Dua
orang sahabat sedang berjalan di padang pasir. Selama dalam perjalanan
mereka berdebat tentang sesuatu. Salah seorang dari kedua sahabat itu
menampar temannya, dan yang ditampar itu merasa sakit tetapi dia tak
berkata apa apa, hanya menulis diatas tanah : "HARI INI TEMAN BAIKKU
MENAMPARKU"
Mereka tetap berjalan sampai mereka menemukan sebuah oasis (sumber
air), mereka sepakat untuk mandi, teman yang telah ditampar tergelincir
dan hampir saja tenggelam di oasis tersebut, tetapi temannya datang dan
menolongnya, dan setelah diselamatkan oleh temannya dari bahaya, dia
menulis di Batu "HARI INI TEMAN BAIKKU MENYELAMATKAN NYAWAKU"
Teman yang telah menampar dan yang telah menyelamatkan nyawa teman
baiknya itu bertanya kepadanya, "Setelah saya menyakitimu, kamu
menulisnya di tanah dan sekarang, kamu menulisnya diatas batu, mengapa?
Temannyapun menjawab : "Ketika seseorang menyakiti kita, kita harus
menulisnya diatas tanah, agar angin dapat menerbangkannya dan dapat
menghapusnya sehingga dapat termaafkan. Tetapi ketika seseorang
melakukan sesuatu yang baik kepada kita, kita harus mengukirnya diatas
batu dimana tak ada angin yang dapat menghapusnya"
"Tulislah sakit hatimu di atas tanah, dan Ukirlah kebaikan dia atas batu"
Mengaet pesinden
Pesta meriah di kabupaten Pekalongan semakin semarak karena kehadiran
seorang pesinden tenar bernama Mas Ajeng Gundjing. M.A. Gundjing itu
sebenarnya putri seorang mamtancamat. Kenapa ia menjadi pesinden? konom
semasa kecil ia pernah sakit parah,sehingga hampir tidak tertolong.
Dalam keadaan sulit itu, orang tua untuk bernadar. Kalau anak ini
sembuh,kelak ia akan belajar menjadi pesinden.
Gundjing sembuh dan tumbuh menjadi gadis cantik yang pandai menari
dan melagukan tembang denganmerdu, sampai tidak ada tandingannya di
Pekalongan. OeyTambahsia si matakeranjang segera jatuh hati pada biduan
jelita itu.berbagai cara ditempuhnya untuk mendekati dan memikat
pesinden itu. Ternyata Tambahsia berhasil. Gundjing menerima uluran
tangannya.sebelum pestadi kabupaten resmi usai dan Tambahsia pulang,
pesinden itu sudah diboyong ke cirebon lalu dibawa ke Betawi oleh
kaki-tangan Tambahsia. Di Betawi Gundjing ditempatkan di pasangrahan
Ancol, yang membuat penghuni lama merasa kurang senang.
Baru seminggu di Bintang Mas, Gundjing jatuh sakit. Entah karena
Ancol yang kurang sehat atau karena tidak tahan menhadapi sikap para
penghuni lama. Melihat Gundjingsakit, buru-buru Tambahsia memindahkannya
ke Tangerang, ke tanah Psar Baru milknya. Tambahsia pribadi mengawasi
perawatannya sampai pesinden itu sembuh, sehingga praktis Tambahsia
lebih banyak berada di Tangerang ketimbang di tempat lain.
Betapapun cintanyaTambahsia kepada Gundjing, ia tetap tidak bisa
meninggalkan kebiasaan buruknya untuk berburu gadis, janda maupun istri
orang lain. Pemuka masyarakat Cina dan anggota Dewan Cina tidak mampu
menertibkannya. Diam-diam mereka memendam dendam dan yakin suatu ketika
Oey Tambahsia akan ketemu Batunya. Sementara itu Tambahsia sendiri
semakintakabur, sebab merasa tidak ada kekuatan yang mampu mengekangnya.
Mata gelap
Ketika berkunjung ke pekalongan itu, Tambahsia berkenalan dengan anak
letnan Cina di kota itu. Pemuda bernama Liem Soe king itu pindah ke
Betawi untuk membangun kehidupannya. Agaknya ayahnya tidak meninggalkan
warisanbesar, sehingga ia tidak bisa hidup tanpa bekerja. Ia pandai dan
rajin, sehingga dipungut mantu oleh Mayor Tan Eng Goan, yaitu dinikahkan
dengan salah seorang putrinya dari selir.
Berkat koneksi mertua, ia diangkat menjadi pengelola gabungan
pemborong (pachter) madat, yangmerupakan usaha gabungan lima orang
Pemuka Cina, termasuk Tan Eng Goan. Pada masa itu pemerintah Hindia
Belanda memonopoli semua pembuatan dan perdagangan madat (apium) dan
penjualannya kepada konsumen diserahkan kepada para pachter.
Sekalipun pernah berkenalan di Pekalongan, Liem Soe King tidak
bergaul dengan Oey Tambahsia, sebab Liem lebih dekat dengan para pemuka
Cina yang bermusuhan dengan Tambahsia, di samping kedudukannya sebagai
menantu Tan Eng Goan. Pada suatu ketika, Tambahsia mendengar dari
kaki-tangannya bahwa seorang perempuan kerabatnya jatuh hati kepada
Liem. Pendekatan entardengan cara apa, ternyata tidak ditanggapi oleh
Liem. Oey Tambahsia menganggap hal ini sebagai penghinaan dan aib besar
bagi keluarganya. Mungkin juga Oey sudah lama tidak suka kepada Liem
yang dianggap antek para pemuka Cina dan Oey merasa tidak di pandang,
karena Liem tidak datang kepadanya untuk melanjutkan perkenalan mereka
di Pekalongan. Boleh jadi juga dendamnya dikobarkan oleh para antek dan
penjilat yang selalu mengelilinginya.
Maka Oey Tambahsia bertekad untuk menyingkirkan Liem Soe King.
Ternyata hal itu tidak mudah ia menyingkirkan korban-korbannya yang
lain. Liem Soe King selalu di kawal ke mana pun ia pergi. Lagi pula ia
sudah mendengar ancaman Tambahsia sehingga selalu waspada. Tambahsia
bertambah geram karena anak nuahnya tidak berdaya melenyapkan orang yang
dibencinya. Maka timbullah muslihat kej di benaknya.
Rencana keji
Oey Tambahsia menggodok rencananya masak-masak. Ia menyuruh
kokinyamenbuat kue yang harus diisi dengan roomvla (seperti isi kue sus,
rasanya manis).Kue itu disuruhnya hidangkan di atas piring dan ditaruh
di kamar Tambahsia.Roomvla-nya tidak diisikan dulu. Lalu Tanbahsia
mengambil racun dan dicampurnya dengan roomvla. Ia memerintah seseorang
memanggil seorang begundalnya yang bernama Oey Tjoen Kie (Tjeng Kie).
Antek yang biasa disuruh mencarikan perempuan itu bergegas ke rumah
majikannya. Didapatkan Tambahsia sedang tidur-tiduran sambil menghisap
madat. Tambahsia mempersilakan Tjoen Kie iktu mengisap. Tawaran itu
diterima dengan senang hati.Setelah bersama-sama meneguk teh panas,
Tjoen Kie merasa lapar dan makan kue-kue di piring tanap dipersilakan
lagi. Dengan mata setengah terpejam Tambahsia melihat Tjoen Kie melahap
dau buah kue.
“Kamu makan kue itu, Kie?”tanya Tambahsia.
“ya, Sia. Maaf, habis saya lapar…”jawab Tjoen kie takut kena marah.
“wah,celaka!”seru Tambahsia pura-pura terkejut.”Kamu bakal mati, sebab kue iu beracun!”
Tjoen Kie lega karena tidak dimarahi. ia tenang-tenang saja sebab mengira majikannya bergurau.
“Jangan main-main ah, Sia.”katanya
“Betul!”kata Tambahsia sambil bangkit.”Sungguh kamu bakal mati. tapi
jangan khawatir. aku akan mengurus segalanya dan akan menjamin hidup
keluargamu kalau kamu mau menuruti kehendakku.”
Tjoen Kie masih mengira majikannya bercanda. Mustahil Tambahsia
sekeji itu?Namun kemudian ia merasa perutnya sakit. Ia terus menerus
mereguk teh dengan harapan sakitnya berkurang, tetapi ternyata
bertambah. Ketika sakitnya sudah tidak tertahankan lagi ia
berteriak-teriak dan melupakan hubungannya denganmajikannya.Ia
memaki-maki Tambahsia sebagai orang kejam dan jahat. Ia menanyakan apa
alasannya sampai ia disingkirkan dengan cara sekejam itu.
OeyTambahsia menghiburnya seraya berkata, mati pun Tjoen Kie tidak
sia-sia,sebab ada tujuannya, Lalu ia menbujuk begundalnya itu agar mau
memberikan keterangan tertulis bahwa yang memberi racun itu … Liem Soe
King.
keadaan Tjoen Kie makin lama makin parah sampai akhinya rupanya ia
tidak berdaya lagi melawan kehendak majikannya. Atau mungkinkan
iamanusia berjiwa budak yang tidak bisa berpikir lain, sehingga setuju
saja dibuatkan keterangan tertulis di muka notaris yang dipanggil oleh
Tambahsia dan disaksikan oleh polisi dan pejabat lain?Menurut pengakuan
yang didiktekan oleh Tambah itu, Tjoen Kie disurh menagih utang kepada
Liem, tetapi tidak dibayar. Sebaliknya ia persilakan duduk dan diberi
minuman. Ketika perutnya mulai sakit, ia melapor kepada Tambahsia.
Tidak lama setelah menandatangani pernyataan itu Tjoen Kie meninggal.
Mayatnya dibawa ke Stadsverband (rumah sakit) di Glodok untuk
diperiksa. Sementara itu Tambahsia mengirimkan peti jenazah dan
pelengkapan lain ke rumah keluarga mendiang di jembatan Lima. Polisi
membuat prose verbal lalu mencari Liem Soe King yang dituduh membunuh
Oey Tjoen Kie.
Dirumah Liem Soe King, polisi mendapat keterangan bahwa Liem sudah
empat hari tidak pulang. Diduga ia sedang sibuk main judi di rumah
prkumpulannya.
Tamu dari Pekalongan
Sementara itu di tempat lain berlangsung sebuah lakon lain. Seorang
laki-laki muda berpakaian seperti priyayi Jawa, suatu hari berkunjung ke
rumah Oey Tambahsia. Ia mengaku bernama Mas Sutedjo, datang dari
Pekalongan untuk mencari adiknya, M.Am Gundjing. Seingat Tambahsia,
Gundjing tidak pernah menyebut-nyebut mempunyai kakau laki-laki.
Meskipun agak kurang senang dan bercuriga terhadap lelaki tampan itu, ia
menyuruh tamunya itu diantarkan ke kampung Pasar Baru di Tangerang.
Mas Sutedjo disambut hangat oleh M.A.Gundjing, sebagia layaknya
saudara yang lama tidak bertemu dan datang dari jauh. Masa itu
perjalanan Pekalongan – Jakarta harus ditempuh selama beberapa hari
dengan kereta pos yang diterik kuda. Karena itu wajar saja kalau
Gundjing menawari kakaknya tinggal lebih lama di Tangerang, sebelum
kembali ke Pekalongan. Mas Sutedjo tampaknya cukup betah tinggal di
rumah besar yang di keliling oleh kebun yang luas, dengan staf pelayan
yang siap melayani segala keperluannya. Ia tinggal lebih lama dari
rencana semula karena mingkin belum cukup melepaskan rindunya kepada
adiknya tercinta.
Selain menyanyi dan menari, Gundjing juga pandai membatik, yang
dilakukannya pada waktu laungnya. Sutedjo dihadiahnya sehelai kain batik
halusnya sebagai kenang-kenangan. Pakaian itu langsung dikenakanoleh
Sutedjo.
Sementara itu, mat-mata di kalangan staf pelayan di kampung Pasar
Baru melaporkan hal-hal yang bukan didasarkan pada fakta, tetapi
semata-mata pada prasangka. Kecurigaan Tambahsia semakin memperkuat rasa
cemburunya. Apalagi melihat hubungan akrab pria ganteng dengan
perempuan cantik yang umurnya tidak berjauhan itu.
Mas sutedjo
Trebakar oleh api cemburu buta, Tambahsia menyuruh tukang pukulnya,
Piun dan Sura, untuk menyingkirkan lelaki tampan dari Pekalongan itu.
Kedua jawara bayaran yang sudah berpengalaman itu melaksanakan perintah
dengan cepat dan rapi. Malam itu juga Mas Sutedjo tidak pulang ke wisma
Pasar Baru dan tidak seorang pun memberitahukan kepada adiknya ke mana
perginya laki-laki malang itu. Ia menjadi korban kesekian dari Tambahsia
yang kejam.
Cuma saja si Piun membuat kesalahan besar. Melihat kain batik tulis
yang dikenakan korbannya, terbit sifat tamaknya. Ia mengambilnya,
padahal Sura mengingatkan agar kain itu dibuang saja.
Sementara itu Liem Soe King berhasil ditemukan di salah sebuah rumah
judi di Meester Cornelis (jatinegara) oleh orang-orang suruhan
mertuanya. Liem sangat terkejut oleh tuduhan yang ditimpakan kepadanya
Ia segera menghadap mertua, memberitahukan bahwa ia tahu-menahu perkara
pembunuhan itu. setelah itu ia langsung melapor ke polisi.
Karena menurut bukti-bukti tertulis Liem terlibat peracunan, polisi
terpaksa menahannya, sementera mereka mengumpulkan bukti-bukti dan
saksi-saksi lain untuk menyusun berkas perkara. Mayor Tan Eng Goan tentu
saja tidak tinggal diam. ia berusaha menyelamatkan menantunya. ia
mendapat keterangan bahwa Liem tidak berada di tempat kejadian saat
peristiwa peracunan itu. Liem memiliki alibi kuat yang didukung empat
saksi. Ternyata kegemarannya berjudi menyelamatkannya dari perangkap Oey
Tambahsia.
Empat orang kawan mainnya di rumah judi, salah seorang diantaranya
jaksa dari bekasi, membuat pernyataan di bawah sumpah . karena itu ,
polisi yang tidak yakin dengan kesalahan Liem, mengeluarkannya dari
tahanan.
Rahasia kue beracun
Dirumahnya, secara kebetulan Liem mendengar salah seorang pembantu
rumah tangganya, Jiran, bercerita, Kata Jiran, Kakak perempuannya
bekerja sebagai juru masak di rumah Oey Tambahsia. memergoki majikannya
sedang memasukkan bubuk ke dalam kue yang disimpan di kamar tidur. Liem
sangat tertarik pada cerita itu dan menyuruh Jiran agar memanggil
kakaknya.
Dari juru Masak itu, Liem mendengar Tambahsia menyuruh membuat kue
yang memakai roomvla, tetapi roomvla itu tidak langsung dimasukkan ke
kue. Sang juru masakan melihat majikannya di dalam kamar tidur.
Liem bergegas melaporkan keterangan ini kepada Asisten Residen
Keuchenius yan bertugas menangani perkara-perkara kepolisian. Keuchenius
tentu saja tidak mau menelan begitu saja keterangan ini, tetapi meninta
bukti. Liem menyarankan agar rumah Oey Tambahsia digeledah. Siapa tahu
roomvla beracun masih bisa ditemukan.
pegrebekan dilakukan keesokan hairnya saat masih pagi sekali.
Pasukaan polisi dipimpin oleh asisten residen sendiri. Ternyata Oey
tambahsia sedang tidak berada di rumah, tetapi sisa kue masih ada, juga
semangkuk roomvla di kolong ranjang. mungkin Tambahsia begitu yajin
tidak akan pernah dituduh melakukan peracunan, sehingga lalai
menyingkirkan barang bukti ini. Menurut pemeriksaan polisi, racun dalam
roomvla itu sama dengan yang ditemukan dalam jenazah eoy Tjoen kie.
Di arena adu jago
Liem terus berusah mengumpulkan bukti kejahatan Tambahsia. dengan
bergegas ia pergi ke Tangerang. Di sana ia berhasil membujuk M.A.
Gundjing untuk bersedia menjadi saksi dalam perkara hilangnya kakak
kandungnya. Di depan Asisten residen, Gundjing mengungkapkan
kecurigaannya terhadap Piun yang secara sembrono mengenakan kain batik
tulis milik kakaknya yang hilang.
Polisi menginterogasi Piun dan jawaraitu terpaksa mengaku bahwa atas
perintah majikannya, bersama Sura ia membunuh Mas Sutedjo dan
menguburkan jenazah korbannya di kebun tebu, dalam lingkungan tanah
milik Oey Tambahsia.
Polisi mencari Oey Tambahsia yang tidak ada di rumahnya. Di Bintang
Mas, Ancol, pria kaya itu pun tidak kelihatan bayangannya. Ternyata
sejak pagi ia sudah berangkat ke Pasar Asem(daerah pecenongan?). Polisi
menemukannya di arena penyabungan ayam. Para petaruh gempar, karena
mengira polisi menggrebek tempat taruhan gelap itu.
Petugas menghampiri Oey Tambahsia. Ia sangat terperanjat, tetapi yaki
uangnya akan menyelamatkannya. ia menyadari bahwa ia dikenakan tuduhkan
berat, bukan sekadar bersengketa dengan Tan Eng Goan.
Tongkat bertombol emas
Tempat tahanan Oey Tambahsia dijaga ketat, langsung di bawah
pengawasan schout(sekaut,kepala polisi). Oey mencoba menyuap seorang
polisi agar menyampai pesan kepada adik kandungnya. Opas itu disuruhnya
membawa tongkatnya yang tombol emas kepada adiknya di rumah, tetapi
ditangkap ketika akan memasuki rumah Oey Makau di Patekoan.
Polisi memeriksa tongkat itu. Ternyata didalam tombolnya terdapat
kertas yang memuat pesan agar Makaumenyuruh Piun dan Sura kabur
secepatnya. Kesaksian mereka bisa memberatkan perkaranya. Surat itu
kelak malah menjadi buktiyang memberatkan di sidang pengadilan.
Di sidang pengadilan, Tambahsia terus menyangkal semua tudahan,
walaupun tuduhan jaksa di dukung oleh saksi-saksi dan bukti-bukti yang
meyakinkan. keluarga Oey meminta jasa seorang pengacara terkenal masa
itu, yaitu Mr.B. Bakker yang mendapat honor tinggi di samping hadiah
seratus gulden kalau ia berhasil menyelamatkan Oey Tambahsia.
Betapa pandainya pun Mr. bakker, ia tidak bisa membantah bukti yang
diajukan penuntut umum. akhirnya, hakim ketua mejatuhkan hukum mati di
tiang gantungan kepada Oey Tambahsia. Mr. Bakker mengajukan naik
banding. Mahkamah Agung meneliti lagi perkara itu dan membenarkan serta
memperkuat keputusan pengadilan sebelumnya. Harapan satu-satunya
hanyalah meminta grasi kepada gubernur jenderal. setelah lama menunggu.
tibalah surat ketetapan yang menyatakan pejabat tinggi itu menolak
permohonan pengampunan Oey Tambah.
pada hari yang ditentukan untuk pelaksanaan hukuman matinya,Oey
Tambahsia menaiki mimbar tempat tiang gantungan dengan sikap tenang.
Dandanannya rapi. Ia mengenakan baju Cina dan celana putih. Wajah
berseri. bersamanya digantung pula Puin dan Sura.
Maka berakhirlah riwayat Oey Tambah yang menggemparkan seluruh
lapisan masyarakat Betawi dan menjadi buah bibirsampai lama. Kasihnya
ditulis menjadi buku atau syair. Waktu menemui ajal di taing gantungan
itu tambah baru berumur 31 tahun.
Yue
Yue bocah yang berusia 2 tahun menjadi korban tabrak lari di pasar
grosir di China selatan kemungkinan akan tetap dalam keadaan koma,
menurut dokter senior di rumah sakit yang merawatnya.
Qu fei fei, ibu Yue Yue, dalam penderitaan emosional berbicara
tentang anaknya yang telah dinyatakan mati otak. Dia mengatakan kepada
anak perempuannya: “Jangan menyerah , ibu tidak menyerah untuk
menyembuhkanmu, biarkan ibu memiliki satu kesempatan lagi untuk
mencintai dan memanjakan Anda ”
Kejadian ini membangkitkan kemarahan orang-orang di China dan di
seluruh dunia pada hari Selasa (18/10), menimbulkan tanda tanya besar
apakah keajaiban ekonomi China telah membuat hilangnya moral dalam
kebangkitannya.
Yue Yue dibiarkan tergeletak di jalan oleh 18 orang yang lewat
setelah akhirnya ditolong dan diselamatkan oleh orang ke-19 kini tetap
dalam kondisi kritis di unit perawatan intensif rumah sakit militer
Guangzhou jantung industri Guangdong China.
Kepala bedah saraf rumah sakit, dikutip oleh surat kabar harian lokal
Guangzhou, mengatakan bahwa Yue Yue menderita cedera parah di kepala
dan sedang koma, hanya mampu bernapas dengan bantuan ventilator.
Wang Weiming, kepala departemen bedah saraf di rumah sakit militer
Guangzhou, mengatakan Yue Yue menunjukkan tidak ada gejala perbaikan dan
sangat tidak mungkin untuk memulihkan kemampuan mentalnya.
“Pasien in masuk kriteria kematian otak,” tambahnya, “tapi tubuhnya
relatif masih memiliki refleks nyeri, sehingga dia tidak dapat
dinyatakan sebagai mati otak.”
Orang tua gadis itu, yang memiliki sebuah kios kecil di pasar grosir
dekat Foshan, di mana insiden itu terjadi, berjaga bergantian di samping
tempat tidur putri mereka, dengan harapan bahwa ia bisa sembuh.
Ibu gadis itu, bernama Nyonya Qu, mengatakan ia pindah ke Foshan pada
tahun 2003 untuk memulai usaha dan menyewa apartemen disana.
Pasangan kelas menengah ini mengatakan mereka telah dibanjiri
panggilan dukungan dan menawarkan sumbangan untuk perawatan medis putri
mereka, tetapi ia menolak tawaran, mengatakan mereka “sangat menghargai”
tapi tidak diperlukan.
Orang tua Yue Yue menghindar menyuarakan perasaan mereka atas insiden
itu, mengatakan mereka hanya ingin fokus pada pemulihan Yue Yue, tetapi
kakeknya,Tuan Wang mengaku dalam surat kabar setempat bahwa dia
“membenci orang berdarah dingin yang lewat.”
Ia menambahkan bahwa ia mengenal setidaknya satu orang yang lewat
tersebut. “Saya ingin memukulnya, tapi akhirnya saya menahan diri,”
katanya seperti dikutip di harian Southern Metropolis.
Kisah Yue Yue menyentuh kemarahan jutaan orang di China dan di seluruh dunia.
Di China, laporan video insiden itu tonton lebih dari 2 juta orang di
internet dalam waktu 24 jam dan pada Sina Weibo (versi Twitter China)
menarik 4,4 juta komentar pada periode yang sama, diselenggarakan di
bawah slogan “akhiri sikap berdarah dingin.”
Dengan cerita tadi malam tampaknya telah memicu kampanye nasional
pada Sina Weibo dibawah spanduk “Tolong Hentikan Apatisme” yang
merupakan topik panas nomor satu, dengan ribuan posting menyerukan untuk
kembali ke kesadaran moral di China.
“Tragedi Yue Yue tidak boleh terulang, moralitas seharusnya tidak
hilang, kita harus memiliki hati nurani. Mulai hari ini, tawarkan
bantuan untuk mereka yang membutuhkan anda, karena merawat orang lain
adalah membantu diri sendiri,” kata panggilan untuk perubahan itu.
Diskusi publik bahkan mencapai halaman Harian Rakyat, corong Partai
Komunis China yang biasanya tetap menjaga jarak dari perdebatan massal
yang mencuat di papan diskusi internet China.
“Meskipun menyelamatkan orang selalu membawa ‘masalah,’ namun,
mengabaikan orang sekarat atau bahkan membantu tindakan jahat dengan
kelalaian adalah merobek dasar etika masyarakat dan melunturkan rasa
belas kasih yang mendalam dalam jiwa masyarakat,” tulis kolumnis senior,
Li Hongbing.
Orang yang mendapat pujian dunia karena menyelamatkan Yue Yue adalah
Chen Xianmei (58) yang dikatakan bekerja sebagai pembantu di siang hari
dan menambah penghasilan dengan mengumpulkan sampah untuk daur ulang
pada malam hari.
Orang tua Yue Yue yang difoto bertemu wanita itu, membungkuk ‘hormat’
– sebuah ekspresi publik untuk berterima kasih bahwa dia telah berhenti
untuk membantu putri mereka ketika begitu banyak orang berjalan
mengabaikannya.
Wanita itu berkata dia tidak berpikir tentang risiko penuntutan
berbahaya ketika dia turun tangan untuk membantu Yue Yue – alasan yang
beredar secara luas di China mengapa 18 orang lainnya tidak berhenti
untuk menolong.
Dia mengatakan kepada wartawan ia telah menemukan Yue Yue dengan satu
mata tertutup dan satu mata lainnya terbuka menatapnya dan bergegas
mencari ibunya. “Saya tidak berpikir saya mendapatkan masalah apapun
saya tidak berpikir begitu banyak. Saya hanya ingin menolongnya,”
katanya, sebelum kembali bekerja.
Tersangka yang melindas Yue Yue telah ditangkap, namun mengaku tidak
melihat gadis kecil di jalan ‘gelap’. Dan menawarkan sejumlah uang
sebelum di tangkap. Namum ditolak oleh Ayah Yue-Yue.
KISAH
INI ADALAH KISAH NYATA PUTRI SANG RAJA GULA YANG IA TULIS DALAM
BUKUNYA” TAK ADA PESTA YANG TAK BERAKHIR” . CUKUP MENARIK UNTUK DISIMAK
DAN SEMOGA MEMBERIKAN ANDA ILHAM DALAM KEHIDUPAN..
OEI TIONG HAM ORANG TERKAYA DI ASIA TENGGARA
Oei Tiong Ham, yang dijuluki Raja Gula dari Semarang pernah jadi
orang terkaya di Asia Tenggara. Ia juga berdagang candu. Berlainan
dengan Tjong A Fie, ia tidak dikenal sebagai dermawan. Sekitar tiga
dasawarsa yang lalu, putrinya Oei Hui Lan, bersama Isabella Taves,
menulis memoar yang diterbitkan di Amerika Serikat. Dari buku berjudul
No Feast Last Forever itu kita bisa tahu perihal kehidupan mereka, yang
bisa membeli apa saja dengan uang mereka yang berlimpah. Namun apakah
mereka berbahagia ?
Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei Hui Lan, putri Oei
Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan oran terkaya di Asia
Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya mempunyai dua orang
anak, kedua duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan, sepuluh tahun lebih
tua dari saya. Ayah masih mempunyai 42 anak dari 18 gundik. Bagi orang
Cina, anak gundik pun dianggap sebagai anak sah.
Saya duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak laki
laki yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya.
Kelingking bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking
bengkong. Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai
anaknya, sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.
Wajah Kakek dianggap membawa Rezeki
Kakek saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina. Pada
masa mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan
seperti Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan
gemuk.
Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah
Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah
berlayar berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa
membawa uang sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di
tempat asing yang bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya
bisa menawarkan tenaga mudanya.
Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang kandas di
lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur
menggeletak di lantai papan. Pada suatu malam, pemilik gubuk bambu itu
melihat pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu
dianggapnya membawa rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak
anak perempuan. Pemuda itu dibangunkannya untuk dilamar menjadi
menantunya. Oei Tjie sien mau saja. Calon istrinya baru berumur 15
tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut.
Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu bekerja keras
membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang seorang meninggal
saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie Sien keluar
masuk kampung memikul barang kelontong. Kadangkadang dari kampung ia
membawa beras untuk dijual di kota.
Lama kelamaan , ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya uang ke
Cina untuk membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina,
sekalian memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang
tuanya. Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia
lahir 19 November 1866.
Potong Kuncir Lalu ke Eropa
Kakek berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan makamnya
pun ada di pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina dan
disebut singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan
Hokkian saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma
bisa mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina.
Karyawannya semua orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.
Nenek saya tidak pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara
pembersihan makam keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang
kadang mengisap pipa air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan
dengan nenek saya dari pihak ibu.
Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun Oei Tjie Sein.
Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut Kian gwan
kongsi. Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi kalau
menyuruh pelayan umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu
berbicara dengan ayah umpamanya, ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah
juga kemudian memilih anam Tai gawan.
Menjelang lanjut usia, kakek lebih banyak berada di rumah
peristirahatannya di luar kota, ketimbang di rumah lamanya di pecinan,
walaupun kantornya tetap disana. Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang
ditempatkan di rumah peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah
seorang perempuan cina yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti
porselin dan rambutnya hitam lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya
terurai mencapai mata kaki. Kakek lekas bosan kepadanya. Perempuan itu
ditempatkannya di sebuah rumah kecil di lahan kakek yang luas itu.
Makanan dan pakaiannya dicukupi. Keluarganya boleh menjenguk sekali
sekali. Namun apalah artinya kalau kakek tidak pernah mengunjunginya.
Saya heran perempuan muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi gila.
Di rumah utama, kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling
dikasihinya. Perempuan itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia
bertelanjang kaki, mengenakan sarung dan tidak bisa berbahasa Cina.
Mereka memiliki dua orang anak yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak
pernah melihatnya, sebab ketika kakek meninggal ayah memberikan uang
dan menyuruhnya pergi bersama anak anaknya, yang tidak diakui ayah
sebagai saudaranya. Gundik kakek yang cantik dinikahkan dengan seorang
karyawan ayah.
Nenek tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya. Walaupun
nenek ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan
mausoleum untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal
lebih dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10
juta gulden atau kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu,
jumlah itu besar sekali.
Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta kakek menyerahkan
rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih suka menjadi seniman
daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan mendapat warisan juga.
Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong orang orang bermarga Oei
yang memerlukan bantuan.
Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami dan
kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang
pertama dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa
Belanda untuk memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa
untuk perama kalinya. Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35
hari. Bagi kakek, dunia ini cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.
Janda Yang Baik Hati
Sebelum ayah mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu
kakek. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu
hari, setelah berhasil menggantungi 10,000 gulden, ia lewat ke tempat
perjudian dan tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Uang
bawaannya amblas.
Keluar dari rumah perjudian, baru ia insaf apa akibat kekalahannya di
meja jugi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan ayahnya
karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan
hanya tidak suka pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah
merasa dirinya hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun
ia ingin mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang
Janda. Janda itu mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000
gulden. Akhirnya, ayah mau juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak
pernah dilupakan ayah. Ia bukan cuma mengembalikan uang itu, tetapi juga
menjamin hidup janda yang menyelamatkan nyawanya itu.
Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi ayah
karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel
dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima
puluh kali lebih kaya daripada ayah.“Hal itu memang terlaksana.
Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali seorang
Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli
rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau
menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti
kehilangan gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang
diketahuinya akan mewarisi rumah dan tanah itu.
Saya akan memberi Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan
sekehendak hati,“usul orang Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya
tidak akan mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau
lebih, berikanlah rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur
hidup.
Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik berada
ditangannya. Karena itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang
kepandaiannya sedang sedang saja tetapi rezekinya besar daripada
memperkerjakan orang yang pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain
mengandalkan hoki, tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan
memanfaatkannya.
Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk
berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh
bekas konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000. Ayah segera
setuju, tetapi tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir
ayahnya menjadi kaya berkat beras. Jawa memang cocok ditanami padi,
sementara itu tenaga kerja dan lahan murah. Tebu juga terbukti cocok
ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan luas untuk ditanami
tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa, tetapi ayah sudah
mendengarnya,. Ia mendatangkan ahli ahli dari Jerman untuk memberi
nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan
mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin mesin dan lewat mantan
konsul ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke Eropa untuk belajar
menjalankan mesin mesin itu dan membetulkannya.
Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka
terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti hentinya
menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal hal
yang baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat
aliran lsitrik lebih dulu daripada kediamannya.
Ayah berkata kepada saya,”Jangan mau jadi orang biasa biasa saja.
Kita mesti menjadi orang nomor satu.” Kemudian ayah melebarkan sayapnya
ke luar negeri dan ke bidang bidang lainnya seperti kopra. Sekali ia
menunjukkan kepada saya perkebunan kopranya di luar kota Singapura. Saya
berseru kagum ketika melihat tanaman indah itu. Ayah berkata,”Orang
lain melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak
perawatan, tetapi mendatangkan banyak uang.”
Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi terutama
oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang ia
geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga
memiliki kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.
Membuka Perwakilan di Wallstreet
Pada kunjungan kami yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor
perjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah
memperkerjakan seorang Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil
Pietro. Ayah mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra,
dan tepung kanji. Ayah yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris,
maupun Perancis itu kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.
Asal Muasal ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika seorang
pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi
terus. Ayah menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu
diperbaikinya dan dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian
ia sudah menjual 1,5 juta ton tapioka ke Asia Timur laut.
Ketika kakek meninggal, ayah menerima warisan rumah mantan konsul
jerman itu. Sebetulnya ayah bisa membayar kembali uang pinjamannya
beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya.
Bandul intan 80 karat
Ketika ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan
Majoor der Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan
perjalanan perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para
sekretarisnya.,”Belikan dia semua yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa
untuk diistimewakan, untuk menyimpang dari peraturan yang berlaku dan
untuk mengharapkan semua orang tahu bahwa saya anak ayah yang berkuasa.
Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka seindah
kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya
bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh
detail. Di kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per
dan kasur. Dalam lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka
saya. Di dapurnya ada panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.
Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa,
beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu
membawa hadiah untuk saya spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua,
boneka atau apasaja.
Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan 80
karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu
saja menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak
perduli. Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada
saya luka akibat intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini
ditulis. Intan itu masih saya miliki, tersimpan di sebuah bank di
London.
Jago Menyogok, tapi pantang disogok.
8711_smallKetika masih kecil, saya pernah ikut ayah ke Penang. Kakak
saya Tjong Lan tidak dekat dengan ayah. Ia bahkan takut. Di Penang,s aya
tinggal di kapal saat ayah turun ke darat. Kemudian datanglah seorang
lanjut usia ke kapal, menyerahkan sekotak uang emas kepada saya, sambil
membungkukkan badannya dalam dalam. Saya tidak tahu benda itu uang emas
inggris, yg nilainya 200,000 poundsterling. Saya kira cuma mainan. Waktu
ayah datang saya sedang bermain main dengan uang itu. Ayah bertanya
darimana saya mendapatkannya. Ia segera menyuruh orang mengembalikan
uang itu.
Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu bermaksud menyogok
ayah dengan memberi hadiah berharga kepada anak kesayangan ayah. Ayah
pantang disogok, padahal ia sering menyogok pejabat pejabat Belanda
supaya usahanya lancar.
Ayah juga tidak percaya kegunaaan pengawal pribadi. Ia lebih yakin
pada caranya sendiri. Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada
kelompok bandit yang paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling
dan pembunuh. Usahanya berhasil.
Keluarga kami merupakan satu satunya keluarga Cina yang tinggal di
luar pecinan. Masa itu kadang kadang orang Cina diolok olok anakanak
belanda yang bubar dari sekolah. Ayah mempunyai cara untuk
menanggulanginya. Ia turun dari kereta, lalu mendekati anak yang paling
besar. Kelihatannya kami pemimpin mereka,”katanya seraya mengangsurkan
sekeping uang emas.”Tolong urus mereka.”
Uangnya dikoporkan
Ayah selalu berpakaian rapi, di luar maupun di dalam rumah. Kalau
keluar, ia selalu mengenakan setelan jas putih. Sepatunya pun putih. Di
dalam rumah ia memakai celana dari bahan batik dan jas tutup cina.
Kejantanan dihargai tinggi di kalangan orang Cina. Seorang pria Cina
boleh memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang kadang istri
pertama mencarikan gundik bagi suaminya, tetapi ibu saya tidak sudi
melakukan hal semua itu. Ibu saya bernama Bing Nio, yang kalau
diterjemahkan ke bahasa Inggris sama dengan Victoria. Ia berasal dari
keluarga Goei. Dalam keluarga itu, kaum prianya bertubuh besar, tetapi
kaum perempuannya bertubuh kecil. Nenek moyangnya berasal dari Shantung,
tetapi sudah bergenerasi generasi mereka tinggal di Jawa. Nenek saya
melahirkan 5 putri dan empat putra. Kelima putrinya cantik-cantik. Yang
paling cantik ibu saya. Kakek saya bekerja di bank dengan penghasilan
tidak seberapa.
Nenek saya dari pihak ayah mencarikan gadis paling cantik di pecinan
untuk dijadikan isteri ayah. Dari para comblang ia mendengar perihal
kecantikan ibu saya. Jadi ketika ibu berumur 15 tahun, Nenek Oei
mengirimkan tandu keemasan untuk menjemputnya. Tandu itu berarti orang
tua phak laki laki menginginkan ia menjadi menantunya. Pengantin
perempuan tiba di rumah mertuanya dengan ditandu oleh empat orang. Ia
melakukan kowtow, yaitu berlutut dan menundukkan kepala sampai dahi
menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai saat itu pengantin wanita
belum pernah melihat calon suaminya, tetapi sejak itu hanya maut yang
bisa melepaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu perceraian
tidak pernah tejadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah satu
dari tujuh dosa tidak berampun.
Ayah menerima saja tradisi ini. Tidak terpikir olehnya untuk
menceraikan ibu yang tidak memberikan anak laki laki. Cuma saja ia terus
menerus menambah gundik dan banyak di antara gundiknya itu yang
memberinya anak laki laki. Ia juga tidak pernah tinggal dengan salah
seorang gundiknya itu, sampai muncul seorang gundik bernama Lucy Ho,
dalam hidupnya.
Karena tidak mempunyai anak laki laki, ibu terus menerus merasa
dirinya memiliki kekurangan dan frustasi. Ayah tidak pernah menolak
permintaaannya akan kebendaan, bahkan juga setelah ibu meninggalkan ayah
untuk tinggal bersama saya di London. Ibu sering mengirim kawat untuk
meminta uang.”Kirim empat,”artinya ia meminta 4,000 poundsterling yang
masa itu setara dengan AS$ 25,000. Tanpa banyak cingcong, ayah akan
mengirimkan uang sebanyak yang diminta.
Pernah ketika masih tinggal di Semarang, ketika saya berumur kira
kira 12 tahun, saya terbangun oleh bunyi petir. Saya berlari masuk ke
kamar ibu. Ia sedang duduk di ranjang, menghitung setumpuk tinggi uang
di bawah kelap kelip lampu minyak. Saya begitu terpesona sampai
melupakan ketakutan saya. Ibu tersenyum dan berbisik,”Ayahmu pulang
membawa sekoper uang. Aku mengambilnya sebagian. Ia tidak pernah
menyadarinya.
Saya heran mengapa ibu tidak meminta saja: Saya yakin ayah akan
memberikannya. Mungkin ibu tidak mau ayah tahu untuk apa uang itu. Pada
masa itu kami tidak pernah membawa bawa uang. Kalau kami menginginkan
sesuatu, kami tinggal mengambilnya saja di toko dan pemilik toko akan
menagihnya kepada ayah. Saya rasa ibu memberikan uang itu kepada
keluarganya sendiri. Perempuan cina yang tidak mempunyai anak laki laki
memang memerlukan segala cara untuk membangun egonya, kalau perlu dengan
membeli. Kalau cuma untuk mencukupi kebutuhan keluarga secara wajar
saja, saya yakin ia tidak perlu melakukan perbuatan itu. Namun kakek
saya dari pihak ibu pecandu, sedangkan suami dari beberapa saudara
perempuannya sering berurusan dengan pihak berwajib.
Ayah saya lahir pada tahun harimau, sedangkan ibu pada tahun naga.
Mereka sama sama tidak mau tunduk. Namun ibu menyukai status sebagai
isteri ayah. Ia mencintai perhiasannya. Di luar rumah ia dianggap tokoh
penting. Kalau ia pergi menonton sandiwara, para pemain berlutut di
hadapannya seusai pertunjukan. Lantas ibu akan memberikan tip yang besar
sekali.
Kalau pulang bertamu dari rumah nyonya belanda, sering bajunya cuma
disemat dengan peniti biasa, karena penitinya yang bertaburkan permata
ia hadiahkan kepada nyonya rumah yang mengagumi perhiasannya itu. Ayah
akan membelikannya yang baru. Yang perlu ia lakukan hanya meminta.
Bersaudara 42 orang
Saya tidak begitu kenal saudara ibu. Seorang saudara perempuannya,
menikah dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak dikaruniai
anak. Jadi, bibi saya itu mengangkat dua anak perempuan, yaitu anak
saudara suaminya. Bertahun tahun kemudian, ternyata kedua anak angkatnya
itu menjadi gundik ayah. Yang seorang Cuma bertahan sebentar, karena ia
minggat dengan sopirnya, seorang pribumi. Adiknya tidak begitu cantik,
tetapi tubuhnya indah dan ia pandai, namanya Lucy Ho.
Setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di London,
ayah dan Lucy Ho pindah ke Singapura. Ayah keluar dari Jawa untuk
menghindari pajak. Lucy gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi
keuangan dengan cermat dan ia memberi anak kepada ayah setiap tahun.
Anak laki lakinya banyak. Setelah tinggal dengan dia, ayah berubah.
Walaupun uangnya tetap banyak, ia tidak hidup mewah seperti yang
disukainya semasa di Jawa.
Ironisnya dari keluarga semacam kami ialah Putri Lucy yang sudah
dewasa suatu hari ketika bertemu dengan putri Tjong Swan (Saudara saya
berlainan ibu) di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak
diperkenankan menikah oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek
si gadis. Mereka akhirnya menikah juga di Belanda. Mungkin hal itu bisa
terlaksana berkat pengaruh Tjong Hauw., adik saya berlainan ibu juga.
Di antara 42 saudara saya tidak seibu, hanya Tjong Swan dan Tjong
Hauw yang cukup dekat dengan saya. Keduanya diserahi mengurus usaha ayah
di Jawa, ketika ayah sudah pindah ke Singapura. Tjong Hauw diperoleh
ayah dari seorang perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari
udik. Ia tidak mau dijadikan gundik. Ia ingin dijadikan istri. Ayah
setuju, perempuan itu dijemput dengan tandu. Namun di rumah tempat ia
dibawa dilihatnya tidak ada pesta, tidak ada mertua. Walaupun demikian
ia tidak bisa kembali ke orangtuanya sebab akan memberi aib. Hampir saja
ia gila. Walaupun ia memberi ayah empat putra, ayah memperlakukannya
dengan kejam. Sebelum ia disingkirkan, ayah menyuruhnya menjahitkan
kelambu untuk gundik berikutnya.
Bandot
Sebelumnya ayah saya sudah menjadikan seorang janda sebagai
gundiknya. Ny Kiam membawa serta adik perempuannya yang berumur kira
kira sepuluh tahun dan seorang anak perempuannya yang berumur dua atau
tiga tahun. Ny Kiam sangat mencintai ayah, tetapi ia tidak memberi ayah
keturunan. Ketika adiknya berumur 15 atau 16 tahun, ayah menjadikannya
gundiknya. Perempuan itu melahirkan lima anak laki laki dan empat anak
perempuan.
Karyawan ayah menyebutnya isteri nomor dua. Di rumah kami tidak ada
yang berani mempergunakan sebutan itu, karena ibu tidak menyukainya.
Kenyataannya ia memberi ayah banyak anak laki laki. Ayah tidak menyukai
putranya yang pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ayah memilih
putranya yang kedua Tjong Swan untuk menjadi andalannya di samping
Tjong Hauw.
Lama setelah itu,, ketika saya sudah menikah dengan Wellington Koo
dan singgah di Penang dalam perjalanan dari London menuju Beijing, dua
orang perempuan wajahnya menyenangkan menemui saya,”Kami adik
adikmu,”kata salah seorang diantaranya sambil tersenyum. Ternyata mereka
itu putri putri ayah dari cucu Ny. Kiam. Rupanya ketika ayah sudah
bosan pada istri nomor dua (adik Ny. Kiam), ayah menyingkirkannya untuk
digantikan oleh anak Ny. Kiam, yang ketika ibunya menjadi gundik ayah
masih berumur 2 atau 3 tahun. Putri Ny. Kiam itu mempunyai dua anak
perempuan dan kedua duanya berkelingking bengkok. Kedua duanya menikah
dengan orang berada. Kata mereka, nenek mereka masih tinggal di rumah
pemberian ayah di Jawa.
Tahun 1927, Ketika saya kembali ke Jawa untuk menghadiri pemakaman
ayah, Ny. Kiam mendekati saya dengan kemalu-maluan. Ia memanggil saya
Nona dan menyerahkan gigi palsu ayah yang rupanya ia simpan bertahun
tahun untuk dimasukkan ke liang kuburnya. Saya turuti kemauannya, sebab
saya pikir ayah akan menganggapnya lucu.
Berlainan dengan Ny. Kiam, gundik yang dulu ditipu ayah itu, yang
melahirkan Tjong Hauw, tidak datang ke pemakaman. Saya mengunjunginya di
rumahnya. Saya lihat ia masih memakai pending bertatahkan intan
pemberian ayah: Rupanya walaupun ia diperlakukan dengan buruk oleh ayah,
ayah tidak membiarkannya telantar.
Saya ingat, semasa kecil, saya keras dibawa ayah ke rumah gundik
gundiknya. Mereka tentu berusaha mengambil hati saya, supaya ayah
senang. Namun, ketika ibu tahu, ayah dimaki makinya. Ibu kemudian
minggat dari rumah dengan membawa saya. Saya sakit keras dan dokter yang
merawat saya memberitahu ayah. Ketika itu ibu tetap tidak mau kembali.
Ia baru pulang 2 bulan kemudian ke rumah kami yang seperti istana.
Menjamu Raja Siam
Rumah kami terletak di atas lahan yang luasnya lebih dari 93 ha.
Rumah model cina ini mempunyai taman yang dirancang khusus dengan kolam
kolam dan jembatan jembatan. Tukang kebun kami memiliki lima puluh anak
buah. Dapur kami ada tiga. Ibu mempunyai juru masak sendiri, yang
keahliannya memasak makanan Indonesia, sebab Ibu menyukai masakan
indonesia. Ayah menyukai masakan Cina dan Eropa. Dapur untuk memasak
makanan Eropa dikuasai oleh mantan koki kepala gubernur jenderal. Di
situ tergantung daging impor dari Australia. Tidak seorangpun
diperkenankan masuk ke sana oleh mantan koki gubjen itu. Saya pernah
iseng memasukkan anjing besar ke sana yang lantas menggondol daging
impor. Dapur ketiga diurus oleh dua orang koki Cina.
Jauh di belakang ada perumahan para pelayan. Masih ada lagi rumah
untuk guru pribadi kami (nona Jones), koki kami, tukang pijit ibu, dan
tukang cuci pakaian ibu. Untuk para tamu tersedia dua pavilyun.
Ayah sering menjamu dan perjamuannya tidak tanggung tanggung. Kami
pernah menjamu raja Siam berikut haremnya. Kami pun pernah diundang
makan di kediaman gubernur jenderal Hindia Belanda.
Tjong Lan dan saya tidak bersekolah di sekolah umum, padahal
sebenarnya saya ingin memiliki teman teman sebaya. Paling paling saya
bisa bermain ke rumah keluarga Belanda yang tinggal di lahan kami, Ibu
pun tidak pernah mengundang anak saudara saudaranya ke rumah kami.
Banyak yang diundang, tidak ada yang datang
Ketika saya berumur 15 tahun, saya katakan kepada ayah, saya ingin
mengadakan pesta dansa bergaya inggris, seperti yang saya baca di The
Tatler. Ayah memperbolehkan. Memang saya diistimewakan, karena dianggap
membawa rezeki, bintangnya naik terus setelah kelahiran saya.
Ayah menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan raja
Siam. Kamar makan kami dan pavilyunpanjang disiapkan untuk berdansa.
Ayah secara santai juga menyampaikan kepada para rekanan dagangnya agar
mendatangkan anak anak mereka ke pesta saya.
Hari besar itu pun tiba. Para pemain musik datang dan menunjukkan
kebolehannya, tetapi tidak ada seorang tamu pun yang datang. Saya
menangis dan ayah marah sekali kepada para rekanannya. Kalau saya ingat
lagi peristiwa itu. Saya pikir, kami juga yang salah. Mestinya kami
mengirimkan kartu undangan resmi, sehingga mereka akan memberi tahu
kalau tidak datang.
Untuk meredakan kemarahan ayah, pengacaranya Baron van Heeckeren
mengusahakan agar putri putrinya mengadakan pesta dansa untuk
menghormati saya, dengan mengundang teman teman Belanda. Saya yakin
maksud mereka baik, tetapi saya terlalu angkuh untuk hadir.
Dicekoki Bahasa Inggris
Waktu kami pergi ke Belanda saya puasa juga karena ternyata Bahasa
Belanda saya lumayan. Kemudian ketika sudah menjadi isteri Wellington
Koo dan suama saya dijadikan duta Cina di AS, bahasa Belanda itu masih
ada gunanya. Pernah kami mengundang pemain film termasyhur waktu itu
Tyrone Power dan isterinya Linda Christian. Linda yang pemalu itu
berasal dari Belanda. Ia begitu tercengang mendapatkan isteri duta Cina
bisa berbahasa Belanda.
Di Rumah , ayah biasa berbahasa Hokkian, tetapi dengan saya ia
berbahasa Indonesia. Bahasa pertama yang saya pelajari lewat pengasuh
saya. Kemudian kakak saya mendapat pengasuh yang diimpor dari Prancis
dan kami belajar bahasa Perancis. Ayah meminta Pietro mendatangkan guru
pribadi buat kami dari Eropa dan datanglah seorang Inggris, Nona
Elizabeth Jones yang mencekokkan bahasa Inggris kepada kami. Akhirnya
saya lancar berbahasa Inggris dan tetap menjadi anak didiknya sampai
saya meninggalkan jawa untuk tinggal di Inggris pada umur 15 atau 16
tahun.
Lewat tengah hari, kalau Tjong Lan dan saya sudah selesai belajar
dari Nona Jones, datanglah pelbagai guru pribadi. Ada yang mengajarkan
kaligrafi, seni berbicara, tarian cina klasik dan juga musik. Ibu ngin
anak anaknya tidak pemalu dan pandai bergaul, supaya bisa memperoleh
suami yang hebat. Saya pun disuruh belajar menunggang kuda di Singapura.
Tjong Lan lebih tertutup daripada saya. Ketika masih berumur belasan
tahun, ia jatuh cinta dntgan seorang dokter muda. Ibu melakukan
penjajakan lewat comblang. Ternyata keluarga pria itu ingin ayah
membiayai praktek putranya. Ayah marah, ia tidak mau membli menantu.
Kalau saja Ibu mau menolong Tjong Lan, mungkin ayah bisa dibujuk, tetapi
ibu sependapat dengan ayah.
Mula mula Norak
Ibu tidak suka ikut dengan ayah meninjau perkebunan, tetapi saya
sering dibawa serta. Ibu baru ikut kalau ayah pergi ke luar negeri.
Waktu kami sekeluarga pergi ke Eropa untuk pertama kalinya, kami membawa
serta beberapa pelayan. Pietro menjadi juru bahasa ayah dalam
mengadakan pelbagai transaksi, sedangkan isterinya yang bisa berbahasa
Indonesia sedikit, mengantar ibu dan Tjonglan berbelanja.
Ibu menyingkirkan pakaian Cinanya untuk diganti dengan pakaian Eropa.
Masa itu kami jauh dari anggun. Kemana mana kami beriring iringan
dengan beberapa mobil atau kereta. Selera Pietro pun tidak halus,
padahal kami mengandalkan petunjuknya. Kami tinggal di hotel hotel kelas
dua seperti Charing Cross di London dan Grand di Paris, meskipun
seluruh lantai diborong. Ketika kami ke AS , ayah sudah berpengalaman.
Kami tinggal di Waldorf Astoria.
Setahun lamanya kami tinggal di Luar negeri. Ayah dan Pietro bekerja
sedangkan ibu dan Tjong Lan keluar masuk toko. Ibu tidak mau membeli
barang sembarangan. Ia selalu ingin paling top. Kalau sudah bosan
berbelanja, mereka masuk ke salon kecantikan. Malamnya, ibu, ayah, Tjong
Lan dan Pietro makan di restoran dan pergi ke kelab malam. Sementara
itu saya kesepian di hotel. Kadang kadang saya ditemani oleh Ny. Pietro.
Sementara itu para pelayan makan makanan Indonesia yang mereka masak
sendiri. Bahan bahannya dibelikan oleh Pietro.
Lama kemudian, ketika saya sudah menjadi isteri Wellington Koo, saya
sering geli mengingat betapa naif dan tidak anggunnya kami masa itu.
Saya membayangkan betapa tercengangnya orang orang Eropa melihat ibu dan
Tjong lan keluyuran memakai perhiasan Intan, mirah dan Zamrud serta
seenaknya memesan barang mahal tanpa menanyakan dulu harganya.
Mobil Ditarik Sapi.
Ketika kami masih tinggal di Semarang, Tjong Lan yang waktu itu
berumur 18 tahun dijodohkan dengan putra teman ibu. Teman ibu di Jakarta
itu mempunyai putra yang baru pulang dari Belanda. Ia lancar berbahasa
Belanda, Inggris dan Perancis. Namanya Ting Liang dari keluarga Kan yang
kaya dan terkemuka. Mereka menikah di rumah kami. Keluarga ibu tidak
diundang, sebab ayah marah kepada mereka.
Setelah Tjong Lan menikah, ibu bercerita kepada saya bahwa ia
menguatkan hatinya untuk tetap tinggal di rumah kami, supaya Tjong Lan
bisa menikah di rumah itu. Tjong Lan dan suaminya pergi ke Eropa selama
setahun dan ketika kembali mereka membawa mobil kecil buatan perancis.
Masa itu belum ada mobil di tempat kami. Suatu hari saya mencuri curi
mengendarainya dan menabrak pohon.
Begitu melihat mobil Tjong Lan, ayah segera memesan mobil Lancia yang
besar dari Inggris, untuk mengemudikannya, ayah mendatangkan sopir dari
Jakarta, yang berpengalaman mengemudi di Singapura. Bila dipakai di
jalan rata, Lancia itu tidak merongrong, tetapi begitu mendaki bukit ia
tidak kuat menanjak, sehingga sopir harus pergi meminjam 4 ekor sapi
untuk menghelanya ke rumah kakek atau ke pesangrahan ibu.
Kemudian ayah mengimpor sopir dari Inggris, namanya Powell. Anehnya,
sejak dikemudikan Powell, mobil itu bisa menanjak tanpa bantuan ternak.
Jangan jangan sopir lama tidak tahu kalau mobil perlu ganti gigi supaya
bisa menanjak.
Tjong Lan tinggal dalam sebuah rumah dalam lingkunganhalaman kami
juga. Para pelayannya semua dari rumah kami, makanan untuknya dan untuk
suaminya dibawakan dari tempat kami. Sya bisa mengerti kalau suaminya
tidak betah dan tidak mau bekerja di perusahaan ayah. Ia ingin menjadi
dokter dan ayah mengirimkannya ke Eropa. Waktu itu mereka sudah
mempunyai bayi, Bob Kan. Seingat saya ipar saya kemudian tidak pernah
membuka praktik. Anak mereka kemudian belajar di Eropa di Eton (sekolah
menengah mahal dan berprestise di Inggris) dan kuliah di Cambridge
Inggris.
Ketika ayah sakit, doktenya mengusulkan agar ayah beristirahat di
Eropa. Sekali lagi ibu dan saya ikut. Pietro sudah pensiun tetapi ayah
mempekerjakannya lagi setahun. Ia menyewakan rumah bagi kami di Paris.
Sekali ini bahasa Prancis saya sudah bisa diandalkan untuk menjadi
penerjemah ibu. Ibu lebih mempercayai selera kakak ipar saya daripada
selera Pietro. Ia begitu jatuh hati kepada menantunya, sehingga kakak
saya dibelikannya sebuah rumah besar yang dilengkapi beberapa pelayan di
Wimbledon Inggris.
Ketika ayah, ibu dan saya pulang ke Jawa, saya merasa kehidupan saya
tidak kembali seperti semula. Ibu sudah tidak tahan tinggal di Semarang,
sebab gundik gundik ayah mempunyai sejumlah anak laki laki yang
meningkat dewasa dan merekalah yang akan mewarisi perusahaan ayah.
Apalagi kemudian ayah menyingkirkan semua gundiknya demi Lucy Ho. Namun
tentu saja tidak terlindak dalam pikiran ibu untuk bercerai.
” Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang berduit
tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa
menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan
dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya
menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus
puas dengan yang kita miliki.”
Ayah pindah ke Singapura.
Saya sedih untuk berpisah dengan ayah, tetapi saya ikut dengan ibu ke
London. Kemudian ayah juga meninggalkan istana marmer kami untuk pindah
ke Singapura bersama Lucy Ho. Soalnya pemerintah Hindia Belanda
menekannya untuk menjual perkebunan perkebunan tebunya dengan harga AS$
70 juta. Ayah mempercayakan perusahaannya di Jawa kepada putra putranya
yang terpilih. Tjong Swan dan Tjong Hauw. Mereka bertugas melaksanakan
saran saran bisnis ayah dan melapor kepadanya.
Di London, ibu dan saya tinggal di Brooke Street, dekat hotel hotel
besar. Kami mempunyai rumah lain di Wimbledon yang luas lahannya hampir
2,8 ha. Ibu mempunyai mobil Roll Royce, lengkap dengan sopir dan footman
(pelayan yang tugasnya antara lain membukakan pintu mobil) Ipar saya
mempunyai mobil Daimler dan Fiat. Di Wimbledon kami mempunyai seorang
butler (kepala Pelayan) Cina, tiga gadis pembantu rumahtangga Inggris
dan seorang sopir Inggris. Selain itu, kakak saya memiliki seorang koki
inggris dan ibu membawa kokinya yang sudah lama bekerja padanya dari
Jawa. Para pelayan itu selalu saja bertengkar. Ibu saya yang biasa
berbahasa jawa, mengalami kesulitan bahasa dalam berkomunikasi dengan
para pembantu. Jadi, segalanya harus diurus oleh ipar saya, sebab kakak
saya pun tidak becus mengurus rumah. Dewasa ini, kalau saya pikir-pikir,
ipar saya sepatutnya mendapatkan gaji untuk jasanya sebagai majordomo
(pengurus rumah tangga)
Ipar sayalah yang pergi berbelanja dan membayar rekening. Karena koki
indonesia bawaan ibu tidak bisa berbahasa Inggris, ipar saya pula yang
ketiban tugas berbelanja ke pasar. Ipar saya harus menyerahkan rekening
rekening dan catatan pengeluaran rumah tangga kami ke kantor ayah di
Mincing Lane. Kalau saya pikirkan kembali, kami bersalah menyia nyiakan
bakatnya, dengan hanya menjadikannya Majordomo. Mungkin ia bisa menjadi
orang yang jauh lebih penting, kalau diberi kesempatan lain.
Saya diberi ayah 400 poundsterling atau AS$ 2,000 setahun untuk
membeli pakaian. (Pada masa itu nilai poundsterling dan dollar jauh
lebih tinggi daripada sekarang). Tentu saja tidak cukup. Saya sodorkan
rekening rekening tagihan kepada Ting Liang. Ia sering marah, padahal
ayah selalu mau melunasi semua pengeluaran saya. Suatu hari setelah
bertengkar hebat dengan ipar saya, saya minta pindah. Saya tinggal alam
sebuah villa kecil di Curzon street, diurus seorang pembantu rumah
tangga prancis dan koki Prancis. Ting Liang tidak mau membayar sewa
ruamh saya dan gaji pelayan serta koki saya. Jadi saya langsung mengirim
telegram kepada ayah dan tanpa banyak cincong ayah menaikkan jumlah
uang belanja saya.
Di masa remaja itu saya sangat menikmati dansa. Malam hari, saya
pinjam mobil ibu lengkap dengan sopirnya untuk pergi bersama dua sepupu
saya ke pesta pesta dansa. Sepupu sepupu saya itu adalah putra adik ibu
yang di Singapura. Keduanya mendapat beasiswa untuk belajar di London
dari dermawan Singapura, Lim Boo Keng. Teman teman saya masa itu
diantaranya Guy Brook yang kemudian menjadi Lord Brook dan pemuda pemuda
yang kelak menjadi Earl of Callodan, Sir Oliver duncan, dan Sir Hugo
Cuncliffe Owen.
Saya belajar menyetir mobil dan mendapat mobil Daimler kecil. Saat
itu umur saya belum genap 18 tahun dan London tahun 1918 masih sepi.
Saya menganjurkan Tjong Lan untuk belajar menyetir juga. Hubungan kami
tidak selalu mulus. Ia sering iri kepada saya. Pergaulannya terbatas
pada orang orang sekantor ayah ata para relasi bisnis. Ia dibesarkan di
Jawa sehingga tidak mengalami kebebasan seperti saya semasa mudanya.
Padahal ia cantik dan jauh lebih pandai daripada saya.
Bertemu Wellington Koo
Walaupun bahasa Inggris Ibu saya sangat terbatas, berhasil juga ia
mendapat teman teman. Banyak teman temannya itu diperoleh lewat roti.
Entah dari mana ia belajar membuat roti. Seminggu sekali ia membuat roti
dan rotinya itu empuk serta lembut. Suatu hari, tetangga kami, Marquess
of Duferin dan isterinya datang, katanya karena tertarik bau roti yang
datang dari rumahkami. Sang Marquess kemudian belajar bahasa Cina dari
Ibu. Ia tidak berhasil memasukkan pelajaran itu ke otaknya, tetapi
setiap pulang selalu mengepit roti buatan ibu.
Putri Alice dari Monaco (Saya rasa ia nenek Pangeran Rainer) juga
bertandang karena roti. Ia menjadi teman baik ibu. Ketika kami bepergian
kemana mana, kami selalu mendapat sambutan yang baik dari para
bangsawan Eropa berkat saran dari Putri Alice.
Kemudian Tjong Lan tinggal di Paris. Suatu hari ia mengirim telegram
kepada ibu, menganjurkan ibu dan saya cepat cepat datang. Ternyata,
salah seorang anggota delegasi pemerintah Cina yang sedang mengadakan
pembicaraan perihal perdamaian setelah PD I, ingin berkenalan dengan
saya setelah melihat foto saya di rumah Tjong Lan. Nama anggota delegasi
itu Wellington Koo. Walaupun umurnya baru 32 tahun, ia sudah duda
karena isterinya meninggal muda. Almarhumah isterinya adalah putri
jenderal Tang yang terkenal.
Wellington Koo adalah wakil Cina di AS dan ia lulusan Columbia
University. Tjong lan menganggap, ini kesempatan baik buat saya mendapat
jodoh. Padahal saya sama sekali tidak tertarik. Bayangkan duda berusia
32 tahun! Namun ibu begitu bersemangat. Dengan ogah ogahan saya pun ikut
ke Paris. Benar saja dugaan saya. Gaya Wellington Koo kalah
dibandingkan dengan gaya pemuda pemuda teman saya. Rambutnya dicukur
pendek model cepak yang kuno itu. Pakaiannya bukan buatan penjahit
Inggris terkemuka, tetapi dibeli di sembarang toko biasa di AS. (Setelah
menjadi suami saya, mau juga ia memanjangkan rambutnya dan mengganti
pakaiannya dengan yang lebih anggun). Ia tidak bisa berdansa, tidak tahu
soal menunggang kuda, dan bahkan tidak bisa menyetir mobil.
Saat itu saya juga buta soal politik. Saya tidak tahu mengapa
Jenderal Tang memperlakukan Wellington Koo dengan begitu hormat ketika
mereka dijamu Tjong Lan. Saat itu Wellington Koo ditempatkan di sebelah
saya. Ternyata ia tidak berusaha bercakap cakap tentang dunianya dengan
saya. Ia menyesuaikan pembicaraan dengan dunia saya dan sebelum
perjamuan berakhir saya sudah agak tertarik kepadanya.
Kami bercakap cakap dalam bahasa Inggris dan menjelang akhir
perjamuan ia berkata akan menjemput saya keesokan ahrinya. Sebagai orang
nomor dua dalam delegasi, ia mendapat fasilitas mobil dan sopir dari
pemerintah Perancis. Saya terkesan. Kami mempunyai banyak mobil dan
sopir, tetapi semuanya kami bayar sendiri. Wellington Koo begitu penting
rupanya, sehingga pemerintah negara asing menyediakan mobil berpelat
diplomatik baginya.
Saya lebih terkesan lagi ketika di opera dan di teater kami mendapat
tempat khusus yang disediakan oleh pemerintah. Ayah tidak mungkin
mendapat keistimewaan seperti itu, walaupun ia bersedia membayar berapa
saja.
Saya pun berdandan serapi mungkin dan mengenakan pakaian saya yang
paling indah. Permen dan bunga bunga yang indah mengalir untuk saya dari
Wellington Koo, dari beberapa kali sehari ia menelepon saya. Kalau
kebetulan saya sedang tidak ada di rumah, ia pun mencari saya sampai
dapat. Suatu hari ketika sedang merawat tangan saya di Salon Elizabeth
Arden, ia muncul. Saya merasa tersanjung, sebab pria yang mempunyai
kedudukan seperti dia mau berbuat demikian demi saya.
Sekali, dalam percakapan saya katakan bahwa saya tidak mungkin diundang ke istana Buckingham, istana Elysee dan Gedung Putih.
Istri saya ikut diundang, kalau saya menghadiri perjamuan resmi di tempat tempat itu,”katanya.
“Tentu isterimu kan sudah meninggal,”kata saya.
Ya, dan saya mempunyai 2 orang anak yang masih kecil, yang memerlukan
ibu,“ ketika itu umur saya baru 19 tahun dan saya biasa berbicara tanpa
tedeng aling aling seperti ayah saya.
Jadi, kamu ingin menikah dengan saya,“tanya saya.
Ya, dan saya harap kamu mau. Ia tidak berkata bahwa ia mencintai
saya, tidak juga bertanya apakah saya mencintai dia. Saya tercengang dan
berkata saya akan berpikir pikir dulu.
Menantu Impian
Saya tahu apa yang akan dikatakan ibu. Wellington Koo merupakan
menantu impiannya. Kekagumannya kepada Wellington Koo tidak pernah
padam. Ibu tidak ragu ragu untuk memujinya secara terbuka. Ia sangat
bangga menjadi mertua Wellington Koo. Mungkin ibu lebih cocok buat
Wellington Koo daripada saya. (Wellington lahir di tahun babi sedangkan
saya di tahun Harimau!)
Tjong Lan memberi saran,”Hui Lan, kamu harus menikah dengan
Wellington Koo, jangan seperti saya yang bersuamikan orang yang tidak
berarti. Ingat, kamu akan menjadi Madame Wellington Koo dan orang orang
akan menyapamu Your Excellency.”
Ketika saya masih ragu-ragu, ibu tidak sabar. Saya katakan bahwa saya
tidak siap menjadi ibu tiri. Menurut ibu, saya tidak perlu mengasuh
sendiri anak anak tiri saya. Mereka sudah mempunyai pengasuh. Kalau
belum, ibu yang akan mencarikan.
Ingat,“kata ibu kepada saya,“sekarang masih ada aku yang akan
melindungimu, tetapi aku ini berpenyakit diabetes. Kalau aku sudah tidak
ada, kamu kann tidak bisa hidup serumah dengan Tjong Lan, karena kamu
tidak akur dengan Ting Liang. Kamu tidak akan diperbolehkan hidup
sendiri oleh ayahmu. Kamu harus pulang ke ayahmu, padahal Lucy Ho
membencimu. Kamu bisa diracuni.“
Saya pun setuju menikah dengan Wellington Koo. Dengan kegirangan ibu
mengirim telegram kepada ayah. Mata-mata ayah menemukan satu titik hitam
dalam sejarah hidup Wellington Koo. Ia pernah menikah dan bercerai di
Shanghai, sebelum menikah dengan putri jenderal Tang. Ayah balas
menelegram ibu,“kalian tolol. Kalau Hui Lan dinikahkan dengan Wellington
Koo, ia tidak bisa menjadi istrinya, karena Wellington Koo mempunyai
istri yang masih hidup di Cina. Mengapa kalian tega berbuat demikian
kepada Hui Lan?”
Ibu tidak akan mundur. Ibu sudah diberitahu oleh Wellington bahwa
semasa kanak kanak ia sudah dijodohkan dengan putri tabib yang
menyembuhkannya dari penyakit berat. Waktu pulang liburan dari Amerika
Serikat (ia mahasiswa yang cemerlang di Columbus University) tahu 1908,
ibu dan kakak laki lakinya mengirimkan tandu merah kepada putri tabib
itu. Wellington yang lahir 1887 dengan taat membawa gadis desa yang
tidak terpelajar ke New York. Istrinya kemudian meminta dipulangkan
karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan di sana.
Diadakanlah rapat keluarga yang memutuskan mereka bercerai. Masa itu
perceraian diakui kalau direstui orang tua.
Kemudian Wellington menikah dengan gadis berpendidikan barat, putri
Tang Shao Yi, tangan kanan Presiden Yuan Shih Kai. Setelah mendapat
gelar master dari Columbus dan lulus dari sekolah hukum di Yale,
Wellington Koo kembali ke Cina untuk menjadi sekretaris dan penerjemah
bagi Yuan di Beijing.
Wellington Koo berasal dari keluarga yang tidak kaya tidak pula
miskin. Mereka termasuk kuno. Kaki ibunya masih diikat dan ibunya itu
hanya bisa berbahasa Cina dialek Shanghai, serta tidak pernah pergi jauh
dari rumah. Ketika bersekolah di Amerika Serikat, Wellington hanya bisa
tinggal di asrama murah dan hidup sederhana sekali. Istrinya, putri
Jenderal yang berpendidikan barat itu penurut, berbeda dengan saya.
Pertunangan kami diumumkan di Hotel Ritz di Paris, sedangkan
pernikahan kami dilangsungkan di kedutaan Cina di Brussels, Belgia. Hari
itu Tjong Lan sakit, sehingga hanya ibu yang hadir. Ayah dan keluarga
Wellington tidak bisa datang karena jarak yang jauh. Pernikahan harus
dilangsungkan sebelum Wellington menggantikan Alfred Tse sebagai
Minister (Jabatan yang lebih rendah dari duta) Cina di London. Saya
mendapat hadiah Rolls-Royce dari ibu. Seragam sopirnya dibuat di
Dunhill. Ibu juga menghadiahkan peralatan makan dari perak, yang waktu
itu harganya 10,000 poundsterling. Benda itu masih saya miliki sampai
sekarang, walaupun sudah lama sekali disimpan di bank dengan ongkos
US$200 dollar setahun.
Sarung bantal bagi kami diberi kancing yang berhiaskan intan. Semua
itu tentu saja ayah yang membayar, meskipun ibu yang membelinya. Hadiah
perhiasan dari Wellington termasuk sederhana bila dibandingkan dengan
yang saya dapat dari ibu.
Cintanya hanya untuk Cina.
Ketika kami sudah berada di hotel, saya menanggalkan pakaian
pengantin saya yang dibuat dari Callot untuk berganti dengan negligee
yang seksi untuk menyenangkan suami saya. Ternyata ia tidak
memperhatikan saya ketika saya memasuki ruang duduk suite kami. Ia sedng
sibuk bekerja dikelilingi empat sekretarisnya. Jadi saya duduk saja
menunggunya.
Malam itu juga kami harus berangkat dengan kereta api ke Jenewa.
Karena keesokan harinya Liga Bangsa-Bangsa dibuka dan Wellington Koo
merupakan ketua delegasi Cina. Perhatian Wellington Koo hanya untuk
Cina. Ia memang orang yang diperlukan oleh Cina, tetapi bukan suami yang
tepat untuk saya. Otaknya cemerlang, tetapi ia tidak mampu bersikap
mesra dan menunjukkan kelembutan.
Sore itu, sebelum berangkat untuk menghadiri resepsi pernikahan yang
diadakan bagi kami oleh wakil cina untuk Spanyol yang khusus datang
dengan istrinya. Pesta resmi itu dihadiri pejabat2 Prancis, Belgia, dsb.
Ibu ikut dengan kami ke Jenewa. Pagi pagi saya dibangunkan oleh
Wellington yang ternyata sudah berdandan rapi dan sudah sarapan.
Katanya, di stasiun kami akan disambut seluruh delegasi cina. Cepat2
saya berdandan. Saya mendapat karangan bunga mawar yang besar sekali
dari penyambut. Ibu saya juga, sehingga ia senang sekali.
Kami mendapat suite yang mengesankan di hotel Beau Rivage yang
menghadap ke danau. Suami saya segera diambil para sekretaris untuk
rapat. Wellington mengingatkan saya bahwa ibu saya berada di hotel itu
juga dan mungkin menunggu saya. Jadi, saya pergi menemui ibu. Kami makan
siang bersama lalu pergi berbelanja. Rasanya seperti belum menikah
saja.
Saya sangat tercengang dan juga tersinggung ketika Wellington dan
Wang mengatur tempat duduk tamu di perjamuan yang kami adakan tanpa
meminta pendapat saya sama sekali. Saya bergidik melihat kartu
bertuliskan nam orang yang akan duduk di kiri kanan saya, karena mereka
orang orang yang sangat membosankan. Jadi, saya atur kembali letak
kartu2 di meja perjamuan. Tahu-tahu, ketika saya sedang berdandan,
Wellington masuk,“Hui Lan, ini bukan pesta pribadimu,“katanya. Kamu
menjamu mewakili Cina, sehingga para tamu harus didudukkan sesuai dengan
tingkatan mereka, agar tidak ada seorangpun yang merasa terhina atau
hilang muka.“ Itulah pelajaran pertama yang saya dapat mengenai
protokol. Kemudian saya sangat ahli dalam mengatur tempat duduk para
tamu, sehingga tugas itu diserahkan kepada saya, bukan kepada pejabat
kedutaan besar, yaitu setelah hubungan kami dengan negara negara
meningkat menjadi kedutaan besar.
Suami lebih suka memakai mobil bekas.
Sejak semula Wellington gigih memperjuangkan pemulangan Shantung dari
Jepang kepada Cina. Sebelum menikah dengannya saya tidak tahu menahu
perihal itu, namun saya belajar dan mulai menginsafi posisi dan
tanggungjawabnya yang besar.
Kami sering harus menghadiri resepsi resmi, Ia terlalu sibuk untuk
memperhatikan pakaian saya, padahal saya mendapat banyak pujian. Suatu
malam, sepulang resepsi, saya tanyakan kepadanya apakah sikap saya
selama ini cukup memuaskan dan tidak dipergunjingkan orang? Ia mendekati
saya. Saya kira ia akan memeluk saya, ternyata ia hanya mau mencopot
anting anting intan saya. “Saya sudah memberi kamu perhiasan satu
satunya yang bisa saya belikan,”katanya.”Saya ingin kamu memakainya,
bukan perhiasan dari orang lain, walaupun banyak dikagumi dan
dibicarakan orang.”
Saya tertegun. Perhiasan yang saya kenakan, sebagian besar pilihan
ibu dan dibayar oleh ayah. Saya tersinggung karena suami saya
menghendaki perhiasan itu disingkirkan. Ia memang menikah dengan saya
bukan karena uang saya, terapi ia tahu perhiasan itu merupakan bagian
dari saya.
Ia juga menyarankan agar pesanan Rolls Royce dibatalkan saja, sebab
ia tidak sanggup membeli Rolls Royce. “Ayah bisa dan dia memberinya
kepada kita,”jawab saya. Kata Wellington, ia akan membeli mobil bekas
Alfred Sze. Mobil bekas dengan seragam sopir yang juga bekas? Jangan
harap saya mau,”jawab saya. Akhirnya Wellington berkata, saya boleh naik
Rolls Royce saya, tetapi ia sendiri akan naik mobil bekas Sze.
Roll Royce pesanan ibu menjadi bahan percakapan di London. Tampaknya
Wellington tidak perduli. Ia juga tidak perduli saya terus menerima
kiriman uang dari ayah. Pikir saya, goblok sekali kalau saya tidak
memanfaatkan pemberian itu. Sementara itu saya juga mulai menikmati
menjadi istri seseorang yang banyak perhatian dan penting.
Saya mendesak Wellington untuk memugar dan mengganti perabot kami di
Portland Place yang suram itu. Ia mengingatkan bahwa Cina tidak kuat
membayarnya. Ayah memiliki banyak uang. Keluar beberapa ribu dollar
tidak berarti apa apa baginya,”desak saya. Ia mengingatkan bahwa semua
yang saya bayar akan menjadi milik Cina. Saya tidak perduli. Ketika itu
tidak pernah terpikir oleh saya bahwa uang ayah bisa habis. Tidak pernah
terlintas dalam pikiran saya bahwa,”Tiada Pesta yang tidak berakhir.”
Pepatah itu, menurut teman lama saya, E.T. Cheng yang kemudian menjadi
dutabesar di London, adalah pepatah Cina yang paling menyedihkan.
Tampak serasi padahal tidak sejalan.
Masa itu banyak hal yang tidak saya pahami. Namun saya tahu dari ayah
bahwa uang bisa berbuat banyak. Bagi saya, hidup lebih mewah daripada
yang dimungkinkan oleh gaji Wellington bukanlah masalah. Hal itu tidak
merugikan Cina, malah menguntungkan, sebab biayanya saya dapat dari ayah
saya.
Saya masih ingat, ketika dengan pertama kali ke Istana Buckingham
yaitu saat Wellinton menyerahkan surat-surat kepercayaan kepada Raja
George V dan Permaisuri Mary. Putri Alice sebelumnya sudah mengajari
saya curtsy, yaitu cara wanita memberi hormat kepada keluarga raja2. Ia
juga berpesan agar saya jangan berbicara kalau tidak ditanya. Keluar
dari istana, Wellinton berkomentar,”Kita ini memang pasangan yang
hebat,” Ya, makin lama saya bertambah matang. Saya pandai mengatur
seperti ayah dan memiliki selera seperti ibu. Saya pasangan yang sepdan
bagi Wellington. Begitulah tampangnya dari luar, padahal pernikahan kami
tidak berjalan dengan mulus.
Orang orang mengagumi otak suami saya, tetapi kami cuma negara kelas
dua, sebab masa itu Cina bukan negara yang kuat. Kekuatan2 besar cuma
mengirimkan wakil setingkat minister ke Beijing, bukan duta besar. Kami
ditempatkan jauh di bawah para dubes. Suatu kali, ketika pulang dari
suatu upacara, dengan bergurau saya katakan kepada Wellington,”Saya
tidak ingin seumur hidup menjadi istri Minister, Kapan kamu menjadi
dubes?” Bisa dipahami kalau Wellinton jengkel.“Kalau kamu tidak puas
dengan keadaanmu sekarang, kapan pun kamu tidak akan puas. Saya tidak
bisa mendapat kedudukan lebih tinggi lagi dari ini, minister untuk
Istana Saint James!”
Putra sulung saya lahir di Washington, 30 Januari 1922, ketika suami
saya menghadiri konferensi pembatasan Persenjataan, yang juga
membicarakan nasib Shantung. Wellington memilih nama Kai Yuen yang
berarti “zaman baru”. Namun nama resmi putra kami itu Yu Chang yang
diberi oleh abang sulung suami saya. Namun sejak semula orang orang lain
memanggil putra kami Wellington junior, sehingga seterusnya kami sebut
ia junior.
Ayah berubah
Tahun 1916 keadaan cina kacau. Presiden Yuan Shih Kai meninggal tidak
lama setelah berusaha menjadikan dirinya kaisar. Penggantinya lemah,
Wellington yang sudah tujuh tahun meninggalkan cina dipanggil pulang.
Dalam perjalanan ke Cina dengan S.S. Khyber kami singgah di Singapura.
Tahu tahu pintu kabin kami diketuk pelayan. “Seorang pria berpakaian
putih ingin bertemu dengan Anda, Madame. Katanya, beliau ayah saya.”
Dengan kegembiraan meluap luap saya membuka pintu. Saya perkenalkan
ayah kepada Wellington. Mereka bersalaman secara formal seperti orang
Eropa. Keesokan harinya saya dijemput ayah dengan perahunya sendiri. Di
Pelabuhan sudah menunggu mobil bersopir. Namun, ketika tiba di kediaman
ayah merasa ibu. Tidak ada istal, tidak ada bermacam macam dapur.
Pelayan pun tidak banyak. Ayah bahkan tidak memiliki pelayan pribadi. Di
lahan tmepat tinggalnya berdiri beberapa rumah. Rumah tempat tinggal
denganLucy Ho mirip rumah pengusaha kecil Bahkan air leding dan WC
dudukpun tidak ada.
Berulang ulang saya bertanya mengapa ia hidup seperti itu. Kemana
ciri2 kemegahannya ? Ia tidak menjawab pertanyaan pertanyaan itu.
Katanya, bisnisnya berjalan seperti biasa, Hauw maupun Swan bisa
diandalkan. Kantor ayah di Singapura pun berjalan dengan baik, tetapi ia
jarang ke sana.
Saya begitu sedih menyaksikan perubahan cara hidupnya dan melihat
semangatnya merosot dalam mengurusi bisnis. Akhirnya ia berjanji kepada
saya akan membeli mobil baru dan akan melengkapi salah sebuah rumah di
lahannya dengan segala kemewahan,termasuk air leding dan WC.
Ayah berkata, saya tidak perlu khawatir. Neraca pribadinya bahkan
lebih beres, karena ditangani sendiri oleh Lucy Ho. Berlainan dengan
gundiknya yang lain . Lucy Ho terpelajar. Saya tetap khawatir. Saya
tahu, tidak semua istri setia. Mengapa Lucy Ho membiarkan dirinya
terikat pada pria yang menghamilinya setiap tahun ? Saya memperingatkan
ayah agar jangan mencampuradukkan seks dengan bisnis. Ayah tertawa,”kamu
dan ibumu akan jauh lebih kaya, kalau pemasukan dan pengeluaran uang
kalian seperti Lucy Ho.”Saya pun tertawa dan menjawab,”Buat apa saya
repot2 mengurusi neraca dan menelusuri kemana uang saya kalau saya
mempunyai ayah seperti ini?”
Sama seperti saya, Lucy Ho rupanya lebih suka kalau kami tidak
bertemu muka. Ia hanya muncul kalau makan siang. Ia mengenakan saraung
dan berkebaya putih. Ia bertelanjang kaki dan rambutnya disanggul.
Sanggulnya itu disemat dengan tusuk sanggul Kami bersikap resmi dan ia
memasang wajah tidak ramah. Siangnya, waktu saya tanyakan kepada ayah
apakah ia tidak rindu istananya di Semarang dan kemegahan hidupnya di
masa lalu, ayah menggeleng. Saya merasa sedih. Lucy Ho sudah berhasil
menghapuskan kenangan lama ayah dan saya tidak berhasil membujuknya
untuk hidup menurut caranya yang lama. Kata ayah, Lucy Ho berlainan
dengan saya dan ibu. Ia tidak terbiasa hidup dikelilingi banyak pelayan.
Kehadiran banyak pelayan membuatnya risih.
Dibelikan istana
Tampaknya ayah dan Wellington tidak saling menyukai. Mereka memang
berbeda. Wellington memberi saya posisi yang penting di mata dunia. Ayah
memberi saya uang untuk menaikkan gengsi jabatan Wellinton, membelikan
Rolls Royce yang kini berada di dalam kapal, dan menjadikan saya
perempuan yang ingin dinikahi oleh Wellington
“Kamu perlu uang saku?” tanya ayah dengan lembut ketika sopir
mengantarkan saya ke kapal.”Selalu,”jawab saya. Ayah menjejalkan uang
kertas ke tas saya yang jumlahnya ternyata lebih dari US$ 50,000. Saya
tidak tahu apakah Lucy Ho tahu ayah memberi saya uang sebanyak itu. Yang
jelas, saya tidak memberitahu Wellington.
Di Shanghai kami disambut dengan meriah. Kakak sulung Wellington
sudah menyewakan kami rumah yang dianggapnya hebat sekali, tetapi
menurut ukuran saya sangat mengecewakan karena tidak memiliki air leding
dan WC duduk. Tempat tidurnya keras, karena berupa ranjang kayu
tradisional. Jadi, saya membawa anak anak dan para pelayan inggris kami
ke hotel. Wellington sebenarnya tidak setuju karena tidak mau
menyinggung perasaan abangnya.
Dengan uang ayah , kami berhasil mendapat istana di Beijing. Istana
itu memiliki 200 ruangan dan terletak di tanah seluas kira2 4,6 ha.
Istana itu dijual murah oleh pemiliknya, US$100,000, karena ia takut
disita oleh pemerintah. Saya menghabiskan US$ 150,000 lagi untuk
mendandaninya. Uangnya tentu saja saya daat dari ayah. Istana itu
dibangun Kaiser pada abad XVII untuk seorang gundik yang paling
dicintainya. Di istana ini kemudian Dr. SunYat Sen presiden pertama
Cina, meninggal 1925.
Di sini kami mempunyai 40 pelayan. Saya tidak usah pusing
mengurusinya, karena Wang yang setia bertindak sebagai majordomo. Putra
kedua, saya lahir diistana ini 24 Juli 1923 malam. Wang membangunkan
Wellington untuk memberi tahu.
Tuan, Anda mendapat putra Ketiga.”
Bagus,”jawab Wellington yang segera mengatupkan matanya kembali.
Saya terlalu naif untuk mengharapkan suami saya, memberi penghargaan
atau menunjukkan kepuasan. Lama kelamaan saya insaf bahwa bayi dan anak
anak tidak begitu menarik baginya. (Ketika Wellington sudah menjadi
dubes di Paris, pernah ia berpapasan dengan Junior di jalan, yang sedang
berjalan jalan dengan pengasuhnya. Namun Wellington tidak menegurnya
sepatah kata pun. Setiba di rumah, Junior berkata kepada saya,”Ibu saya
rasa ia tidak mengenal saya.”)
Putra saya yang kedua diberi nama Fu Chang oleh abang sulung
Wellington, tetapi ia sering dipanggil Freeman. Bekas raja Muda India,
Marquess of Wellingdon yang nama aslinya Freeman Freeman Thomas,
memberinya nama demikian. Nama Cina sulit diucapkan olehlidah barat.
Karena itulah suami saya mendapat nama Barat dari guru atau teman, yang
mendekati bunyi nama aslinya. Hui Lan tidak sulit diucapkan , sehingga
saya tidak perlu ganti nama.
Ayah Merasa Lelah
Pada masa itu, kalau sya pulang dari bepergian, saya sering menemukan
jepit rambut perempuan atau bedak di ruang duduk saya. Wellington pun
sering pergi berakhir minggu entah kemana. Di Pihak saya sendiri, tidak
pernah terpikir oleh saya untuk menyeleweng, walaupun saya digoda.
Menurut orang tua tua, tidak pantas saya pergi berbulan bulan ke tempat
ayah, meninggalkan suami. Kalau saja Wellington keberatan, saya tidak
akan pergi berlama lama. Namun ia selalu sibuk dan tidak pernah
kelihatan gembira kalau saya pulang dari mana nana.
Kalau saya kaji kembali sejarah hidup saya, saya hanya pernah sekali
jatuh cinta, yaitu ketika saya masih berumur belasan tahun di Singapura.
Orang tua saya sama sekali tidak setuju pada pilihan saya. Mungkin
mereka benar. Ketika berpuluh tahun kemudian saya bertemu kembali dengan
Siao Kuan, saya juga kecewa.
Ketika saya menemui ayah kembali di Singapura, rumah yang
dijanjikannya belum selesai. Ayah menyewakan serangkaian kamar di
Raffles Hotel. Hampir setiap malam kami makan bersama. Setiap kali saya
hanya berniat untuk tinggal beberapa minggu, tetapi akhirnya menjadi
berbulan bulan. Pada kunjungan ke singapura sekali ini, di luar dugaan,
saya diundang gubernur jenderal ke perjamuan di rumahnya. Saya pikir,
ini kesempatan bagi saya untuk mengajak ayah. Ia senang sekali, sebab
kesempatan seperti ini, tidak bisa dibeli dengan uang. Karena tidak
mempunyai rencana untuk menghadiri perjamuan di rumah gubernur jenderal,
saya tidak membawa perhiasan mahal ke Singapura. Ketika ayah melihat
saya memakai perhiasan biasa, ia masuk ke rumahnya dan ketika kembali ia
melemparkan ke pangkuan saya perhiasan intan yang besanya berpuluh
puluh karat.
Orang Cina yang dundang cuma kami berdua dan Sir Robert Ho tung dari
Hong Kong. Selebihnya orang Inggris. Padahal ayah tidak paham bahasa
Inggris dan ingin duduk di sebelah saya. Saya jelaskan masalahnya pada
ajudan gubernur jenderal, yang lantas menempatkan ayah di sebelah saya.
Malam itu semua berjalan lancar, cuma saja nyonya rumah yaitu Lady
Guillemard mungkin heran melihat pengaturan tempat duduk berubah.
Pulangnya saya mentraktir ayah makan di pecinan. Di sini ia merasa
bebas, sebab tidak ada pengalang bahasa. Ketika kembali ke Cina, saya
bawa perhiasan yang malam itu saya pakai ke Perjamuan. Soalnya, ayah
tidak memintanya kembali. Saya tidak tahu apakah perhiasan itu milik
Lucy Ho atau bukan.
Saya masih bertemu ayah sekali lagi. Suatu ketika ia menulis surat,
memberi tahu villa saya sudah hampir selesai dan saya diminta memberi
saran penyelesaiannya. Saya datang ke Singapura. Pada kesempatan ini
ayah diramal oleh seorang India. Kata orang itu semua orang hanya
mencintai ayah karena uangnya. Cuma ada satu orang yang benar benar
mencintainya. Ia memperingatkan bahwa ada musuh yang akan meracuni ayah.
Saya khawatir dan mengajak ayah meninggalkan Singapura, tetapi ayah
tidak mau. Ia tenang saja. Dengan was was saya meninggalkan ayah. Kata
katanya yang terakhir ketika mengantarkan saya ke kapal adalah,“Hui Lan,
aku lelah.“
Oei Tiong Ham meninggal
Tiga bulan kemudian, saya menerima kawat dari Tjong Swan, yang
memberitahu ayah meninggal tiba tiba akibat serangan jantung pada 6 Juni
1924. Inilah awal masa suram bagi saya. Selama ia hidup, saya tahu saya
aman. Bukan hanya dalam hal keuangan, tetapi lebih dari itu. Selama ada
ayah, tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap saya.
Saya memberitahu ibu di London dan mengajaknya menghadiri pemakaman.
Ibu menolak, saya takut pergi sendiri. Jadi, Wellington menyarankan saya
membawa Wang, majordomo kami yang setia dan seorang pelayan perempuan
ke Singapura. Peti Jenazah sudah ditutup, dikelilingi orang orang yang
benar benar asing buat saya, yaitu teman teman Lucy Ho. Saya insaf,
sekarang saya orang luar.
Mengingat ramalan orang india beberapa waktu lalu, saya meminta
jenazah ayah diautopsi, sebab saya curiga Lucy Ho meracuninya. Namun
menurut penasihat hukum di Singapura, sebagai anak perempuan almarhum
saya tidak berhak meminta autopsi terhadap jenazah ayah. Kalau ibu
hadir, dia lah yang berhak memintanya.
Tjong Wan dan Tjong Hauw mengatur pemakaman yang akan dilakukan di
Semarang. Jenazah ayah diangkut dengan kapal. Tjong hauw mengosongkan
rumahnya supaya bisa saya tempati. Ia sendiri mengungsi ke rumah lain.
Sebagai anak istri sah, saya duduk di kerta pertama yang mengiringi
jenazah ke pemakaman. Swan, Hauw , dan para putra ayah dari gundik
gundiknya berjalan di belakang kami. Pemakaman dilaksanakan tanpa biksu.
Saya merupakan orang pertama yang diminta melemparkan tanah ke liang
lahat. Untuk mencegah pertemuan dengan Lucy Ho dan anak anaknya, saya
segera meninggalkan tempat itu.
Saya diberitahu bahwa Lucy Ho dan anak anaknya berani pindah ke
istana kami, tetapi hal itu sudah tidak berarti apa apa lagi buat saya.
Saya bahkan tidak sampai hati melihat rumah itu lagi. Saya tinggal
beberapa hari di Semarang untuk menjenguk keluarga ibu. Mereka menjamu
saya di sebuah hotel, yang paling baik di Semarang sehingga saya merasa
terharu.
Ayah memberi saya warisan yang dijanjikannya. Ibu mendapat beberapa
juta dollar dan Tjong Lan mendapat satu juta dollar. Namun perusahaan
ayah dibagi antara Tjong Hauw, Tjong Swan dan Lucy Ho. Saya yakin kalau
ibu datang, ia bisa membatalkan surat wasiat ayah. Swan setelah upacara
berkabung selesai, segera menjual bagiannya kepada Hauw dan Lucy Ho.
Kemudian Swan pindah ke Belanda.
Hauw memang sudah dekat dengan Lucy Ho dan lebih dekat lagi sejak
Lucy Ho pindah ke Jawa. Mereka sudah meninggal sekarang. Saya dengar
Lucy Ho meninggal di Swiss akibat kanker. Swan meninggal akibat infeksi
gigi yang ditelantarkan dan pada 1951 Hauw pun meninggal di Jakarta
karena serangan Jantung.
Bisnis ayah di Indonesia diam diam diambil oleh Jepan dan sisanya
kemudian diambil oleh pemerintah Soekarno. Belum lama ini saya dengar,
warisan yang saya terima dari ayah masih berada atas nama saya. Suatu
ketika mungkin saya bisa menjualnya.
Tahun 1936;Wellington menjadi dubes cina pertama untuk Prancis. Saya
pergi ke Paris, meninggalkan banyak harta benda saya di Cina. Saya juga
meninggalkan perhiasan almarhumah isteri Wellington di sebuah bank di
Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka, Pat, kalau
Pat sudah dewasa. Tidak terpikir oleh kami kalau semuanya akan amblas,
karena Cina kemudian dikuasai oleh Komunis.
Diundang Ibusuri
Musim dingin 1943 Wellington dijadikan dubes di London. Kami berteman
baik dengan Menteri Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM
Churchill, kemudian juga oleh PM Attlee. Suatu hari saya mendapat
undangan dari Ibu Suri Mary. Kemudian saya balas mengundangnya untuk
makan malam di kedubes kami.
Tinggal di rumah bekas penemu telepon
Kami bisa mengadakan perjamuan megah dsb, berkat uang warisan dari
ayah, sebab apara duta besar waktu itu cuma US$ 600 sebulan, ditambah
tunjangan perjamuan, rumah , supir dan pelayan kami peroleh dengan
gratis.
Pakaian saya selalu saya usahakan dari kain sulaman cina kuno yang
saya jdikan pakaian modern,tetapi dengan sentuhan cina. Baru setelah
kain kain cina itu usang di masa perang dan saya tidak lagi
mendapatkannya lagi, saya berganti berpakaian eropa.
Teman baik saya semasa di London adalah Joseph Kennedy, Jr. Sayang,
ia gugur dalam perang. Kalau tidak , pasti ia menjadi menjadi presiden
AS.
Saya ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina
Mountbatten di masa perang itu. Saya menjalankan tugas2 saya dengan
tertib. Perkara ketertiban saya bsia diandalkan, sebab ibu dan ayah
sangat menetapi waktu. Berbeda dengan Wellington yang terlambat melulu.
Tahun 1945, putra saya Freeman ingin menjadi tentara nasionalis cina.
Saya meminta Wellington mempergunakan pengaruhnya. Freeman pun menjadi
ajudan seorang jenderal. Hal ini bisa tejadi antara lain karena
kefasihan Freeman berbahasa Inggris.
Tahun 1946 Wellington menjadi dubes cina untuk AS. Kedubes cina di
washington tadinya rumah penemu telepon Alexander Graham Bell. Tetangga
di sebelah rumah saya adalah Marjorie Merriweather Post yang kaya raya
itu. Kalau mengundang saya ke pestanya ia selalu berpesan,”Jangan ajak
Wellington.”Hubungannya dengan suaminya pun tidak baik, ketika itu, ia
bersuamikan Davies.
Pada masa Wellington menjadi dubes AS ini, Madame Chiang Kai Shek
(isteri presiden Cina Nasionalis) pernah menjadi tamu kami. Ia boleh
dikatakan tidak mengenakan perhiasan dan makanan permintaannya sederhana
sekali. Karena suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, madame Chiang
yang mendapat pendidikan di AS itulah yang diutus ke AS untuk berpidato
di hadapan kongres. Menurut saya, Chiang pun orang yang sederhana dan
makannya sedikit sekali. Lingkungannyalah yang brengsek.
Kami juga berhubungan baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan
isterinya yang bijaksana itu. Kami sempat menghadiri upacara pelantikan
presiden Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.
Ibu pernah tinggal bersama saya, tetapi kemudian menderita kanker
sehingga harus dirawat di sebuah rumah sakit di New York. Ketika ibu
meninggal tidak lama kemudian, Wellington mengusahakan pemakaman yang
paling megah, yang dihadiri oleh para pejabat cina dan para dubes.
Sembahyangan dilakukan dengan pimpinan biksu, saya merasa sangat
kehilangan sampai lama sekali.
Hari Mendung tiba.
Berkat intrik dari orang yang sebenarnya dekat dengan kami,
Wellington ditarik pulang. Ketika itu pemerintah Cina Nasionalis sudah
pindah ke Taiwan. Saya membawa beberapa pakaian dan mobil saya
meninggalkan Wellington dan kedubes. Ketika itu tahun 1956. Sudah
sepuluh tahun kami tinggal di Washington. Saya menyewa apartemen di
Sutton Palace, New York, tempat saya hidup ditemani dua anjing peking
saya. Waktu itu saya belum tahu bagaimana caranya menyalakan oven
ataupun merebus telur, jangankan lagi memasak. Wang ikut dengan
Wellington, sedangkan kedua pelayan saya memilih bekerja di tempat lain
sementara koki kami membuka restoran.
Kemudian saya belajar memasak dari Pat, putri tiri saya yang dulu
rajin memperhatikan koki kami memasak. Kini saya bisa memasak ayam
dengan paprika, tim ikan dengan tausi dan pelbagai macam makanan dar
bahan laut. Saya pun mencari perabotan praktis saja. Saya masih memiliki
beberapa perabot yang dulu saya beli dan juga pemberian ibu. Perhiasan
saya, saya taruh di bank, tetapi sebagian saya simpan di rumah.
Suatu hari sepulang mengajak anjing saya berjalan jalan, saya
disergap perampok. Dua orang bule itu mengikat kaki dan tangan saya dan
membuntal saya dengan selimut seperti lumpia saja. Mereka tampaknya tahu
betul dimana saya menyimpan perhiasan saya. Perhiasan senilai
seperempat juta dollar itu amblas mereka gondol.
Setelah perang usai, sulit sekali mengurus rumah rumah kami di
pelbagai tempat di eropa. Dengan susah payah berhasil juga saya
menjualnya, walaupun dengan harga murah. Saya mengagumi Ny. Kung,
seorang Methodist yang tabah. Ia menghibur saya,“Apa pun milik kita yang
hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda tidak akan terpengaruh.“
Pesta sudah berakhir
Kini saya jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan. Kalaupun
sekali2 saya hadir, saya tidak sakit ditempatkan di bagian meja mana
pun, asal jangan di kolongnya.
Saya merasa masih beruntung sebab Pat, anak anak saya, dan cucu cucu
saya semua tetap hormat dan mendengarkan kata kata saya. Putra Sulung
Wellington masuk AU Nasionalis dan berada di Taiwan. Ketika salah
seorang putra saya sakit dan gundiknya menjenguk ke rumah sakit, saya
memukul kepala perempuan itu dengan payung. Putra saya mungkin tidak
senang, tetapi ia tidak berani berbuat apa apa, sebab saya ibunya.
Menantu saya, Edith, sangat berbakti terhadap saya. Kalau ayah mertuanya
mengundang ia makan, ia selalu permisi dulu kepada saya sebelum
menghadirinya. Wellington tinggal di Mount Vernon bersama seorang
perempuan yang diperkenalkannya kepada semua orang sebagai isterinya,
tetapi saya tetap menganggapnya sebagai gundiknya, sebab saya tetap Ny.
Wellington Koo yang sah.
Saya merasa mempunya pertalian emosional dengan Indonesia tempat saya
dilahirkan. Ayah tidak pernah mengajari saya berbisnis. Pada tahun 1968
saya pernah mencoba melaksanakan bisnis di Indonesia bersama dua
rekanan perempuan Timur. Kami ingin mengusahakan perkapalan, tembakau
dan sepeda tetapi gagal.
Kini saya berpendapat, berkenalan dengan kaum ningrat dan orang
berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadian lebih penting. Kita bisa
menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bis mendapat kesenangan
dari sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya
menghargai orang orang lain dan hidup ini. Seperti kata ibu, kita harus
puas dengan yang kita miliki.
Tjong Lan sudah meninggal di New York tahun 1970. Suaminya meninggal
setahun sebelumnya. Banyak teman baik saya pun sudah meninggal, tetapi
saya banyak mendapat teman baru yang masih muda. Saya sering mengenang
anjing anjing saya yang sudah mati, yang memberi saya cinta kasih dan
kebahagiaan pada tahun tahun terakhir. Saya harap suatu waktu kelak
mereka akan dilahirkan lagi. Kalau demikan halnya, saya yakin kami akan
saling mengenali.
Catatan Redaksi: Oei Hui Lan masih bisa memberi kata pendahuluan
untuk buku Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, Maret
1978. Ketika itu Hui Lan masih menjadi Chief Executive Amerabia
Corporation.
Inilah akhir dari sebuah pelajaran hidup yang lantas menjadi sebuah
sejarah yang patut kita simpan dan jadikan bagian dari kehidupan yang
mempunyai arti jika harta bukanlah nyawa dalam sebuah kehidupan yang
bahagia.
Bila di Jawa kita mengenal Oei tiong ham. maka di sumatra juga punya kisah tragis yang lebih menyentuh bak telenovela namun ini
adalah kisah nyata. Tahun 2010 ini, rencananya kisan tjong a fie akan
menjadi buku seri biografi sejarah saya yang ke dua setelah oei hui
lan. sebelum membaca kisahnya lebih lengkap, ada baiknya anda membaca
sedikit kisah ini. Sebuah pelajaran penting memaknai arti sebuah
kekayaan yang bernilai tentang berbagi namun takdir bisa mengubah
segalanya.
Tahun 1981, Queeny Chang, Putri Tjong A Fie, menerbitkan buku riwayat
hidupnya. Tentu saja ia banyak bercerita perihal ayahnya, seorang
hartawan yang masih diingat masyarakat luas di Sumatera Utara dan
Semenanjung Tanah Melayu sampai kini. Menurut H. Yunus Jahja, semasa
kanak-kanak di Medan ustad kenamaan K.H. Yunan Helmy Nasution belajar
mengaji di salah satu mesjid sumbangan Tjong A Fie yang juga mendirikan
berbagai kuil, gereja dan sekolah.
Pada tahun baru Imlek 1902, ayah mengadakan resepsi tahun baru di
rumah kami. Saat itu saya berumur 6 tahun. Ibu memakaikan saya sarung
kebaya. Rambut saya yang botak di beberapa tempat akibat baru sembuh
dari tifus, disanggul dan diberi beberapa tusuk sanggul berhiaskan
intan. Berlainan dengan ibu, saya tidak cantik. Wajah saya pucat dan
persegi. Mata saya sayu, bulu mata saya jarang dan alis mata saya tipis
berantakan.
Ibu saya mengenakan kebaya dan songket. Rambut ibu yang hitam
berkilat dihiasi sederet tusuk sanggul intan dan sekuntum bunga dari
intan pula. Pada kebayanya disematkan kerongsang, yaitu bros yang
terdiri atas tiga bagian. Yang paling atas berbentuk merak sedang
mengembangkan ekornya. Dua yang lebih kecil bentuknya bulat. Perhiasan
bertatah intan itu sedang mode di kalangan perempuan di Penang dan
Medan.
Dalam resepsi itu, ibu berdiri di sampin ayah. Sikapnya sangat anggun
di antara tamu-tamunya yang terdiri atas orang orang terkemuka pelbagai
bangsa. Ia sadar akan kedudukan ayah sebagai pemuka golongan cina dan
bertekad tidak akan memalukannya. Kalau bercakap-cakap dengan orang
asing, ibu berbahasa Melayu dengan fasihnya.
Ayah memegang sebelah tangan saya saat mengucapkan terima kasih
kepada para tamu yang memberi selamat. Residen Belanda yang mengangkat
saya tinggi-tinggi dan mencium kedua belah pipi saya. Permaisuri Sultan
menggendong saya. Mereka tahu ayah sangat mencintai saya dan akan
membatalkan resepsi ini kalau saya belum sembuh.
Walaupun ayah memangku jabatan sebagai Luitenant der Chinezen, tetapi
sebenarnya ia tidak pernah mendapat pendidikan formal. Begitu juga
paman saya, Tjong Yong Hian, yang menjadi kapitein der Chinezen.
Kulit Coklat Membawa Rezeki
Ayah saya meninggalkan toko kelontong ayahnya di daratan Cina, ketika
ia berusia 18 tahun. Ia menyusul kakaknya, Yong Hian, ke Sumatra.
Bekalnya Cuma 10 dolar perak uang Manchu yang dijahitkan ke ikat
pinggangnya. Tahun 1880 setelah berlayar berbulan bulan dengan Jung, ia
tiba di Labuhan, kota kecil di pantai timur Sumatra. Didapatinya
kakaknya sudah menjadi pemuka golongan cina dengan pangkat Luitenant.
Paman mencarikan pekerjaan bagi ayah. Ayah bekerja di toko kelontong
Tjong Sui Fo. Pemilik toko itu tertarik pada ayah memberi kesan jujur
dan berani. Apalagi karena ia percaya bahwa orang yang kulitnya
kecoklatan seperti ayah saya memiliki rezeki besar.
Ayah bekerja serabutan mengurusi pembukuan, melayani para pelanggan
di toko, menagih rekening dan melakukan tugas tugas lain. Majikannya
puas, karena uangnya tidak tekor sesen pun. Lagipula para pelanggan yang
biasanya sulit membayar, bisa dibujuk ayah untuk melunasi
utang-utangnya.
Ayah saya pandai bergaul, dengan orang Melayu, Arab, India maupun
dengan orang Belanda yang menjajah negeri ini. Ia belajar berbahasa
Melayu, yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan masyarakat pelbagai
bangsa di kawasan ini.
Tjong Sui Fo merupakan pemasok barang untuk penjara setempat. Ayah
sering mengantarkan barang ke sana dan sempat mendengarkan keluhan para
tahanan. Banyak orang Cina ditahan bukan karena melakukan kejahatan,
tetapi karena bergabung dalam Serikat Rahasia (Triad). Ayah bersimpati
kepada mereka, tetapi ia mencoba menjelaskan bahwa keanggotaan dalam
perserikatan itu dilarang oleh hukum.
Lama kelamaan ia mendapat kepercayaan dari berbagai pihak dan
disegani di Labuhan. Masyarakat Cina meminta kepada penguasa Belanda
agar mengangkat ayah menjadi Wijkmeester (bek, kepala distrik) bagi
orang orang Cina. Permintaan ini dikabulkan. Ayah pun berhenti dari
Tjong Sui Fo, tetapi tidak pernah melupakan budi mantan majikannya.
Ayah berkantor di Medan. Kantornya ini sebuah bangunan kayu beratap
rumbia. Masa itu ayah sudah menikah dengan putri keluarga Chew, suatu
keluarga yang terkemuka di Penang dan merupakan pionir pula seperti
ayah. Ketika mereka sudah mempunyai tiga orang anak, isterinya yang baru
berumur 32 tahun meninggal. Sebagai duda berumur 35 tahun, ayah menikah
lagi. Sekali ini dengan seorang gadis berumur 16 tahun, ibu saya.
Terkenal Galak
Ibu saya, Lim Koei Yap, dilahirkan tahun 1880 di Binjai dan tidak
pernah bersekolah. Ia tinggal di perkebunan tembakau karena ayahnya
kepala manddor di Sungai Mencirim, salah sebuah perkebunan di Deli.
Kakek saya memimpin ratusan kuli kontrak, kebanyakan Cina perantauan.
Nenek saya keras dan kolot. Ia menganggap seorang gadis hanya perlu
belajar memasak dan mebuat kue, sebab tempat perempuan katanya di dapur.
Ibu saya berjiwa pemberontak. Ia sering merasa dirinya lebih pandai
daripada saudara saudarnya yang laki-laki Kalau sedang bertengkar, ia
sering berkata ,“Lihat saja nanti, saya pasti akan melebihi kalian
semua!“ Saudara-saudaranya biasa menjawab ,“ Kamu kira siapa sih kamu ?
Istri Tjong A Fie?“ Tidak seorang pun menyangka hal itu akan menjadi
kenyataan.
Ibu mencapai umur untuk menikah tanpa pernah dilamar orang. Namun
suatu hari kakek didatangi salah seorang comblang dari Medan. Ibu saya
dilamar Tjong A Fie.
Kakek merasa sungguh-sungguh mendapat kehormatan, tetapi ia was-was.
Perbedaan umur antara Tjong A Fie dan putrinya terlalu besar. Namun di
Pihak lain ia ingin cepat-cepat menikahkan putrinya yang terkenal galak
ini. Ia sangsi kesempatan baik ini akan terulang.
Ayah mengaku mempunyai seorang istri di daratan Cina, isteri pilihan
orangtuanya yang tdiak bisa ia ceraikan, dan yang kini merawat ibunya
yang sudah tua, sehingga tidak bisa menyertainya ke Sumatra. Ayah juga
mengaku baru kematian istrinya yang lain, yang meninggalkan tiga orang
anak, yang seorang anak laki laki berumur 15 tahun dan dua anak
perempuan berumur 12 dan 11 tahun. Ibu menghargai kejujuran ayah dan mau
menerima lamaran ayah, asal ayah berjanji tidak akan beristri lain.
Ayah menerima syarat itu.
Beberapa bulan setelah mereka menikah, ayah naik pangkat sehingga ibu
dianggap membawa rezeki. Saya lahir dua belas bulan setelah mereka
menikah dan mendapat nama Fuk Yin. Kemudian saya ditinggalkan bersama
seorang pengasuh karena ayah membawa ibu ke daratan Cina untuk
dipertemukan dengan nenek di Desa Sungkow.
Menurut ibu, ia dimanjakan mertuanya, yang menyebutnya menantu saya
yang di perantauan. Dengan sebutan ini nenek ingin menjelaskan bahwa
tempat ibu saya adalah di samping ayah saya, sedangkan ibu Lee, yaitu
isteri ayah yang di Sungkow, bertugas merawat rumah ayah di sanan dan
mengawasi sawah. Nenek yang autokratik tahu bagaimana cara membuat dua
menantu berdamai di bawah satu atap. Masing-masing diberi penjelasan
bahwa tugas mereka sama pentingnya. Ibu Lee bangga dan puas karena
dipercaya mengurus harta suaminya.
Ibu yang Galak dan Memeh yang Manis.
Setelah saya mempunyai seorang adik laki-laik, Fa Liong kami pindah
ke rumah baru (kini rumah no. 105 di Jl. Jenderal A. Yani, Medan). Di
mata saya rumah itu rasanya besar dan bagus sekali. Dalam upacara pindah
rumah, ibu menggendong Fa Liong sedangkan saya dibimbing seorang
perempuan jangkung berpakaian gaya Cina. Saya tidak tahu siapa dia.
Karena saya tidak bisa diam, ibu melotot dan menjewer saya.
Sebaliknya perempuan berpakaian cina itu manis sekali terhadap saya. Ibu
menyuruh saya memanggilnya Memeh (Ibu). Saya juga disuruh memanggil
kakak kepada seorang pemuda berusia 19 tahun yang baik sekali kepada
saya dan kepada dua orang gadis.
Perempuan dan ketiga orang yang saya panggil kakak itu tinggal di
rumah kami. Saya pikir, mereka kerabat kami yang baru datang dari Cina
dan belum mempunyai rumah sendiri. Kami biasa makan bersama sama. Memeh
selalu memilih daging ayam yang paling empuk untuk ditaruh di mangkuk
nasi saya. Kadang-kadang saya tidru dengannya dan mendengarkan
dongengannya. Memeh dan ibu selalu tampak bercakap-cakap dengan gembira.
Saya berharap Memeh dan ketiga kaka tinggal selamanya dengan kami,
karena saya merasa berbahagia bersama mereka.
Saya tidak tahu berapa lama saya hidup berbahagia seperti itu.
Mungkin setahun,mungkin beberapa bulan. Tahu-tahu suatu malam saya
terbangun karena mendengar ibu dan Memeh berteriak-teriak marah. Saya
dengar ibu mengancam Memeh,“Kalau kamu berani mendekat, kamu akan
berkenalan dengan pisauku.“
Kemudian ibu masuk ke kamar saya. Ia memakaikan mantel pada saya,
lalu diangkatnya adik dari tempat tidur. Diseretnya saya ke luar dari
pintu belakang, menuju jalan yang sudah sepi. Ketika saya menangis, ibu
menampar saya. Kebetulan di muka rumah kami lewat kereta yang dihela
oleh kuda. Dengan kendaraan itu kami pergi ke tengah perkebunan
tembakau. Kereta dihentikan di sebuah rumah kayu beratap rumbia yang
diterangi lampu minyak. Ternyata itu rumah kakek dan nenek. Ibu minggat
dari rumah !
Ibu tidak mau menjumpai ayah dan tidak mau pulang, sehingga kakek dan
nenek kewalahan. Kakek meminta ayah membiarkan ibu sampai marahnya
reda. Beberapa bulan kemudian, kami dijemput ayah dengan kereta terbuka
yang dihela kuda putih. Saat menjemput kami itu ayah mengenakan seragam
upacara Luitenant der Chinezen, seperti yang biasa dipakainya kalau
diundang ke tempat residen atau sultan. Tiba di rumah, saya tidak
menemukan Memeh maupun ketiga kakak. Mereka sudah pergi. Ibu menuntut
mereka dipulangkan ke Sungkow. Saya baru tahu bahwa Memeh adalah ibu
Lee, istri ayah dari daratan Cina, sedangkan ketiga kakak adalah
anak-anak almarhumah Ibu Chew. Saya tidak pernah lagi melihat memeh dan
kakak saya yang laki-laki tetapi kedua kakak perempuan saya kemudian
kembali dalam kehidupan saya.
Ibu Belajar menulis dan membaca.
Ketika umur saya tujuh tahun, saya mendapat izin khusus dari residen
untuk belajar di seklah anak-anak belanda. Sebelumnya ibu meminta saran
dan kenalannya, isteri seorang hakim Belanda, perihal pakaian apa yang
sepatutnya saya kenakan ke sekolah. Saya mendapat celana dalam sepanjang
lutut yang dihiasi renda. Rok dalam katun yang dihiasi pula dan rok
terusan sepanjang lutut dan berlengan pendek. Rasanya aneh sekali,
karena sangat berbeda dengan pakaian anak cina dan anak pribumi, yang
selam ini biasa saya kenakan.
Hari pertama, saya diantar ayah ke sekolah. Saya tidak bisa berbahasa
Belanda sepatah pun, tetapi karena umur saya sudah tujuh tahun, saya
diterima langsung ke kelas dua. Supaya bisa mengikuti pelajaran, saya
disarankan mendapat pelajaran tambahan. Saat saya les di rumah, ibu
selalu mengawasi saya dengan cermat dan galak, sambil mengunyah sirih.
Ibu selalu menjaga agar dandanan saya rapi setiap pergi ke sekolah.
Pita di rambut saya selalu rapi disetrika. Kalau ada pesta, pakaian saya
selalu yang paling indah. Ibu ingin saya merasa tidak lebih rendah
daripada gadis-gadis Belanda. Ia tidak perlu kuatir, sebab saya mudah
bergaul dan segera dianggap sebagai salah seorang dari mereka.
Ibu bukan cuma memaksa saya belajar, tetapi ia sendiri juga belajar
bercakap cakap dalam bahasa Belanda dari seorang guru perempuan. Ia
bahkan belajar menulis. Mula-mula bacaannya cuma dongeng-dongeng, tetapi
kemudian ia giat membaca tulisan tulisan yang lebih rumit, seperti
etiket pergaulan. Ia ingin bisa berbicara dan bersikap seanggun
wanita-wanita asing.
Rupanya ia berbakat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ia pantas
bersarung kebaya yang menyempatkan ia mengenakan
perhiasan-perhiasannya, tetapi dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri
wanita-wanita Eropa, ia mengenakan rok. Seleranya baik. Ia tidak pernah
tampak terlalu mencolok. Tidak ada yang menyangka tadinya ia gadis
dusun.
Ketika saya belajar bermain piano dari Maestro Paci, ia belajar
menyanyi dari Ny. Paci, seorang penyanyi profesional. Dalam
pertemuan-pertemuan akrab di rumah kami, kadang-kadang ibu bernyanyi.
Sayang ia berhenti belajar ketika suami isteri Paci meninggalkan Mean.
Ketika saya berumur 10 tahun kami mendapat kabar kalau Memeh
meninggal. Seminggu setelah itu kakak saya yang laki-laki pun meninggal
karena TBC. Padahal ia baru setahun menikah dan meninggalkan seorang
bayi laki-laki. Ibu menyuruh saya dan Fa Liong berkabung untuk Memeh.
Setahun lamanya saya hanya mengenakan pakaian putih dan biru. Rambut
saya diberi pita biru dan kuncir adik saya diikat dengan benang biru.
Tidak lama setelah kematian kakak, ibu melahirkan seorang bayi
laki-laki lagi, Kian Liong yang diterima ayah dengan linangan air mata.
Hadiah-hadiah mengalir dari para pedagang Cina, berupa perhiasan emas
berbentuk naga, singa, unicorn, kalung, gelang kaki yang digantungi bel
bel kecil. Sulthan menghadiahkan model miniatur istananya yang ditaruh
di kotak kaca. Kursi, meja, pepohonan dan bunga-bunga miniatur pada
model itu dihiasi intan kasar. Sementara orang-orang Eropa memberi
perlengkapan piring mangkuk perak dengan sendok garpunya, sedangkan
orang-orang Arab dan India memberi perhiasan emas gaya mereka sendiri.
Bertemu Belanda “Butut”
Mobil kami yang pertama adalah sebuah Fiat convertible. Kami
menyebutnya motor kuning karena warnanya kuning. Saya tidak tahu betapa
kayanya ayah, sampai suatu hari ia memberitahu ibu bahwa ia membeli
perkebunan karet Si Bulan. Administraturnya seorang Belanda, Meneer
Kamerlingh Onnes. Tadinya pria Belanda itu pembuat onar dalam
keluarganya, yaitu keluarga terkemuka dan terhormat di negerinya. Ia
dikirim ke Hindia Belanda untuk bekerja di perkebunan, tetapi
berkali-kali dipecat.
Ayah menemukannya sedang duduk melamun menghadapi gelas kosong di
hotel Medan. Belum pernah ayah melihat seorang kulit putih berpakaian
compang camping dan bersepatu butut seperti itu, sehingga ayah ingin
tahu siapa dia dan mengapa bisa sampai begitu. Setelah mendengar
ceritanya, ayah terkesan oleh kejujurannya dan menawarkan pekerjaan
sebagai administratur perkebunan. Tidak pernah kedua orang itu merasa
menyesal.
Ketika usaha ayah di bidang perkebunan maju, Meneer Kammerlingh Onnes
diserahi menjadi kepala pengawas semua perkebunan itu: Perkebunan
karet, kelapa , teh. Ayah merupakan orang Cina pertama yang memiliki
perkebunan-perkebunan karet di daerah ini dan yang pertama pula
memperkerjakan orang-orang Eropa.
Keturunan Pesilat dan Bajak Laut
Paman saya Tjong Yong Hian dan ayah mendirikan sekolah dan rumah
sakit tempat orang-orang yang kurang mampu bisa mendapatkan perawatan
gratis. Mereka menyumbang kelenteng-kelenteng, gereja-gereja,
mesjid-mesjid, maupun kuil-kuil Hindu. Mereka pun mengirimkan sumbangan
ke daratan Cina untuk korban paceklik dan banjir. Mereka mendirikan
sekolah-sekolah untuk anak-anak petani di desa kelahiran mereka. Mereka
membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan dan bahkan membuka perusahaan
kereta api Chao Chow dan Swatow dekat tepat kelahiran mereka, sehingga
paman yang lebih ambisius mendapat gelar kehormatan Menteri
Perkeretaapian dari pemerintah Mancu dan diterima beraudiensi oleh
Kaisar Janda Cixi. Kalau ia naik tandu ke desanya, di depan tandunya
selalu ada pembuka jalan yang menabuh gong dan pendudukpun berlutut di
tepi jalan.
Namun paman meninggal tidak lama kemudian. Ayah menggantikannya
menjadi Kapitein der Chinezen. Ketika itu saya sudah lulus SD dan
mendapat tambahan adik laki-laki lagi, Kwet Liong. Ayah mengusahakan
agar kakek saya dari pihak ibu menjadi Luitenant der Chinezen di kota
minyak Pangkalan Brandan. Pengangkatan ini pasti dipergunjingkan orang,
tetapi ayah merasa ia mempunya alasan. Untuk menguasai orang-orang Cina
di tempat itu diperlukan orang kuat. Mereka kebanyakan Hai Lok Hong
yaitu keturunan para pesilat dan bajak laut, sedangkan kakek saya
sendiri seorang Hai Lok Hong. Akhirnya, semua orang puas dengan pilihan
ayah.
Dijodohkan
Ayah saya menyediakan tanah untuk sekolah Metodis di Medan, yang
diurus keluarga Pykerts. Keluarga ini sendiri tinggal di Penang. Kalau
sedang berada di Medan, mereka tinggal di rumah peristirahatan milik
ayah di Pulu Branyan. Di Tempat ini ayah mempunyai kebun binatang. Kami
bukan hanya memelihara burung seperti kakaktua atau kasuari, tetapi juga
ular, jerapah, zebra, kangguru dan keledai kelabu.
Kemudian keluarga Pyketts mengundang kami ke Penang. Ibu memenuhi
undangan itu dengan mengajak Fa Liong, Jambul (Kian Liong) dan saya.
Dalam salah satu perjamuan yang diadakan keluarga Pyketts di Penang
ini , kami berjumpa dengan seorang wanita cantik yang sangat fasih
berbahasa Inggris. Ternyata ia Ny. Sun Yat Sen yang singgah dalam
perjalanan ke Cina. Sun Yat Sen adalah presiden pertama Republik Cina.
Ia dipuja oleh Cina Komunis maupun Nasionalis.
Pernah orangtua saya berniat menyekolahkan saya ke Belanda. Namun
setelah saya lulus dari SD, hal itu tidak pernah disebut sebut lagi.
Saya malah disuruh belajar memasak dan menjahit, dua hal yang tidak
mampu saya lakukan dengan baik sehingga saya terus menerus dimarahi ibu.
Suatu malam, kakak saya berlainan ibu, Song Yin memberitahu saya
bahwa saya sudah dipertunangkan dengan seorang pria dari daratan Cina.
“Apa? Dipertunangkan?” tanya saya. “Ibu tidak memberitahu saya. Saya
akan dinikahkan dan pergi ke Cina?” Malam itu Song Yin mengajak saya ke
kamar ayah kami. Dari lemari ia mengeluarkan sehelai foto yang
memperlihatkan seorang pemuda Cina dalam pakaian tradisional dan
berkopiah. Wajahnya tampan, tetapi pakaian itu membuat ia tampak tidak
menarik bagi saya. Song Yin membuka lipatan sebuah saputangan sutra
merah dan didalamnya terlihat sepasang gelang emas berukuir aksara Cina.
Ini calon suamimu dan gelang emas ini tanda pertunangan. Paman kita
yang mengatur pernikahan ini tiga tahun yang lalu, ketika kamu baru
berusia 13 tahun,” katanya, ayah kami harus menurut kata-kata kakaknya
dan janji yang sudah dibuat tidak boleh diingkari.
“Mengapa bukan kakak Fo Yin saja yang dijodohkan dengannya?” tanya
saya. Fo Yin adalah anak angkat paman. “Fo Yin lebih tua,”jawab Song
Yin. Ia membujuk saya,”Jangan sedih, Dik. Kamu akan menjadi menantu
orang yang sangat kaya dan sangat dihormati.
Lebih Suka Main boneka daripada Menjadi Pengantin.
Saya mulai belajar bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dari Mrs.
Smith, seorang perempuan Australia dan melanjutkan belajar memainkan
piano. Ternyata keluarga calon suami saya, keluarga Lim, ingin
pernikahan kami tidak ditunda-tunda lagi. Menurut peramal tanggal tiga
bulan sepuluh pada tahun tikus (1912) merupakan tanggal dan tahun baik.
Teman saya, Minnie rahder, putri residen, terpesona melihat kamar
pengantin yang dipersiapkan untuk saya. “ Kau gadis yang bahagia,”
katanya. Padahal saya lebih menghargai kiriman boneka dari Sinterklas
yang matanya bisa dipejam dan terbuka.
Orangtua saya menyediakan bekal pernikahan yang berharga, sebab anak
perempuan yang tidak dibekali secukupnya akan dhina oleh keluarga
suaminya.
Calon pengantin pria tiba diiringi 12 pengantar yang terdiri atas
pamannya, seorang governess (guru pribadi)Amerika, seorang sekretaris
berkebangsaan Eropa, seorang sekretaris Cina, empat pelayan, seorang
koki dan seorang budak perempuan untuk melayani governess. Mereka
ditempatakan di Pulu Branyan yang akan menjadi kediaman sementara kami
sebelum berangkat ke Cina.
Fa Liong yang saat itu berumur dua belas, ikut ayah menjemput mereka.
Ketika kembali, ia berkata kepada saya,“Kak, calon suami kakak sama
tingginya dengan saya. Pasti ia cuma sepundak kakak.“
“Bohong! Dia kan sudah berumur dua puluh,” kata saya.
“Masa bodoh kalau tidak percaya. Pokoknya, dia pendek,” saya jadi
kuatir. Ganjil betul kalau pengantin perempuan jauh lebih tinggi
daripada suaminya.
Saya dengar ibu bercerita kepada bibi bahwa paman calon pengantin
pria mengatakan: pelayan pelayan yang dibawa oleh pengantin perempuan
langsung dianggap selir pengantin pria. Tentu saja ibu saya protes. Anak
saya dilahirkan di negara yang diperintah oleh seorang ratu dan kami
disini hanya boleh punya satu istri !” Konon paman pengantin pria tidak
tersenyum mendengar protes ibu. Untuk mencegah hal-hal yang tidak
diinginkan, ibu tidak jadi membawakan dua pelayan perempuan bagi saya,
padahal mereka sudah didatangkan dari desa ayah.
Terakhir Kali main Kuda-kudaan.
Malam sebelum hari pernikahan saya, Fa Liong mengajak saya bermain
kuda kudaan, seperti sering kami lakukan kalau ibu sedang tidak berada
di rumah. Saya memasang tali kendali di bahu Fa Liong, lalu ia berlari
dan saya mengikutinya sambil memegang kendali dan cambuk mainan.
Sementara itu kami berteriak-teriak sambil saya mengejarnya di kebun dan
di dalam rumah.
Pesta pernikahan saya dihadiri antara lain oleh Sulthan dan residen.
Lalu tibalah saatnya saya dibiarkan berduaan saja dengan suami saya.
Saya merasa canggung. Saya hanya bisa berbahasa Hakka bercampur melayu.
Suami saya hanya bisa berbahasa Hokkian. Berkat Mrs. Grey, governess
suami saya, bahasa Inggris saya maju pesat selama kami berada di P.
Branyan. Sebenarnya suami saya lebih suka kalau saya belajar berbahasa
Hokkian,sebab ibunya hanya paham bahasa itu.
Sebulan kemudian kami melakukan kunjungan perpisahan, antara lain
pada Sulthan Deli yang memanggil saya,”Putriku”, Permaisuri mendekap
saya, seakan-akan saya mash gadis kecil yang dulu sering bermain ke
istananya. Sultan dan permaisurinya menjamu kami. Sejak kecil saya
sering datang ke istanan, sehingga saya tidak merasa asing di sana.
Tidak demikian dengan Mrs. Grey, governess suami saya yang terkesan
sekali melihat perhiasan yang dikenakan sultan dan keluarganya.
Akhirnya, tibalah saatnya untuk meninggalkan ayah, ibu , adik-adik dan
semua yang saya kenal.
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak
keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan
pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata
orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“
menantu barbar
Ketika kami turun dari kapal di Amoy, banyak sekali orang menyambut.
Bunyi petasan memekakkan telinga. Saya diapit oleh empat penyambut
perempuan yang berpakaian indah. Dalam Congafie1_1perjalanan
berulang-ulang mereka mengucapkan sesuatu yang tidak dipahami. Ternyata
saya diminta berjalan perlahan-lahan. Akhirnya saya sadar bahwa kaki
mreka kecil karena diikat, sehingga tidak bisa berjalan dengan leluasa.
Saat akan naik ke dalam tandu kepala saya terantuk atapnya. Maklum
saya belum pernah naik benda yang diusung manusia itu. Saya dibawa ke
sebuah bangunan bergaya Barat untuk menghadap mertua saya. Mertua
perempuan saya cantik. Sesudah upacara penghormatan selesai, mertua
laki-laki saya bangkit diikuti mertua perempuan dan kami. Kami mesti
menurun tangga. Karena melihat kaki ibu mertua saya kecil, saya khawatir
ia terjatuh. Secara spontan saya bimbing lengannya Terdengarlah suara
terkejut dari kaum perempuan yang menyaksikan adegan ini. Saya tidak
mengerti apa yang mereka katakan jadi saya tetap saja membimbing lengan
ibu mertua saya. Ternyata tindakan saya itu dianggap menyalahi tatacara.
Mestinya mertua yang menuntun menantu, bukan menantu yang menuntun
mertua. Akibatnya, saya disebut barbar.
Ternyata mertua laki laki saya sangat kaya. Ia memiliki enam selir yang melayani pelbagai kebutuhannya.
Perempuan yang Mencurigakan
Pada saat suami saya masih orang asing bagi saya, saya harus hidup
dalam lingkungan yang bahasa, kebiasaan dan orang-orangnya tidak saya
kenal. Untunglah ibu mertua saya termasuk salah seorang yang paling
manis dan paling agung yang pernah saya jumpai dalam hidup ini.
Suatu hari kakak perempuannya datang dari desa. “Menantumu jauh dari
cantik, “Kakinya menyeramkan besarnya. Apa betul ia seorang putri barbar
?” Konsepsinya mengenai kecantikan ialah kerempeng seperti pohon
Yangliu (Willow), kaki Cuma 7,5 cm panjangnya dan bentuk wajah eperti
kuaci. Saya tidak memiliki semuanya.
Mertua saya menanggapi, “Tidak perduli bagaimanapun rupanya dan siapa
da, dialah perempuan yang kuhendaki menjadi isteri putraku.”
Saya tidak memiliki pakaian Cina. Jadi saya berkunjung ke rumah sanak
keluarga dengan mengenakan pakaian gaya Eropa. “Kamu cantik dengan
pakaian seperti itu,” kata ibu mertua saya. “Jangan perdulikan apa kata
orang lain. Orang-orang di Amoy ini kolot-“
Pada hari tahun baru, saya satu-satunya orang yang mengenakan pakaian
gaya Eropa. Saya merasa canggung, tetapi Mrs. Grey memuji saya dan
berkata saya seperti ratu. Sejak hari itu ia memanggil saya Queeny, yang
sepadan dengan nama suami saya , King Jin yang selalu dipanggil King.
Pada tahun baru kedua di tempat yang jauh dari orangtua saya ini,
saya melihat seorang perempuan muda di antara kami, yang melirik kepada
saya seakan akan mengejek. Ia cantik dan kelihatannya tidak asing di
rumah itu. Setelah menemui ibu mertua saya, ia masuk ke ruang tempat
suami saya main mahyong dengan adiknya dan adik ibu mertua saya. Saya
melihat perempuan itu berdiri di belakang kursi suami saya dengan tangan
diletakkan di pundah suami saya.
Saya bertanya kepada seorang pelayan tua,”Mui-ah , siapa sih perempuan muda berpakaian sutera biru itu ?”
“Oh, itu !” jawah Mui-ah dengan sikap jijik. “Tadinya dia pelayan
Nyonya besar.” Kata Mui-ah yang polos itu, perempuan itu pernah
mempunyai hubungan asmara dengan suami saya sebelum pernikahan kami. Ia
ingin dijadikan selir, tetapi ibu mertua saya memulangkannya ke desa.
Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya harus mengendalikan diri.
Saya merasa seperti ada sesuatu yang patah di dalam diri saya. Sakit
seperti itu belum pernah saya rasakan. Padahal saya tidak mempunyai
seorang pun untuk mencurahkan isi hati. Ketika itu saya sedang
mengandung.
Ketika hal itu saya tanyakan kepada suami saya, ia menjawab acuh tak
acuh,“Semuanya kann sudah lewat. Sekarang ia sudah menikah,“ Luka itu
meninggalkan bekas yang tidak bisa hilang dari hati saya.
Saya melahirkan seorang bayi laki-laki, Tong tahun 1914. Ayah mertua
saya bangga karena pada hari ulangtahunnya yang ke-40 ia sudah mempunyai
cucu.
Bertemu calon Raja Karet.
Di Masa yang lalu, anak perempuan yang sudah menikah tidak boleh
berkunjung ke rumah orangtuanya, kecuali kalau diundang. Setelah
kelahiran Tong, ayah menulis surat kepada besannya, untuk mengundang
suami saya dan saya serta bayi kami ke rumahnya di Medan. Mertua saya
memberi izin dengan syarat Tong ditinggalkan pada mereka.
Kami pun berlayar ke selatan. Di Pelabuhan, kami dijemput dengan
gerbong kereta api milik sultan pribadi. Kendaraan itu pula yang
mengantarkan kami pergi dua tahun sebelumnya. Di Medan, masyarakat Hakka
dan Hokkian bersama sama menjemput kami, karena ayah mertua saya adalah
tokoh masyarakat Hokkian di Cina.
Ketika saya berangkat ke Amoy, tubuh saya termasuk montok Kini saya
kembali ke Medan dalam keadaan langsing. Satu setengah bulan berlalu
dengan cepat dan saya pun harus kembali ke rumah mertua.
Menjelang musim gugur, kesehatan suami saya mundur. Diperkirakan
iklim tropis baik baginya. Jadi kami diperbolehkan pergi ke Medan lagi,
asal Tong ditinggalkan di Amoy. Tentu saja ayah senang menerima kami.
Di Kapal, kami berkenalan dengan seseorang bernama Lee Kong Chian
yang kami undang untuk berkunjung ke tempat ayah. Suami saya mengajaknya
berkeliling meninjau perusahaan-perusahaan ayah, di antaranya ke
perkebunan dan ke Deli Bank yang bersaing dengan bank-bank barat.
Tampaknya seluruh Medan ini milik ayah mertuamu,“Komentarnya kepada
suami saya.“ Kalau melihat semua ini, tidak sulit buat kamu memulai
usaha sendiri.“
Suami saya dengan penuh keyakinan berkata,“ Kalau ayah mertua saya
bisa, mengapa saya tidak?“ Lee menjawab,“ Mertuamu mulai dari bawah. Ia
tahu apa artinya kegigihan, sedangkan kamu lahir sebagai anak orang
kaya.“
Ayah menawarkan beasiswa kepada Lee, tetapi ia menolak. Ia lebih suka
bekerja di sebuah perusahaan sepatu karet yang besar di Singapura,
milik Tan Kak Kee. Ketika suatu hari kami mengunjungin ya di Singapura,
ternyata ia tinggal di sebuah kamar sempit yang lembab dan berbau karet.
Pulang dari sana, suami saya menghela nafas. “Ah, teman kita yang
malang,” katanya. Kami tidak pernah menyangka bahwa kelak Lee Kok Chian
akan menjadi raja karet yang termasyhur.
Dianggap membawa rezeki
Kami merayakan tahun baru Imlek di Amoy, kemudian ayah saya genap
berdinas 30 tahun pada pemerintah Hindia Belanda dan peristiwa itu akan
dirayakan besar-besran. Ketika itu ibu saya baru melahirkan seorang anak
laki laki lagi, lee Liong. Artinya adik saya ini lebih muda daripada
putera saya.
Tidak lama setelah itu ayah menandatangani kontrak pendirian Batavia
bank di Batavia dengan Majoor der Chinezen Khouw Kim An dan Kapitein Lie
Tjian Tjoen serta beberapa orang lain. Dari 600 saham, ayah memegang
200 di antaranya. Suami saya dijadikan manajer Deli Bank di Medan dan
kami mendapat rumah di daerah elite di Medan. Di rumah baru ini kami
bisa berbuat sekehendak hati karena lepas dari pengawasan ibu.
Ketika kami pergi ke Amoy untuk merayakan tahun baru Imlek,suami saya
membawa hadiah kerongsang (bros bertatah intan) untuk ibunya. Ibu
mertua saya sangat senang. Suami saya kini dipandang tinggi, sebagai
seorang yang sudah berpenghasilan. Orang-orang yang dulu menganggap saya
barbar, kini berpendapat bahwa saya isteri pembawa rezeki. Walaupun
demikian, kami tetap tidak boleh membawa Tong ke Medan.
Bulan November tahun 1919 itu, ibu melahirkan anak ketujuh. Seorang
anak laki-laki lagi, Tseong liong, yang biasa kami panggil adek.
Bank Baru Pembawa Petaka
Atas saran beberapa orang suami saya mendirikan bank baru, Kong Siong
Bank, saya menganggap tindakan ini tidak sehat, sebab bank baru ini
bisa saja mempunyai kepentingan yang berlawanan dengan Deli Bank milik
ayah, tempat ia menjadi manajer pelaksana.“Tidak , kedua bank ini akan
bekerja sama,“dalih suami saya. Katanya, ia mempunyai orang kepercayaan
untuk mengelolanya. Ternyata Kong Siong Bank merosot dari hari ke hari
dan tidak bisa melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Bukan cuma keluarga kami yang menghadapi masalah-masalah dengan
generasi mudanya. Putra sulung paman Yong Hian, memang menjadi konsul
Republik cina di Mean, tetapi adik-adiknya yang laki-laki seperti Kung
We, Kung Lip dan Kung Tat sering membuat heboh dengan cara hidup mereka
yang berlebihan. Isteri mereka saling bersaing dalam perhiasan dan
pakaian. Sementara mobil-mobil mewah mereka yang selalu baru, memamerkan
diri sepanjang jalan jalan kota Medan. Ayah risau dan bahkan sempat
sakit karena para kemenakannya ini ada yang mengalami ketekoran dana di
Deli Bank. Selain itu mereka membuat orang iri dan menimbulkan celaan
serta pergunjingan. Para orang kaya baru ini betul-betul tidak
menghormati jerih payah orang tuanya dalam mencari uang dan tidak
menghargai warisan.
Bibi Hsi, ibu mereka yang terbiasa tinggal di desa di daratan Cina,
sebaliknya hidup hemat dan sederhana sekali di Medan. Ia tidak pernah
iri pada kemewahan orang lain, sehingga luput dari celaan.
Kaum muda ini rupanya tidak menginsafi dampak PD I di Eropa terhadap
ekonomi dunia. Pada masa itu juga para penjudi profesional dari Penang
memperkenalkan judi pei-bin di Medan. Banyak orang tergila-gila pada
judi dengan akibat usaha mereka rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.
Ayah merasa sudah Tua.
Tahun 1920 yang penuh gejolak itu ayah dan ibu merayakan pernikahan
perak mereka. Ayah tidak mau orang-orang menghamburkan uang untuk hadiah
baginya, sehingga perayaan hanya diadakan di antara keluarga. Walaupun
sederhana, semua orang gembira. Saya terkenang kembali masa saya masih
kecil.
Ayah merasa ia sudah tua. Ia sudah menyiapkan 12 rumah atas nama ibu
yang diharapkan akan memberikan penghasilan yang cukup bagi ibu di masa
yang akan datang. Walaupun ibu galak, ia tidak serakah. Ia menolak
hadiah ini, seperti ia menolak membeli perhiasan seperti yang dipakai
isteri rekan rekan ayah dari Jawa.
Ayah memberi sepuluh ruko untuk saya, yang memberi penghasilan hampir
seribu gulden sebulan. Dua diantaranya dipakai untuk Kong Siong bank.
Suatu sore awal tahun 1921 ayah memberi tahu ia sudah menerima cetak
biru kapal 6000 ton yang dipesannya dari Jepang. Kapal ini bisa dipakai
mengangkut penumpang maupun barang. Rencananya ia akan membawa kami ke
Eropa dalam perjalanan perdana dan untuk keperluan itu ia sudah belajar
berbahasa Inggris.
Hari itu kami berpisah pukul 22.00. Malamnya tiba-tiba saya
dibangunkan pesuruh ayah saya.”Non, dipanggil Nyonya besar. Tuan besar
tidak enak badan,“kata Amat. Saya gemetar dan segera ikut ke rumah ayah
saya. Ayah saya terengah engah di ranjang. Dr. Van Hengel yang
memeriksanya berkata,“Anda tidak apa apa, Majoor, cuma terlalu keras
bekerja.“Ia meminta ayah untuk beristirahat dan memang ayah tenang
kembali.
Keesokan harinya ibu menyuruh saya pergi ke Pangkalan Brandan, untuk
berdoa di makam kakek dan nenek saya dari pihak ibu. Tahu tahu saya
disusul ke sana dan diminta segera kembali ke Medan. Saya sangat risau
sebab merasa keadaan ayah memburuk. Tiba di depan ruamh, saya sudah
melihat kesibukan yang tidak biasanya. Jambul (Kian Liong) berlari
menyongsong saya.“ Ayah meninggal, katanya.
Saya bengong memandang Jambul tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun.
Seseorang membimbing saya masuk ke ruang besar tempat pemujaan arwah
nenek moyang. Ayah berbaring mengenakan jubah panjang biru dan jas
pendek hitam. Matanya tertutup rapat, tetapi bibirnya terbuka sedikit
seperti ingin mengucapkan sesuatu. Hanya saja tidak ada suara yang
keluar.
Saya membenamkan wajah saya ke lipatan lengan jubahnya yang lebar dan
menangis.“Bawa dia pergi,“seru seseorang.“Jangan biarkan air mata
menetes ke jenazah. Nanti almarhum lebih berat lagi meninggalkan dunia
fana ini.“ Ketika saya dibawa pergi, saya mendengar seseorang
berkata,”Dia anak kesayangannya.”
Saat itu adik bungsu saya, Tseong Liong, belum mengerti apa-apa. Saya
melihat ia membakar kertas perak dengan kakak-kakaknya. Orang-orang
terlalu sibuk untuk menghapuskan jelaga dari wajahnya. Kertas perak itu
dibakar untuk memberi bekal kepada ayah kami dalam perjalanannya ke alam
baka. Ayah meninggal karena pendarahan otak 8 Februari 1921 atau
tanggal 27 bulan 12 tahun monyet menurut penanggalan Cina.
(Catatan Redaksi: Menurut sumber-sumber lain, diantaranya Leo
Suryadinata dalam Prominent Chinese Indonesia, Tjong A Fie bunuh diri
akibat resesi, perusahaan perusahaannya mundur dan ia tidak bisa
membayar cek sebesar 300.000 gulden yang dikeluarkan oleh Deli Bank.
Ketika berita itu tersebar, nasabah Deli Bank berlomba-lomba menarik
simpanan mereka. Tjong A Fie tidak bisa melihat kenyataan ini, sehingga
ia mengakhiri hidupnya sendiri).
Pembagian Warisan
Notaris Fouquain de Grave bersama wakilnya dan juru tulisnya datang
membacakan surat wasiat ayah. Semua keturunan ayah , baik laki laki
maupun perempuan mendapat warisan tanpa kecuali. Begitu pula putra
angkatnya (anak angkat Ibu Lee) dan cucu dari putra angkatnya itu. Ayah
menunjuk isterinya sebagai satu satunya executive testamentaire dan wali
bagi anak anaknya yang masih di bawah umur. Semua harta peninggalannya,
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, sesudah dikurangi dengan yang
diberikannya kepada anak-anak perempuannya sebagai bekal pernikahan,
dimasukkan ke dalam Yayasan Toen Moek Tong, yang harus didirikan saat ia
meninggal, di Medan dan di SungKow
Keturunannya yang pria menjadi ahli waris yang sah dari yayasan itu,
yang tidak bisa dibagi, dibubarkan ataupun dijual. Mereka akan menerima
persentase dar hasil yayasan itu selama hidup. Selain itu ada persentase
untuk mengurus rumah keluarga dan untuk amal. Mereka masing-masing akan
menerima 150.000 gulden pada saat menikah. Jika salah seorang ahli
waris menjadi invalid karena sakit, cacad sejak lahir, atau mengalami
gangguan jiwa, yayasan akan menyokongnya selama hidup.
Orang-orang berdatangan dari tempat-tempat jauh seperti Jawa untuk
menunjukkan rasa hormat kepada ayah. Sementara itu para pengemis
berbaris di jalan, menunggu makanan dibagikan setiap kali suatu upacara
selesai dijalankan.
Enam Puluh Tahun Terakhir
Enam puluh tahun telah lewat. Saat itu keluarga Kwet Liong, Lee Liong
dan Tseong Liong serta saya sendiri masih tinggal di rumah besar yang
didirikan ayah. Umur saya sekarang (Ketika buku ini ditulis 1981,Red) 84
tahun. Bagaimana caranya menceritakan peristiwa-peristiwa selama kurun
waktu 60 dalam sebuah bab yang pendek?
Suami saya tidak berbakat menjadi pengusaha seperti yang
diinginkannya. Tahun 1926 ketika kami pulang ke Amoy, kedua mertua saya
dalam keadaan tidak sehat sehingga dianjurkan berobat ke Swiss. Ayah
mertua saya beserta sejumlah pengiringnya dan kami berangkat tanpa ibu
mertua saya. Ia diharapkan menyusul setahun kemudian, tetapi keburu
meninggal. Enam tahun lamanya kami tinggal di Eropa. Saya mendapat
kesempatan belajar bahasa Jerman dan Prancis. Sebagai satu-satunya orang
yang memahami sejumlah bahasa Eropa modern dalam rombongan kami, saya
bertindak sebagai penerjemah.
Tahun 1931 kami kembali ke Cina. Selama tiga tahun berikutnya saya
menjadi Liaison Offiser menteri luar negeri di Nanking. Di sini saya
bertemu dengan Prof. Duivendak, seorang sinolog Belanda yang merasa
senang bisa bercakap-cakap dalam bahasanya dengan saya di tempat asing.
Kemudian saya diminta ibu menjadi manajer pelaksana perusahaan kereta
api yang didirikan ayah bersama Paman Yong Hian di Swatow. Ketika pecah
peang, pemerintah mengharuskan jaringan kereta api dibongkar. Dalam
perang itu suami saya dan teman temannya pergi ke Manchuria sedangkan
saya mengungsi ke Hongkong lalu Medan. Saya tidak pernah melihat suami
saya lagi. Ia meninggal di Manchuria karena kanker paru-paru. Saya
bahkan tidak bisa menghadiri pemakamannya.
(Catatan Redaksi: Myra Sidharta, seorang psikolog Lulusan
Rijksunivesiteit Leiden, Belanda yang mantan dosen di jurusan sinolog
Fakultas sastra Universitas Indonesia, pernah mewawancarai Queeny,
suaminya mempunyai seorang kekasih seorang perempuan Swiss yang dibawa
ke Cina tahun 1931, setiba di Amoy, Queeny juga mendapatkan seorang anak
perempuan di rumah mertuanya, yang ternyata anak suaminya dengan
seorang perempuan Jepang pada saat mereka belum berangkat ke Eropa.
Karena tidak bisa menerima kehadiran selir suaminya, Queeny pamit kepada
ayah mertuanya untuk meninggalkan Amoy. Saat itu putra Queeny, Tong
berada di Eropa dengan Ny. Tjong A. Fie)
Dalam PD II, Jepang menduduki Indonesia selama tiga setengah tahun.
Seusai perang, ibu mengirim saya ke Swatow kembali untuk mengurus kereta
api. Ternyata perusahaan kereta api tidak bisa didirikan lagi. Di bekas
jalan kereta api itu dibangun jalan raya. Jadi, kami mengusahakan
armada bus di sana. Usaha itu berjalan dengan baik. Tampaknya keluarga
Tjong akan bangkit kembali, tetapi pemerintah komunis berhasil menguasai
Cina. Saya melarikan diri ke Medan sedangkan keluarga suami mengungsi
ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang.
Selama dua puluh tahun sesudah itu, saya bepergian ke seluruh
Indonesia. Kadang-kadang saya menjenguk keluarga mertua saya di Taiwan.
Putra saya Tong menjadi warga negara Singapura. Tahun 1970 ia meninggal
akibat kanker mulut.
(Menurut Queeny Chang kepada Myra Sidharta, ia memiliki lima cucu dan
beberapa buyut. Ia berhubungan baik dengan anak-anak tirinya, terutama
dengan anak tiri yang beribu Jepang, yang kini menjadi pelukis terkemuka
di Taipei.)
Ibu berumur panjang. Ketika ibu meninggal tahun 1972, umurnya 93
tahun. Adik saya Sze Yin (Nonie), bersama janda Lee Liong dan saya
merawatnya sampai ibu dijemput ajal. Betapa terharunya kami ketika
masyarakat Medan ternyata menaruh banyak perhatian pada pemakamannya.
Tahun 1974 saya berkunjung ke Eropa lagi dan kenang-kengangan lama
kembali lagi pada saat saya melihat tempat-tempat yang saya kenal baik.
Sekarang, selain tinggal di Medan, saya melewatkan sebagian besar waktu
saya di Brastagi, di sebuah tempat peristirahatan milik Lee Rubber
(perusahaan milik Raja Karet Lee Kong Chian – Red).
Desember 1976 saya terbang dari Jakarta ke Penang untuk menghadiri
ulang tahun ke 70 Kian Liong. Ia mengajak saya dan sanak keluarga kami
berziarah ke Kek Lok Si, sebuah kuil Buddha di Ayer Itam. Kami
menyampaikan persembahan pada ayah kami yang patungnya ada di sana
bersama patung para penyumbang pertama pendirian kuil itu di akhir abad
XIX lalu.
Alangkah terharunya saya mengetahui orang tua kami masih diingat
dengan rasa hormat. Ziarah itu menggugah saya untuk menulis buku ini,
sebagai peringatan akan ayah saya yang memberi say masa masa paling
bahagia dalam hidup saya. Seperti kata penyair word sworth:
“Walaupun tidak ada yang bisa mengembalikan kemegahan rerumputan
Dan semarak bunga-bungaan. Kami tidak akan bersedih hati melainkan akan menemukan kekuatan dari yang tertinggal.“
(Memories of a Nonya, Eastern Universities Press. Sdn. Bhd.)
Catatan Redaksi: Setelah tulisan ini dimuat dalam Majalah Intisari
Mei 1982 (Ketika itu Queeny Chang masih hidup), seorang pembaca bernama
Amir Hamzah, mantan Kepala Polisi Kota Medan dan sekitarnya,
menanggapinya demikian:
Pikulan Tidak Dilupakan Walaupun Sudah Kaya Raya
Pada Masa Kanak-kanak, saya tinggal di Medan, di daerah yang bernama
Gudang Es. Tempat itu tidak jauh dari Istana Sultan Deli, Sultan Ma’mun
Al Rasjid Perkasa Alamsjah.
Di tempat itu ada Gang Mantri yang dihuni ayah Sutan Sjahrir yaitu
Mangkuto Sutan, Hoffd Djaksa Gubernemen di Medan. Gang Mantri adalah
tempat tinggal orang-orang berpangkat tinggi masa itu.
Selain itu, tempat tinggal saya berdekatan dengan rumah Tjong A Fie,
hartawan dan sosiawan. Di antara sekian banyak orang yang dibantunya
mendirikan surau, ternyata seorang ulama besar dari Bukit tinggi, Sjekh
Mohamad Djamil Djambek dan paman saya yang mendirikan surau bertingkat
di Matur, Bukittinggi.
Tjong A Fie mempunya cara menolong orang-orang yang akan pindah.
Biasanya mereka melelang perabot rumah tangganya. Tjong A Fie akan
menyuruh anak buahnya membeli perabot satu ruang penuh dengan harga
mahal sekali. Sesudah dibayar perabot itu ditinggalkan begitu saja
sehingga bisa dilelang sekali lagi.
Pada suatu hari di tahun 1921, ketika saya berumur 6 tahun, teman
teman sepermainan berteriak:teriak:”Tjong A Fie mati! Tjong A Fie mati!”
Kamis segera pergi ke rumah Tjong A Fie yang besar itu di Kesawan. Di
muka rumah kami lihat bendera pelbagai ragam dan kertas-kertas perak
bertaburan, sementara beratus ratus orang datang.
Di Muka rumah Tjong A Fie itu, kalau tidak salah pada sebuah toko,
terpampang lukisannya dalam ukuran besar sekali. Kami melihat berpuluh
puluh orang Cina miskin berjongkok di seberang rumah sosiawan itu,
menantikan sedekah.
Kami anak-anak kecil menerobos saja masuk. Kalau saya tidak ingat,
dekat peti jenazah ditaruh sebuah pikulan dagang. Konon itu pikulan yang
dipakainya menjajakan barang ke sana kemari sebelum ia kaya raya
Ketika sampai 1953 saya menjadi Kepala Polisi Kota Medan dan
sekitarnya, saya bergaul dengan keluarga Tjong A Fie. Salah seorang
diantaranya biasa disebut Zus A Foek. Ia sangat fasih berbahasa Hakka,
Hokkian, Belanda , Inggris, Jerman , Prancis maupun Indonesia. Ia tidak
lain daripada Queeny Chang penulis buku Memories of a Nonya.
Suatu hari, ketika kami diundang ke rumah mreka, di sana kami
mendengarkan dr. Djulham dari Binjai memainkan biola. Putri dr. Djulham
adalah Trisuri Juliati Kamal yang sekarang menjadi pemain piano terkenal
dan tinggal di jakarta. Itulah kenang-kenangan yang saya peroleh dengan
keluarga Tjong A. Fie.