula seperti ayah. Ketika mereka sudah mempunyai tiga orang anak, isterinya yang baru berumur 32 tahun meninggal. Sebagai duda berumur 35 tahun, ayah menikah lagi. Sekali ini dengan seorang gadis berumur 16 tahun, ibu saya.
Terkenal Galak
Ibu saya, Lim Koei Yap, dilahirkan tahun 1880 di Binjai dan tidak pernah bersekolah. Ia tinggal di perkebunan tembakau karena ayahnya kepala manddor di Sungai Mencirim, salah sebuah perkebunan di Deli. Kakek saya memimpin ratusan kuli kontrak, kebanyakan Cina perantauan.
Nenek saya keras dan kolot. Ia menganggap seorang gadis hanya perlu belajar memasak dan mebuat kue, sebab tempat perempuan katanya di dapur. Ibu saya berjiwa pemberontak. Ia sering merasa dirinya lebih pandai daripada saudara saudarnya yang laki-laki Kalau sedang bertengkar, ia sering berkata ,“Lihat saja nanti, saya pasti akan melebihi kalian semua!“ Saudara-saudaranya biasa menjawab ,“ Kamu kira siapa sih kamu ? Istri Tjong A Fie?“ Tidak seorang pun menyangka hal itu akan menjadi kenyataan.
Ibu mencapai umur untuk menikah tanpa pernah dilamar orang. Namun suatu hari kakek didatangi salah seorang comblang dari Medan. Ibu saya dilamar Tjong A Fie.
Kakek merasa sungguh-sungguh mendapat kehormatan, tetapi ia was-was. Perbedaan umur antara Tjong A Fie dan putrinya terlalu besar. Namun di Pihak lain ia ingin cepat-cepat menikahkan putrinya yang terkenal galak ini. Ia sangsi kesempatan baik ini akan terulang.
Ayah mengaku mempunyai seorang istri di daratan Cina, isteri pilihan orangtuanya yang tdiak bisa ia ceraikan, dan yang kini merawat ibunya yang sudah tua, sehingga tidak bisa menyertainya ke Sumatra. Ayah juga mengaku baru kematian istrinya yang lain, yang meninggalkan tiga orang anak, yang seorang anak laki laki berumur 15 tahun dan dua anak perempuan berumur 12 dan 11 tahun. Ibu menghargai kejujuran ayah dan mau menerima lamaran ayah, asal ayah berjanji tidak akan beristri lain. Ayah menerima syarat itu.
Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah naik pangkat sehingga ibu dianggap membawa rezeki. Saya lahir dua belas bulan setelah mereka menikah dan mendapat nama Fuk Yin. Kemudian saya ditinggalkan bersama seorang pengasuh karena ayah membawa ibu ke daratan Cina untuk dipertemukan dengan nenek di Desa Sungkow.
Menurut ibu, ia dimanjakan mertuanya, yang menyebutnya menantu saya yang di perantauan. Dengan sebutan ini nenek ingin menjelaskan bahwa tempat ibu saya adalah di samping ayah saya, sedangkan ibu Lee, yaitu isteri ayah yang di Sungkow, bertugas merawat rumah ayah di sanan dan mengawasi sawah. Nenek yang autokratik tahu bagaimana cara membuat dua menantu berdamai di bawah satu atap. Masing-masing diberi penjelasan bahwa tugas mereka sama pentingnya. Ibu Lee bangga dan puas karena dipercaya mengurus harta suaminya.
Ibu yang Galak dan Memeh yang Manis.
Setelah saya mempunyai seorang adik laki-laik, Fa Liong kami pindah ke rumah baru (kini rumah no. 105 di Jl. Jenderal A. Yani, Medan). Di mata saya rumah itu rasanya besar dan bagus sekali. Dalam upacara pindah rumah, ibu menggendong Fa Liong sedangkan saya dibimbing seorang perempuan jangkung berpakaian gaya Cina. Saya tidak tahu siapa dia.
Karena saya tidak bisa diam, ibu melotot dan menjewer saya. Sebaliknya perempuan berpakaian cina itu manis sekali terhadap saya. Ibu menyuruh saya memanggilnya Memeh (Ibu). Saya juga disuruh memanggil kakak kepada seorang pemuda berusia 19 tahun yang baik sekali kepada saya dan kepada dua orang gadis.
Perempuan dan ketiga orang yang saya panggil kakak itu tinggal di rumah kami. Saya pikir, mereka kerabat kami yang baru datang dari Cina dan belum mempunyai rumah sendiri. Kami biasa makan bersama sama. Memeh selalu memilih daging ayam yang paling empuk untuk ditaruh di mangkuk nasi saya. Kadang-kadang saya tidru dengannya dan mendengarkan dongengannya. Memeh dan ibu selalu tampak bercakap-cakap dengan gembira. Saya berharap Memeh dan ketiga kaka tinggal selamanya dengan kami, karena saya merasa berbahagia bersama mereka.
Saya tidak tahu berapa lama saya hidup berbahagia seperti itu. Mungkin setahun,mungkin beberapa bulan. Tahu-tahu suatu malam saya terbangun karena mendengar ibu dan Memeh berteriak-teriak marah. Saya dengar ibu mengancam Memeh,“Kalau kamu berani mendekat, kamu akan berkenalan dengan pisauku.“
Kemudian ibu masuk ke kamar saya. Ia memakaikan mantel pada saya, lalu diangkatnya adik dari tempat tidur. Diseretnya saya ke luar dari pintu belakang, menuju jalan yang sudah sepi. Ketika saya menangis, ibu menampar saya. Kebetulan di muka rumah kami lewat kereta yang dihela oleh kuda. Dengan kendaraan itu kami pergi ke tengah perkebunan tembakau. Kereta dihentikan di sebuah rumah kayu beratap rumbia yang diterangi lampu minyak. Ternyata itu rumah kakek dan nenek. Ibu minggat dari rumah !
Ibu tidak mau menjumpai ayah dan tidak mau pulang, sehingga kakek dan nenek kewalahan. Kakek meminta ayah membiarkan ibu sampai marahnya reda. Beberapa bulan kemudian, kami dijemput ayah dengan kereta terbuka yang dihela kuda putih. Saat menjemput kami itu ayah mengenakan seragam upacara Luitenant der Chinezen, seperti yang biasa dipakainya kalau diundang ke tempat residen atau sultan. Tiba di rumah, saya tidak menemukan Memeh maupun ketiga kakak. Mereka sudah pergi. Ibu menuntut mereka dipulangkan ke Sungkow. Saya baru tahu bahwa Memeh adalah ibu Lee, istri ayah dari daratan Cina, sedangkan ketiga kakak adalah anak-anak almarhumah Ibu Chew. Saya tidak pernah lagi melihat memeh dan kakak saya yang laki-laki tetapi kedua kakak perempuan saya kemudian kembali dalam kehidupan saya.
Ibu Belajar menulis dan membaca.
Ketika umur saya tujuh tahun, saya mendapat izin khusus dari residen untuk belajar di seklah anak-anak belanda. Sebelumnya ibu meminta saran dan kenalannya, isteri seorang hakim Belanda, perihal pakaian apa yang sepatutnya saya kenakan ke sekolah. Saya mendapat celana dalam sepanjang lutut yang dihiasi renda. Rok dalam katun yang dihiasi pula dan rok terusan sepanjang lutut dan berlengan pendek. Rasanya aneh sekali, karena sangat berbeda dengan pakaian anak cina dan anak pribumi, yang selam ini biasa saya kenakan.
Hari pertama, saya diantar ayah ke sekolah. Saya tidak bisa berbahasa Belanda sepatah pun, tetapi karena umur saya sudah tujuh tahun, saya diterima langsung ke kelas dua. Supaya bisa mengikuti pelajaran, saya disarankan mendapat pelajaran tambahan. Saat saya les di rumah, ibu selalu mengawasi saya dengan cermat dan galak, sambil mengunyah sirih.
Ibu selalu menjaga agar dandanan saya rapi setiap pergi ke sekolah. Pita di rambut saya selalu rapi disetrika. Kalau ada pesta, pakaian saya selalu yang paling indah. Ibu ingin saya merasa tidak lebih rendah daripada gadis-gadis Belanda. Ia tidak perlu kuatir, sebab saya mudah bergaul dan segera dianggap sebagai salah seorang dari mereka.
Ibu bukan cuma memaksa saya belajar, tetapi ia sendiri juga belajar bercakap cakap dalam bahasa Belanda dari seorang guru perempuan. Ia bahkan belajar menulis. Mula-mula bacaannya cuma dongeng-dongeng, tetapi kemudian ia giat membaca tulisan tulisan yang lebih rumit, seperti etiket pergaulan. Ia ingin bisa berbicara dan bersikap seanggun wanita-wanita asing.
Rupanya ia berbakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia pantas bersarung kebaya yang menyempatkan ia mengenakan perhiasan-perhiasannya, tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri wanita-wanita Eropa, ia mengenakan rok. Seleranya baik. Ia tidak pernah tampak terlalu mencolok. Tidak ada yang menyangka tadinya ia gadis dusun.
Ketika saya belajar bermain piano dari Maestro Paci, ia belajar menyanyi dari Ny. Paci, seorang penyanyi profesional. Dalam pertemuan-pertemuan akrab di rumah kami, kadang-kadang ibu bernyanyi. Sayang ia berhenti belajar ketika suami isteri Paci meninggalkan Mean.
Ketika saya berumur 10 tahun kami mendapat kabar kalau Memeh meninggal. Seminggu setelah itu kakak saya yang laki-laki pun meninggal karena TBC. Padahal ia baru setahun menikah dan meninggalkan seorang bayi laki-laki. Ibu menyuruh saya dan Fa Liong berkabung untuk Memeh. Setahun lamanya saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru. Rambut saya diberi pita biru dan kuncir adik saya diikat dengan benang biru.
Tidak lama setelah kematian kakak, ibu melahirkan seorang bayi laki-laki lagi, Kian Liong yang diterima ayah dengan linangan air mata. Hadiah-hadiah mengalir dari para pedagang Cina, berupa perhiasan emas berbentuk naga, singa, unicorn, kalung, gelang kaki yang digantungi bel bel kecil. Sulthan menghadiahkan model miniatur istananya yang ditaruh di kotak kaca. Kursi, meja, pepohonan dan bunga-bunga miniatur pada model itu dihiasi intan kasar. Sementara orang-orang Eropa memberi perlengkapan piring mangkuk perak dengan sendok garpunya, sedangkan orang-orang Arab dan India memberi perhiasan emas gaya mereka sendiri.
Bertemu Belanda “Butut”
Mobil kami yang pertama adalah sebuah Fiat convertible. Kami menyebutnya motor kuning karena warnanya kuning. Saya tidak tahu betapa kayanya ayah, sampai suatu hari ia memberitahu ibu bahwa ia membeli perkebunan karet Si Bulan. Administraturnya seorang Belanda, Meneer Kamerlingh Onnes. Tadinya pria Belanda itu pembuat onar dalam keluarganya, yaitu keluarga terkemuka dan terhormat di negerinya. Ia dikirim ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan, tetapi berkali-kali dipecat.
Ayah menemukannya sedang duduk melamun menghadapi gelas kosong di hotel Medan. Belum pernah ayah melihat seorang kulit putih berpakaian compang camping dan bersepatu butut seperti itu, sehingga ayah ingin tahu siapa dia dan mengapa bisa sampai begitu. Setelah mendengar ceritanya, ayah terkesan oleh kejujurannya dan menawarkan pekerjaan sebagai administratur perkebunan. Tidak pernah kedua orang itu merasa menyesal.
Ketika usaha ayah di bidang perkebunan maju, Meneer Kammerlingh Onnes diserahi menjadi kepala pengawas semua perkebunan itu: Perkebunan karet, kelapa , teh. Ayah merupakan orang Cina pertama yang memiliki perkebunan-perkebunan karet di daerah ini dan yang pertama pula memperkerjakan orang-orang Eropa.
Keturunan Pesilat dan Bajak Laut
Paman saya Tjong Yong Hian dan ayah mendirikan sekolah dan rumah sakit tempat orang-orang yang kurang mampu bisa mendapatkan perawatan gratis. Mereka menyumbang kelenteng-kelenteng, gereja-gereja, mesjid-mesjid, maupun kuil-kuil Hindu. Mereka pun mengirimkan sumbangan ke daratan Cina untuk korban paceklik dan banjir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-anak petani di desa kelahiran mereka. Mereka membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bahkan membuka perusahaan kereta api Chao Chow dan Swatow dekat tepat kelahiran mereka, sehingga paman yang lebih ambisius mendapat gelar kehormatan Menteri Perkeretaapian dari pemerintah Mancu dan diterima beraudiensi oleh Kaisar Janda Cixi. Kalau ia naik tandu ke desanya, di depan tandunya selalu ada pembuka jalan yang menabuh gong dan pendudukpun berlutut di tepi jalan.
Namun paman meninggal tidak lama kemudian. Ayah menggantikannya menjadi Kapitein der Chinezen. Ketika itu saya sudah lulus SD dan mendapat tambahan adik laki-laki lagi, Kwet Liong. Ayah mengusahakan agar kakek saya dari pihak ibu menjadi Luitenant der Chinezen di kota minyak Pangkalan Brandan. Pengangkatan ini pasti dipergunjingkan orang, tetapi ayah merasa ia mempunya alasan. Untuk menguasai orang-orang Cina di tempat itu diperlukan orang kuat. Mereka kebanyakan Hai Lok Hong yaitu keturunan para pesilat dan bajak laut, sedangkan kakek saya sendiri seorang Hai Lok Hong. Akhirnya, semua orang puas dengan pilihan ayah.
Dijodohkan
Ayah saya menyediakan tanah untuk sekolah Metodis di Medan, yang diurus keluarga Pykerts. Keluarga ini sendiri tinggal di Penang. Kalau sedang berada di Medan, mereka tinggal di rumah peristirahatan milik ayah di Pulu Branyan. Di Tempat ini ayah mempunyai kebun binatang. Kami bukan hanya memelihara burung seperti kakaktua atau kasuari, tetapi juga ular, jerapah, zebra, kangguru dan keledai kelabu.
Kemudian keluarga Pyketts mengundang kami ke Penang. Ibu memenuhi undangan itu dengan mengajak Fa Liong, Jambul (Kian Liong) dan saya.
Dalam salah satu perjamuan yang diadakan keluarga Pyketts di Penang ini , kami berjumpa dengan seorang wanita cantik yang sangat fasih berbahasa Inggris. Ternyata ia Ny. Sun Yat Sen yang singgah dalam perjalanan ke Cina. Sun Yat Sen adalah presiden pertama Republik Cina. Ia dipuja oleh Cina Komunis maupun Nasionalis.
Pernah orangtua saya berniat menyekolahkan saya ke Belanda. Namun setelah saya lulus dari SD, hal itu tidak pernah disebut sebut lagi. Saya malah disuruh belajar memasak dan menjahit, dua hal yang tidak mampu saya lakukan dengan baik sehingga saya terus menerus dimarahi ibu.
Suatu malam, kakak saya berlainan ibu, Song Yin memberitahu saya bahwa saya sudah dipertunangkan dengan seorang pria dari daratan Cina.
“Apa? Dipertunangkan?” tanya saya. “Ibu tidak memberitahu saya. Saya akan dinikahkan dan pergi ke Cina?” Malam itu Song Yin mengajak saya ke kamar ayah kami. Dari lemari ia mengeluarkan sehelai foto yang memperlihatkan seorang pemuda Cina dalam pakaian tradisional dan berkopiah. Wajahnya tampan, tetapi pakaian itu membuat ia tampak tidak menarik bagi saya. Song Yin membuka lipatan sebuah saputangan sutra merah dan didalamnya terlihat sepasang gelang emas berukuir aksara Cina.
Ini calon suamimu dan gelang emas ini tanda pertunangan. Paman kita yang mengatur pernikahan ini tiga tahun yang lalu, ketika kamu baru berusia 13 tahun,” katanya, ayah kami harus menurut kata-kata kakaknya dan janji yang sudah dibuat tidak boleh diingkari.
“Mengapa bukan kakak Fo Yin saja yang dijodohkan dengannya?” tanya saya. Fo Yin adalah anak angkat paman. “Fo Yin lebih tua,”jawab Song Yin. Ia membujuk saya,”Jangan sedih, Dik. Kamu akan menjadi menantu orang yang sangat kaya dan sangat dihormati.
Lebih Suka Main boneka daripada Menjadi Pengantin.
Saya mulai belajar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dari Mrs. Smith, seorang perempuan Australia dan melanjutkan belajar memainkan piano. Ternyata keluarga calon suami saya, keluarga Lim, ingin pernikahan kami tidak ditunda-tunda lagi. Menurut peramal tanggal tiga bulan sepuluh pada tahun tikus (1912) merupakan tanggal dan tahun baik.
Teman saya, Minnie rahder, putri residen, terpesona melihat kamar pengantin yang dipersiapkan untuk saya. “ Kau gadis yang bahagia,” katanya. Padahal saya lebih menghargai kiriman boneka dari Sinterklas yang matanya bisa dipejam dan terbuka.
Orangtua saya menyediakan bekal pernikahan yang berharga, sebab anak perempuan yang tidak dibekali secukupnya akan dhina oleh keluarga suaminya.
Calon pengantin pria tiba diiringi 12 pengantar yang terdiri atas pamannya, seorang governess (guru pribadi)Amerika, seorang sekretaris berkebangsaan Eropa, seorang sekretaris Cina, empat pelayan, seorang koki dan seorang budak perempuan untuk melayani governess. Mereka ditempatakan di Pulu Branyan yang akan menjadi kediaman sementara kami sebelum berangkat ke Cina.
Fa Liong yang saat itu berumur dua belas, ikut ayah menjemput mereka. Ketika kembali, ia berkata kepada saya,“Kak, calon suami kakak sama tingginya dengan saya. Pasti ia cuma sepundak kakak.“
“Bohong! Dia kan sudah berumur dua puluh,” kata saya.
“Masa bodoh kalau tidak percaya. Pokoknya, dia pendek,” saya jadi kuatir. Ganjil betul kalau pengantin perempuan jauh lebih tinggi daripada suaminya.
Saya dengar ibu bercerita kepada bibi bahwa paman calon pengantin pria mengatakan: pelayan pelayan yang dibawa oleh pengantin perempuan langsung dianggap selir pengantin pria. Tentu saja ibu saya protes. Anak saya dilahirkan di negara yang diperintah oleh seorang ratu dan kami disini hanya boleh punya satu istri !” Konon paman pengantin pria tidak tersenyum mendengar protes ibu. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ibu tidak jadi membawakan dua pelayan perempuan bagi saya, padahal mereka sudah didatangkan dari desa ayah.
Terakhir Kali main Kuda-kudaan.
Malam sebelum hari pernikahan saya, Fa Liong mengajak saya bermain kuda kudaan, seperti sering kami lakukan kalau ibu sedang tidak berada di rumah. Saya memasang tali kendali di bahu Fa Liong, lalu ia berlari dan saya mengikutinya sambil memegang kendali dan cambuk mainan. Sementara itu kami berteriak-teriak sambil saya mengejarnya di kebun dan di dalam rumah.
Pesta pernikahan saya dihadiri antara lain oleh Sulthan dan residen. Lalu tibalah saatnya saya dibiarkan berduaan saja dengan suami saya. Saya merasa canggung. Saya hanya bisa berbahasa Hakka bercampur melayu. Suami saya hanya bisa berbahasa Hokkian. Berkat Mrs. Grey, governess suami saya, bahasa Inggris saya maju pesat selama kami berada di P. Branyan. Sebenarnya suami saya lebih suka kalau saya belajar berbahasa Hokkian,sebab ibunya hanya paham bahasa itu.
Sebulan kemudian kami melakukan kunjungan perpisahan, antara lain pada Sulthan Deli yang memanggil saya,”Putriku”, Permaisuri mendekap saya, seakan-akan saya mash gadis kecil yang dulu sering bermain ke istananya. Sultan dan permaisurinya menjamu kami. Sejak kecil saya sering datang ke istanan, sehingga saya tidak merasa asing di sana. Tidak demikian dengan Mrs. Grey, governess suami saya yang terkesan sekali melihat perhiasan yang dikenakan sultan dan keluarganya. Akhirnya, tibalah saatnya untuk meninggalkan ayah, ibu , adik-adik dan semua yang saya kenal.
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak
keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan
pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata
orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“
menantu barbar
Ketika kami turun dari kapal di Amoy, banyak sekali orang menyambut. Bunyi petasan memekakkan telinga. Saya diapit oleh empat penyambut perempuan yang berpakaian indah. Dalam Congafie1_1perjalanan berulang-ulang mereka mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami. Ternyata saya diminta berjalan perlahan-lahan. Akhirnya saya sadar bahwa kaki mreka kecil karena diikat, sehingga tidak bisa berjalan dengan leluasa.
Saat akan naik ke dalam tandu kepala saya terantuk atapnya. Maklum saya belum pernah naik benda yang diusung manusia itu. Saya dibawa ke sebuah bangunan bergaya Barat untuk menghadap mertua saya. Mertua perempuan saya cantik. Sesudah upacara penghormatan selesai, mertua laki-laki saya bangkit diikuti mertua perempuan dan kami. Kami mesti menurun tangga. Karena melihat kaki ibu mertua saya kecil, saya khawatir ia terjatuh. Secara spontan saya bimbing lengannya Terdengarlah suara terkejut dari kaum perempuan yang menyaksikan adegan ini. Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan jadi saya tetap saja membimbing lengan ibu mertua saya. Ternyata tindakan saya itu dianggap menyalahi tatacara. Mestinya mertua yang menuntun menantu, bukan menantu yang menuntun mertua. Akibatnya, saya disebut barbar.
Ternyata mertua laki laki saya sangat kaya. Ia memiliki enam selir yang melayani pelbagai kebutuhannya.
Perempuan yang Mencurigakan
Pada saat suami saya masih orang asing bagi saya, saya harus hidup dalam lingkungan yang bahasa, kebiasaan dan orang-orangnya tidak saya kenal. Untunglah ibu mertua saya termasuk salah seorang yang paling manis dan paling agung yang pernah saya jumpai dalam hidup ini.
Suatu hari kakak perempuannya datang dari desa. “Menantumu jauh dari cantik, “Kakinya menyeramkan besarnya. Apa betul ia seorang putri barbar ?” Konsepsinya mengenai kecantikan ialah kerempeng seperti pohon Yangliu (Willow), kaki Cuma 7,5 cm panjangnya dan bentuk wajah eperti kuaci. Saya tidak memiliki semuanya.
Mertua saya menanggapi, “Tidak perduli bagaimanapun rupanya dan siapa da, dialah perempuan yang kuhendaki menjadi isteri putraku.”
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“
Pada hari tahun baru, saya satu-satunya orang yang mengenakan pakaian gaya Eropa. Saya merasa canggung, tetapi Mrs. Grey memuji saya dan berkata saya seperti ratu. Sejak hari itu ia memanggil saya Queeny, yang sepadan dengan nama suami saya , King Jin yang selalu dipanggil King.
Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orangtua saya ini, saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada saya seakan akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya. Saya melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan diletakkan di pundah suami saya.
Saya bertanya kepada seorang pelayan tua,”Mui-ah , siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu ?”
“Oh, itu !” jawah Mui-ah dengan sikap jijik. “Tadinya dia pelayan Nyonya besar.” Kata Mui-ah yang polos itu, perempuan itu pernah mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya harus mengendalikan diri. Saya merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam diri saya. Sakit seperti itu belum pernah saya rasakan. Padahal saya tidak mempunyai seorang pun untuk mencurahkan isi hati. Ketika itu saya sedang mengandung.
Ketika hal itu saya tanyakan kepada suami saya, ia menjawab acuh tak acuh,“Semuanya kann sudah lewat. Sekarang ia sudah menikah,“ Luka itu meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang dari hati saya.
Saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Tong tahun 1914. Ayah mertua saya bangga karena pada hari ulangtahunnya yang ke-40 ia sudah mempunyai cucu.
Bertemu calon Raja Karet.
Di Masa yang lalu, anak perempuan yang sudah menikah tidak boleh berkunjung ke rumah orangtuanya, kecuali kalau diundang. Setelah kelahiran Tong, ayah menulis surat kepada besannya, untuk mengundang suami saya dan saya serta bayi kami ke rumahnya di Medan. Mertua saya memberi izin dengan syarat Tong ditinggalkan pada mereka.
Kami pun berlayar ke selatan. Di Pelabuhan, kami dijemput dengan gerbong kereta api milik sultan pribadi. Kendaraan itu pula yang mengantarkan kami pergi dua tahun sebelumnya. Di Medan, masyarakat Hakka dan Hokkian bersama sama menjemput kami, karena ayah mertua saya adalah tokoh masyarakat Hokkian di Cina.
Ketika saya berangkat ke Amoy, tubuh saya termasuk montok Kini saya kembali ke Medan dalam keadaan langsing. Satu setengah bulan berlalu dengan cepat dan saya pun harus kembali ke rumah mertua.
Menjelang musim gugur, kesehatan suami saya mundur. Diperkirakan iklim tropis baik baginya. Jadi kami diperbolehkan pergi ke Medan lagi, asal Tong ditinggalkan di Amoy. Tentu saja ayah senang menerima kami.
Di Kapal, kami berkenalan dengan seseorang bernama Lee Kong Chian yang kami undang untuk berkunjung ke tempat ayah. Suami saya mengajaknya berkeliling meninjau perusahaan-perusahaan ayah, di antaranya ke perkebunan dan ke Deli Bank yang bersaing dengan bank-bank barat. Tampaknya seluruh Medan ini milik ayah mertuamu,“Komentarnya kepada suami saya.“ Kalau melihat semua ini, tidak sulit buat kamu memulai usaha sendiri.“
Suami saya dengan penuh keyakinan berkata,“ Kalau ayah mertua saya bisa, mengapa saya tidak?“ Lee menjawab,“ Mertuamu mulai dari bawah. Ia tahu apa artinya kegigihan, sedangkan kamu lahir sebagai anak orang kaya.“
Ayah menawarkan beasiswa kepada Lee, tetapi ia menolak. Ia lebih suka bekerja di sebuah perusahaan sepatu karet yang besar di Singapura, milik Tan Kak Kee. Ketika suatu hari kami mengunjungin ya di Singapura, ternyata ia tinggal di sebuah kamar sempit yang lembab dan berbau karet. Pulang dari sana, suami saya menghela nafas. “Ah, teman kita yang malang,” katanya. Kami tidak pernah menyangka bahwa kelak Lee Kok Chian akan menjadi raja karet yang termasyhur.
Dianggap membawa rezeki
Kami merayakan tahun baru Imlek di Amoy, kemudian ayah saya genap berdinas 30 tahun pada pemerintah Hindia Belanda dan peristiwa itu akan dirayakan besar-besran. Ketika itu ibu saya baru melahirkan seorang anak laki laki lagi, lee Liong. Artinya adik saya ini lebih muda daripada putera saya.
Tidak lama setelah itu ayah menandatangani kontrak pendirian Batavia bank di Batavia dengan Majoor der Chinezen Khouw Kim An dan Kapitein Lie Tjian Tjoen serta beberapa orang lain. Dari 600 saham, ayah memegang 200 di antaranya. Suami saya dijadikan manajer Deli Bank di Medan dan kami mendapat rumah di daerah elite di Medan. Di rumah baru ini kami bisa berbuat sekehendak hati karena lepas dari pengawasan ibu.
Ketika kami pergi ke Amoy untuk merayakan tahun baru Imlek,suami saya membawa hadiah kerongsang (bros bertatah intan) untuk ibunya. Ibu mertua saya sangat senang. Suami saya kini dipandang tinggi, sebagai seorang yang sudah berpenghasilan. Orang-orang yang dulu menganggap saya barbar, kini berpendapat bahwa saya isteri pembawa rezeki. Walaupun demikian, kami tetap tidak boleh membawa Tong ke Medan.
Bulan November tahun 1919 itu, ibu melahirkan anak ketujuh. Seorang anak laki-laki lagi, Tseong liong, yang biasa kami panggil adek.
Bank Baru Pembawa Petaka
Atas saran beberapa orang suami saya mendirikan bank baru, Kong Siong Bank, saya menganggap tindakan ini tidak sehat, sebab bank baru ini bisa saja mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Deli Bank milik ayah, tempat ia menjadi manajer pelaksana.“Tidak , kedua bank ini akan bekerja sama,“dalih suami saya. Katanya, ia mempunyai orang kepercayaan untuk mengelolanya. Ternyata Kong Siong Bank merosot dari hari ke hari dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Bukan cuma keluarga kami yang menghadapi masalah-masalah dengan generasi mudanya. Putra sulung paman Yong Hian, memang menjadi konsul Republik cina di Mean, tetapi adik-adiknya yang laki-laki seperti Kung We, Kung Lip dan Kung Tat sering membuat heboh dengan cara hidup mereka yang berlebihan. Isteri mereka saling bersaing dalam perhiasan dan pakaian. Sementara mobil-mobil mewah mereka yang selalu baru, memamerkan diri sepanjang jalan jalan kota Medan. Ayah risau dan bahkan sempat sakit karena para kemenakannya ini ada yang mengalami ketekoran dana di Deli Bank. Selain itu mereka membuat orang iri dan menimbulkan celaan serta pergunjingan. Para orang kaya baru ini betul-betul tidak menghormati jerih payah orang tuanya dalam mencari uang dan tidak menghargai warisan.
Bibi Hsi, ibu mereka yang terbiasa tinggal di desa di daratan Cina, sebaliknya hidup hemat dan sederhana sekali di Medan. Ia tidak pernah iri pada kemewahan orang lain, sehingga luput dari celaan.
Kaum muda ini rupanya tidak menginsafi dampak PD I di Eropa terhadap ekonomi dunia. Pada masa itu juga para penjudi profesional dari Penang memperkenalkan judi pei-bin di Medan. Banyak orang tergila-gila pada judi dengan akibat usaha mereka rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.
Ayah merasa sudah Tua.
Tahun 1920 yang penuh gejolak itu ayah dan ibu merayakan pernikahan perak mereka. Ayah tidak mau orang-orang menghamburkan uang untuk hadiah baginya, sehingga perayaan hanya diadakan di antara keluarga. Walaupun sederhana, semua orang gembira. Saya terkenang kembali masa saya masih kecil.
Ayah merasa ia sudah tua. Ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama ibu yang diharapkan akan memberikan penghasilan yang cukup bagi ibu di masa yang akan datang. Walaupun ibu galak, ia tidak serakah. Ia menolak hadiah ini, seperti ia menolak membeli perhiasan seperti yang dipakai isteri rekan rekan ayah dari Jawa.
Ayah memberi sepuluh ruko untuk saya, yang memberi penghasilan hampir seribu gulden sebulan. Dua diantaranya dipakai untuk Kong Siong bank.
Suatu sore awal tahun 1921 ayah memberi tahu ia sudah menerima cetak biru kapal 6000 ton yang dipesannya dari Jepang. Kapal ini bisa dipakai mengangkut penumpang maupun barang. Rencananya ia akan membawa kami ke Eropa dalam perjalanan perdana dan untuk keperluan itu ia sudah belajar berbahasa Inggris.
Hari itu kami berpisah pukul 22.00. Malamnya tiba-tiba saya dibangunkan pesuruh ayah saya.”Non, dipanggil Nyonya besar. Tuan besar tidak enak badan,“kata Amat. Saya gemetar dan segera ikut ke rumah ayah saya. Ayah saya terengah engah di ranjang. Dr. Van Hengel yang memeriksanya berkata,“Anda tidak apa apa, Majoor, cuma terlalu keras bekerja.“Ia meminta ayah untuk beristirahat dan memang ayah tenang kembali.
Keesokan harinya ibu menyuruh saya pergi ke Pangkalan Brandan, untuk berdoa di makam kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Tahu tahu saya disusul ke sana dan diminta segera kembali ke Medan. Saya sangat risau sebab merasa keadaan ayah memburuk. Tiba di depan ruamh, saya sudah melihat kesibukan yang tidak biasanya. Jambul (Kian Liong) berlari menyongsong saya.“ Ayah meninggal, katanya.
Saya bengong memandang Jambul tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. Seseorang membimbing saya masuk ke ruang besar tempat pemujaan arwah nenek moyang. Ayah berbaring mengenakan jubah panjang biru dan jas pendek hitam. Matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya terbuka sedikit seperti ingin mengucapkan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara yang keluar.
Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan menangis.“Bawa dia pergi,“seru seseorang.“Jangan biarkan air mata menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia fana ini.“ Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang berkata,”Dia anak kesayangannya.”
Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.
(Catatan Redaksi: Menurut sumber-sumber lain, diantaranya Leo Suryadinata dalam Prominent Chinese Indonesia, Tjong A Fie bunuh diri akibat resesi, perusahaan perusahaannya mundur dan ia tidak bisa membayar cek sebesar 300.000 gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank. Ketika berita itu tersebar, nasabah Deli Bank berlomba-lomba menarik simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa melihat kenyataan ini, sehingga ia mengakhiri hidupnya sendiri).
Pembagian Warisan
Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah , baik laki laki maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah menunjuk isterinya sebagai satu satunya executive testamentaire dan wali bagi anak anaknya yang masih di bawah umur. Semua harta peninggalannya, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan, dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia meninggal, di Medan dan di SungKow
Keturunannya yang pria menjadi ahli waris yang sah dari yayasan itu, yang tidak bisa dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka akan menerima persentase dar hasil yayasan itu selama hidup. Selain itu ada persentase untuk mengurus rumah keluarga dan untuk amal. Mereka masing-masing akan menerima 150.000 gulden pada saat menikah. Jika salah seorang ahli waris menjadi invalid karena sakit, cacad sejak lahir, atau mengalami gangguan jiwa, yayasan akan menyokongnya selama hidup.
Orang-orang berdatangan dari tempat-tempat jauh seperti Jawa untuk menunjukkan rasa hormat kepada ayah. Sementara itu para pengemis berbaris di jalan, menunggu makanan dibagikan setiap kali suatu upacara selesai dijalankan.
Enam Puluh Tahun Terakhir
Enam puluh tahun telah lewat. Saat itu keluarga Kwet Liong, Lee Liong dan Tseong Liong serta saya sendiri masih tinggal di rumah besar yang didirikan ayah. Umur saya sekarang (Ketika buku ini ditulis 1981,Red) 84 tahun. Bagaimana caranya menceritakan peristiwa-peristiwa selama kurun waktu 60 dalam sebuah bab yang pendek?
Suami saya tidak berbakat menjadi pengusaha seperti yang diinginkannya. Tahun 1926 ketika kami pulang ke Amoy, kedua mertua saya dalam keadaan tidak sehat sehingga dianjurkan berobat ke Swiss. Ayah mertua saya beserta sejumlah pengiringnya dan kami berangkat tanpa ibu mertua saya. Ia diharapkan menyusul setahun kemudian, tetapi keburu meninggal. Enam tahun lamanya kami tinggal di Eropa. Saya mendapat kesempatan belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sebagai satu-satunya orang yang memahami sejumlah bahasa Eropa modern dalam rombongan kami, saya bertindak sebagai penerjemah.
Tahun 1931 kami kembali ke Cina. Selama tiga tahun berikutnya saya menjadi Liaison Offiser menteri luar negeri di Nanking. Di sini saya bertemu dengan Prof. Duivendak, seorang sinolog Belanda yang merasa senang bisa bercakap-cakap dalam bahasanya dengan saya di tempat asing.
Kemudian saya diminta ibu menjadi manajer pelaksana perusahaan kereta api yang didirikan ayah bersama Paman Yong Hian di Swatow. Ketika pecah peang, pemerintah mengharuskan jaringan kereta api dibongkar. Dalam perang itu suami saya dan teman temannya pergi ke Manchuria sedangkan saya mengungsi ke Hongkong lalu Medan. Saya tidak pernah melihat suami saya lagi. Ia meninggal di Manchuria karena kanker paru-paru. Saya bahkan tidak bisa menghadiri pemakamannya.
(Catatan Redaksi: Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny, suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa ke Cina tahun 1931, setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa. Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong berada di Eropa dengan Ny. Tjong A. Fie)
Dalam PD II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun. Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan armada bus di sana. Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.
Selama dua puluh tahun sesudah itu, saya bepergian ke seluruh Indonesia. Kadang-kadang saya menjenguk keluarga mertua saya di Taiwan. Putra saya Tong menjadi warga negara Singapura. Tahun 1970 ia meninggal akibat kanker mulut.
(Menurut Queeny Chang kepada Myra Sidharta, ia memiliki lima cucu dan beberapa buyut. Ia berhubungan baik dengan anak-anak tirinya, terutama dengan anak tiri yang beribu Jepang, yang kini menjadi pelukis terkemuka di Taipei.)
Ibu berumur panjang. Ketika ibu meninggal tahun 1972, umurnya 93 tahun. Adik saya Sze Yin (Nonie), bersama janda Lee Liong dan saya merawatnya sampai ibu dijemput ajal. Betapa terharunya kami ketika masyarakat Medan ternyata menaruh banyak perhatian pada pemakamannya.
Tahun 1974 saya berkunjung ke Eropa lagi dan kenang-kengangan lama kembali lagi pada saat saya melihat tempat-tempat yang saya kenal baik. Sekarang, selain tinggal di Medan, saya melewatkan sebagian besar waktu saya di Brastagi, di sebuah tempat peristirahatan milik Lee Rubber (perusahaan milik Raja Karet Lee Kong Chian – Red).
Desember 1976 saya terbang dari Jakarta ke Penang untuk menghadiri ulang tahun ke 70 Kian Liong. Ia mengajak saya dan sanak keluarga kami berziarah ke Kek Lok Si, sebuah kuil Buddha di Ayer Itam. Kami menyampaikan persembahan pada ayah kami yang patungnya ada di sana bersama patung para penyumbang pertama pendirian kuil itu di akhir abad XIX lalu.
Alangkah terharunya saya mengetahui orang tua kami masih diingat dengan rasa hormat. Ziarah itu menggugah saya untuk menulis buku ini, sebagai peringatan akan ayah saya yang memberi say masa masa paling bahagia dalam hidup saya. Seperti kata penyair word sworth:
“Walaupun tidak ada yang bisa mengembalikan kemegahan rerumputan
Dan semarak bunga-bungaan. Kami tidak akan bersedih hati melainkan akan menemukan kekuatan dari yang tertinggal.“
(Memories of a Nonya, Eastern Universities Press. Sdn. Bhd.)
Catatan Redaksi: Setelah tulisan ini dimuat dalam Majalah Intisari Mei 1982 (Ketika itu Queeny Chang masih hidup), seorang pembaca bernama Amir Hamzah, mantan Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, menanggapinya demikian:
Pikulan Tidak Dilupakan Walaupun Sudah Kaya Raya
Pada Masa Kanak-kanak, saya tinggal di Medan, di daerah yang bernama Gudang Es. Tempat itu tidak jauh dari Istana Sultan Deli, Sultan Ma’mun Al Rasjid Perkasa Alamsjah.
Di tempat itu ada Gang Mantri yang dihuni ayah Sutan Sjahrir yaitu Mangkuto Sutan, Hoffd Djaksa Gubernemen di Medan. Gang Mantri adalah tempat tinggal orang-orang berpangkat tinggi masa itu.
Selain itu, tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Tjong A Fie, hartawan dan sosiawan. Di antara sekian banyak orang yang dibantunya mendirikan surau, ternyata seorang ulama besar dari Bukit tinggi, Sjekh Mohamad Djamil Djambek dan paman saya yang mendirikan surau bertingkat di Matur, Bukittinggi.
Tjong A Fie mempunya cara menolong orang-orang yang akan pindah. Biasanya mereka melelang perabot rumah tangganya. Tjong A Fie akan menyuruh anak buahnya membeli perabot satu ruang penuh dengan harga mahal sekali. Sesudah dibayar perabot itu ditinggalkan begitu saja sehingga bisa dilelang sekali lagi.
Pada suatu hari di tahun 1921, ketika saya berumur 6 tahun, teman teman sepermainan berteriak:teriak:”Tjong A Fie mati! Tjong A Fie mati!” Kamis segera pergi ke rumah Tjong A Fie yang besar itu di Kesawan. Di muka rumah kami lihat bendera pelbagai ragam dan kertas-kertas perak bertaburan, sementara beratus ratus orang datang.
Di Muka rumah Tjong A Fie itu, kalau tidak salah pada sebuah toko, terpampang lukisannya dalam ukuran besar sekali. Kami melihat berpuluh puluh orang Cina miskin berjongkok di seberang rumah sosiawan itu, menantikan sedekah.
Kami anak-anak kecil menerobos saja masuk. Kalau saya tidak ingat, dekat peti jenazah ditaruh sebuah pikulan dagang. Konon itu pikulan yang dipakainya menjajakan barang ke sana kemari sebelum ia kaya raya
Ketika sampai 1953 saya menjadi Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya, saya bergaul dengan keluarga Tjong A Fie. Salah seorang diantaranya biasa disebut Zus A Foek. Ia sangat fasih berbahasa Hakka, Hokkian, Belanda , Inggris, Jerman , Prancis maupun Indonesia. Ia tidak lain daripada Queeny Chang penulis buku Memories of a Nonya.
Suatu hari, ketika kami diundang ke rumah mreka, di sana kami mendengarkan dr. Djulham dari Binjai memainkan biola. Putri dr. Djulham adalah Trisuri Juliati Kamal yang sekarang menjadi pemain piano terkenal dan tinggal di jakarta. Itulah kenang-kenangan yang saya peroleh dengan keluarga Tjong A. Fie.